Dia diam memandang Chika yang tengah sibuk mengantar pesanan ke meja-meja yang ada di kedai ini. Entah sudah berapa kali dia membuang napas pendeknya secara kasar. Chika mengabaikan eksistensinya. Bahkan ketika mengantarkan pesanannya, kekasihnya itu hanya mengucapkan kata 'silakan', kemudian pergi tanpa mau menatap barang sejenak ke arah dirinya.
Ia tidak tahu, jika perihal lupa memberi kabar akan terasa rumit seperti ini. Tidak pernah menjalin hubungan, membuat Vio benar-benar buta akan apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan. Dia hanya terfokus untuk memberi kebahagiaan pada orang yang ia sayang. Ia lupa, ada hal-hal yang juga tidak boleh dilakukan dalam sebuah hubungan.
Vio masih belajar memahami isi kepala perempuan. Masih meraba-raba bagaimana hati perempuan yang konon katanya lembut dan rapuh. Ia memiliki Adik perempuan, Mama yang juga sangat dekat hubungannya. Tapi sepertinya memahami mereka dan memahami seorang kekasih memang beda adanya. Christy dan sang Mama adalah keluarganya, ia bisa paham tentang apa-apa saja yang mereka suka pun benci. Christy dan sang Mama juga sudah pasti memahami dirinya luar dan dalam. Sedangkan Chika? Bahkan ia baru mengenal perempuan itu kurang dari enam puluh hari. Ia belum begitu memahami Chika. Ia juga tak bisa memaksa Chika memahami dirinya. Tapi ia harus berusaha mencari tahu tentang pasangannya lebih jauh. Tentang Chika lebih dalam. Kendati tak akan paham keseluruhan dari diri Chika, setidaknya ia tahu apa-apa saja yang Chika cintai dan Chika benci.
Ia lepas lagi napas kasar, kali ini lebih panjang sebelum ia kembalikan fokusnya pada layar laptop yang menampilkan salinan suara hasil investigasinya kemarin. Earphone yang tadi ia lepas, kembali ia pasang untuk kembali mendengar rekaman suara yang kemarin direkamnya diam-diam.
Mendengarkan, menjeda, dan menulis itulah yang ia lakukan sejak tadi sembari menunggu jam kerja Chika habis. Sisa tiga puluh menit lagi untuk pergantian ke shift dua. Ia harus segera menyelesaikan kegiatan menyalin audio itu ke dalam teks. Sehingga, nanti ia bisa terfokus mengatakan kejujuran pada kekasihnya.
*
Tak!
Chika meletakkan nampan yang ia bawa cukup kasar. Membuat dua orang yang ada di balik bar menoleh ke arahnya. Dia tidak peduli pada pandang heran dua rekannya itu. Kemelut hatinya lebih penting ia pikirkan.
Ia tarik kursi plastik yang ada di sana. Punggungnya ia sandarkan pada pinggiran bar sembari meminum air putih yang baru saja ia ambil dari dispenser di hadapannya. Ia tenguk air itu hingga tandas. Selanjutnya ia diam memandang kosong ke arah depan.
Tapi tidak dengan isi kepalanya. Sejak pagi—tidak, sejak semalam, rasa khawatirnya terasa begitu sesak memenuhi rongga dada. Luka-luka yang ada di wajah Vio adalah penyebabnya. Pertama kali menyapa Vio waktu perjumpaan pertama, keadaannya sama, pria itu terluka akibat dari liputan yang jalaninya. Luka kecil di pelipis yang darahnya telah mengering.
Kini, laki-laki itu kembali terluka akibat liputan dan lukanya lebih banyak. Lebam dan bengkak di wajah tegas kekasihnya hampir memenuhi seluruh muka. Rasanya sakit sekali melihat itu semua. Tapi rasa gengsi dan jengkelnya, membuat ia berusaha tak acuh atas eksistensi Vio di kedai ini sejak tadi.
Percuma. Sekeras apapun ia mencoba mengaburkan ingatan dan kepedulian pada Vio, isi kepalanya terus memikirkan tentang keadaan laki-lakinya. Beberapa kali ia curi pandang ke arah Vio ketika mengantar pesanan. Ia sadar Vio juga beberapa kali memfokuskan pandang ke arah dirinya, tapi ia mencoba untuk mengabaikan itu. Ia hanya akan melihat ke arah Vio ketika fokus laki-laki itu ke layar laptopnya. Dan itu membuatnya semakin geram, bisa-bisanya dengan keadaan seperti itu kekasihnya masih memaksakan diri untuk ke sini dan mengerjakan tugas magangnya. Tidakkah seharusnya istirahat dari segala hal yang membuat energinya terkuras? Chika heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPASITAS IKAN MIGRASI
Fanfiction"Di dunia yang sempit ini, ia akan terus mencintai tanpa batasan untuk satu orang. Hanya bisa cinta satu orang."