Sikap

361 76 38
                                    

Hanya sebuah panggilan singkat, mampu membuat gemanya terngiang hingga sekarang. Padahal, itu sudah tiga hari yang lalu. Selama tiga hari itu, dia tak lagi menjenguk Chika di klinik, meski ingin. Tapi dia tak lagi punya alasan untuk ke sana. Hanya bertanya pada Marsha ketika perempuan itu dengan kebetulan sedang shift, saat dirinya mampir ke kedai susu kemarin sore.

Panggilan singkat itu, benar-benar memengaruhi kondisi hatinya di beberapa hari ini. Memengaruhi tingkat produktivitas dirinya menulis artikel. Memengaruhi tingkah lakunya hingga hari ini.

Dia bahagia. Masih bahagia. Padahal hanya panggilan. Panggilan yang kerap dilontarkan oleh banyak orang untuk memanggil dirinya. Panggilan yang sama sekali tak terselip kata istimewa di sana. Tapi bagi Vio, itu panggilan paling membahagiakan untuk dirinya. Paling berkesan, lebih dari istimewa untuk hatinya.

Suara lembut itu, terus mendayu-dayu di telinganya. Katakanlah berlebihan. Tapi ini yang ia alami. Ketika sedang diam dan terngiang panggilan yang Chika berikan, dirinya akan tersenyum. Seperti saat orang-orang mengingat hal lucu yang pernah dilihat atau dilakukannya. Dia akan seperti itu.

Gila. Memang. Sepertinya dia sudah gila.

"Vi, lo langsung balik?" Tanya Aldo yang sudah membereskan barang-barangnya. Bersiap untuk pulang.

"Mau mampir dulu ke kedai susu biasa. Kenapa? Mau ikut?"

Aldo menggeleng, "Gue mau nonton sama Ashel, kali aja mau ikut."

"Lo nyusu terus perasaan, kagak eneg?" Itu Zafra yang angkat bicara.

Vio menggeleng, "Biar sehat."

"Alibi. Ada yang lo incer pasti. Siapa? Mba-mba kasir yang lo ajak ngobrol kemarin? Buaya lo!"

"Haha. Enggak, Zaf. Ya lo tahu gue doyan susu sapi." Katanya. Sengaja menjelaskan susu apa yang dia sukai. Karena tahu, bagaimana pikiran kedua teman laki-lakinya itu.

"Yayaya, terserah. Gue duluan, mau jemput ayang."

Vio dan Aldo mengangguk. Membiarkan Zafra keluar ruangan terlebih dahulu.

Sedang mereka berdua, berjalan beriringan dan duduk di kursi panjang depan ruang tunggu untuk menanti Ashel yang sedang di ruang redaktur.

"Vi."

"Hmm?"

"Lo masih suka Ashel?" Mendapat pertanyaan itu, Vio langsung memutar tubuhnya untuk menatap Aldo heran.

Aldo Abimanyu, laki-laki ini, mengapa tiba-tiba bertanya hal itu? Seingatnya, dia tak pernah secara gamblang mengatakan rasa sukanya ke Ashel pada siapapun. Bahkan, dia pendam itu sendirian hingga sekarang. Dan hanya dirinya dan Ashel yang tahu akan itu.

"Enggak usah heran. Tahun lalu, gue sering lihat lo dengan sengaja nungguin Ashel di kantin jurusan sampai sore. Waktu itu, dia lagi ambil matkul pilihan bareng gue."

Vio diam. Sejauh itu Aldo mengetahui gerak geriknya selama ini? Dia tak pernah menyangka akan hal itu. Dirinya pikir, itu bukan hal yang menonjol, sampai orang mengetahui kalau dirinya menyimpan hati untuk perempuan itu.

"Lo juga beberapa kali gencar deketin Ashel. Mungkin yang lain, kagak bakal sadar lo suka Ashel. Tapi gue tahu."

Vio masih diam. Dia membuang pandang ke depan. Menatap logo dan nama kantor tempatnya magang. Dia diam, memberikan ruang kepada Aldo untuk mengungkapkan apa lagi yang dia paham tentang dirinya dan Ashel.

"Gue tahu, Vi. Soalnya gue juga lakuin apa yang lo lakuin ke Ashel."

Kepala Vio menoleh dengan cepat. Matanya membelalak tak percaya atas apa yang Aldo ucapkan barusan. Dia tak pernah mengetahui hal itu. Pantas saja, Aldo terlihat selalu peduli pada Ashel, melebihi Zafra dan dirinya. Hanya saja, pria itu hampir tak kentara jika memiliki rasa pasa Ashel. Vio pikir, pedulinya Aldo adalah rasa peduli biasa. Rasa peduli yang selalu Aldo berikan kepada orang-orang, pun dirinya.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang