Menunggu

375 73 27
                                    

Kegiatannya tak berbeda dari beberapa jam yang lalu. Hanya duduk di samping ranjang rumah sakit yang diisi oleh perempuan penyita atensinya sejak minggu lalu. Dia hanya duduk menunggu di ruang rawat itu.
Sebagai orang asing, dia benar-benar tak tahu harus membantu seperti apa lagi selain mengiyakan permintaan tolong Marsha, teman perempuan yang kini sedang ia pandang saksama dalam pembaringan di depannya.

Marsha, gadis itu, sedari kembalinya dari kedai, sibuk mengurusi administrasi rawat inap Chika. Perempuan itu sempat khawatir akan biaya yang harus dibayar di muka. Vio bisa saja menawarkan untuk itu semua, namun urung. Kartu asuransi kesehatan milik Chika, ternyata bisa digunakan di klinik ini.

Ada rasa lega juga di hati Vio. Jika masalah tentang biaya rampung, semua akan terasa lebih mudah ke depannya.

"Hahhh..." Dia lepas napas panjang setelah meneguk air mineral yang ia beli tadi.

Kekhawatiran benar-benar mencengkeram dadanya. Bahkan, sejak Chika dipindah ke ruang rawat, matanya tak lepas memerhatikan perempuan itu bernapas. Selang oksigen yang masih terpasang di hidung bangir itu, membuat dirinya takut jika tiba-tiba, napasnya tidak teratur.

Vio menyaksikan, bagaimana di ruang tindakan tadi, beberapa kali dahi gadis itu berkerut, seperti sedang menahan sakit. Vio melihat, bagaimana Chika hanya sanggup mengangguk dan menggeleng menjawab pertanyaan yang dokter ajukan.

"Kak?"

Panggilan lirih, mengaburkan lamun panjangnya. Membuat dirinya buru-buru berdiri dan mendekat.

Namun, sedetik kemudian ia merutuki tindakannya itu. Merasa canggung.

"Mau dibantu apa?" Tanya Vio.

"Marsha ke mana?"

"Apotik, nebus obat buat dikasih ke suster."

"Maaf ya, kak jadi ikut repot." Ucapnya lemah.

Vio hanya diam. Ini kali kedua ia mendengar perempuan itu bicara cukup panjang. Suaranya masih sama. Masih mampu menarik atensi Vio begitu dalam. Meski lemah, tak ada yang berubah dari sana. Tak sama sekali mengubah rasa kagumnya.

"Ada yang sakit? Masih sesek?" Dia bertanya tanpa ragu.

Rasa khawatirnya, mengaburkan rasa canggung dan ragu yang sempat beberapa jenak mengendap di dalam hatinya. Rasa khawatirnya,membuat ia sejenak melupakan  bahwa mereka hanya dua orang pembeli dan pelayan yang kebetulan pernah berkenalan di saat hujan.

Vio menerima gelengan lemah. Ketegangan hatinya sedikit mengendur. Ada lega yang bisa dia rasa kemudian. Ada dingin yang tiba-tiba merayap ke kepala. Sejuk. Rasa was-wasnya sedikit hilang.

"Tadi, hmm... Marsha, udah hubungin sepupu kamu. Katanya, dia lagi jalan ke sini."

"Marsha, masih lama?"

Vio menggeleng, "Kurang tahu. Ada yang mau dibantu?" Tawarnya lagi setelah tadi, tawarannya tak dijawab sama sekali.

"Aku mau minum."

Mata Vio langsung mengarah pada air minum yang masih tersegel. Air minum yang ia beli untuk Marsha tadi. Air minum yang belum sama sekali belum Marsha sentuh.

"Tapi enggak ada sedotan. Bangun dulu sebentar, enggak apa-apa?"

"Iya, kak." Jawabnya sambil berusaha untuk bangun.

Vio langsung menahan tangan Chika saat melihat perempuan itu kesulitan.

"Maaf, boleh saya bantu?" Tawarnya sedikit ragu.

Perempuan itu terdiam. Matanya memerhatikan Vio cukup dalam. Lalu mengangguk, mengiyakan, setelah—seperti mendapatkan sebuah jawab yang dicari dari mata Vio.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang