Penawaran

389 81 70
                                    

Di balik komputer dua layar, dia terus mengamati deretan huruf yang dengan cepat tersusun menjadi kata dan kalimat, mengikuti cepatnya pergerakan jari di atas papan ketik. Tinggal sedikit lagi pekerjaan yang harus dia selesaikan.

Hari ini, ada ribuan kata yang harus ia ketik dan tayangkan pada situs milik kantor magang mereka. Ribuan kata yang harus ia ketik dengan berbagai macam hal yang mengusik.

Dia sengaja bekerja lebih cepat dari biasanya agar ia bisa segera beranjak dari tempat duduknya. Agar ia bisa segera menyeduh teh dan duduk di teras samping kantor tempat para pegawai sering menghabiskan waktu usai makan siang.

Ini baru pukul tiga sore, artinya masih sisa dua jam kerja lagi. Jika dia bisa menyelesaikan semua dengan cepat, dia bisa segera duduk santai di sana.

Pikirannya sedang penuh, tapi dia juga tak bisa lepas dari tanggungjawabnya sebagai mahasiswa magang. Dia tidak ingin memperburuk nilai kuliahnya yang selama ini pas-pasan. Bagaimana pun juga, entah penting atau tidak, dia ingin lulus dengan nilai di atas rata-rata. Biarlah orang berkata nilai tidak penting, tapi pada kenyataannya, masih banyak orang-orang yang menilai kemampuan seseorang dari nilai akademik yang diperoleh.

Dia adalah salah satu orang yang masih menganggap nilai itu memiliki peran penting untuk kehidupannya setelah kuliah.

"Vi? Udah?"

Ruangan yang tadinya hening dan hanya ada suara ketikan dari papan ketik masing-masing orang yang ada di sina, dipecah oleh suara pertanyaan Zafra, saat melihat dirinya berdiri meregangkan tubuh yang kaku.

Dia mengangguk, "Udah. Lo udah?" Vio bertanya balik.

"Dikit lagi. Mau kemana?"

"Bikin minum. Mau ke samping. Ikut?"

"Nanti nyusul." Vio hanya mengangguk menerima jawaban Zafra.

Lantas, kaki jenjangnya, ia ayunkan ke arah pantry. Di sana ia melewati tempat Ashel dan Aldo. Dua temannya itu masih berkutat pada pekerjaan yang dijatahkan pada mereka.

Dia melihat Aldo begitu serius menatap layar komputer di sana. Dahi laki-laki itu, terlihat sedikit berkerut. Membuat dia menepuk pundak Aldo dan menghentikan langkahnya tepat di belakang kursi yang Aldo duduki.

Tepukan yang ia berikan pada pundak Aldo, membuat sang tuan menoleh sambil melepas napas lelah.

"Puyeng, Vi. Lo udah kelar?"

"Udah. Santai aja, Do. Kalau kesusahan, pakai spinner yang gue kasih kemarin, lo tinggal ganti kata yang sekiranya tabu." Ucapnya.

"Iya, gue juga pakai kok. Cuma puyeng postingnya hahaha. Malas betul." Balas Aldo sambil berbisik. Takut ada yang mendengar keluhannya tadi.

Vio tak lagi membalas, dia hanya kembali menepuk beberapa kali pundak temannya itu, kemudian melanjutkan niatnya untuk menuju dapur kantor dan membuat minuman yang sekiranya mampu mengendurkan isi kepalanya yang tegang.

Sebelum dia benar-benar melangkah, pandangnya bertemu sejenak dengan tatap mata Ashel. Tatap yang kemudian buru-buru dia dan perempuan itu putus.

Pertanyaan yang Ashel lontarkan kemarin, membuat kecanggungan luar biasa antara mereka. Vio terkejut, akan pertanyaan itu. Pun mungkin Ashel. Usai bertanya seperti itu, hingga sampai detik ini, mereka belum berbicara sepatah kata pun. Bahkan untuk basa-basi, rasanya tak nyaman.

Sambil mengaduk teh agar gula yang ia masukkan larut, dia terus berpikir tentang hal itu. Sedikit mengusik. Ah, bukan hanya sedikit, lebih tepatnya benar-benar mengusik. Jika dia tidak terusik akan kalimat itu, dia tak mungkin buru-buru menyelesaikan pekerjaannya seperti ini. Dia tak mungkin duduk dan menghirup aroma teh hitam yang barusan dia buat demi melegakan dada dan isi kepalanya, di teras samping kantor.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang