"Vi, udah enakan?"
Dia memutar badan setelah mendengar kalimat pertanyaan itu terlontar. Ashel sedang berdiri di belakangnya entah sejak kapan.
Tubuhnya ia geser sedikit untuk memberi ruang bagi Ashel yang mungkin ingin membuat teh juga seperti dirinya sekarang ini.
Di dapur kantor memang disediakan berbagai macam minuman dan camilan yang bebas dimakan oleh siapapun. Dirinya memutuskan untuk membuat teh agar tubuhnya sedikit hangat.
Hari ini hujan sejak tadi subuh. Membuat, tubuhnya sedikit menggigil atas perjalanan kos ke kantor yang cukup panjang.
"Udah. Udah tiga hari yang lalu juga, Shel. Udah enggak apa-apa."
Ashel yang sudah menuangkan kopi sachet ke dalam cangkir pun, mendengus cukup kasar setelah mendengar jawaban Vio. Vio yang menyadari itu, menoleh dan memandangnya heran.
"Gue bukan ngomongin luka demo. Tapi demam lo."
Ada nada kesal di sana. Namun, Vio tanggapi dengan sedikit kekehan.
Dirinya memang tak masuk dua hari karena demam. Entah apa yang membuat suhu tubuhnya tiba-tiba naik usai insiden demo tiga hari yang lalu. Mengharuskan dirinya istirahat, karena sama sekali tak sanggup mengangkat kepala.
"Udah, Shel. Gue udah masuk, artinya udah sembuh."
"Padahal izin lagi enggak apa-apa. Muka lo masih pucet, besok udah Sabtu ini, libur." Ucap Ashel yang kini sedang mengaduk kopi susunya perlahan.
"Lagian, kenapa bisa demam deh? Lo ada hujan-hujanan kemarin?"
Vio belum menjawab. Dia sesap dulu teh yang barusan dia buat sembari mengingat-ingat apakah dia hujan-hujanan?
"Kegrimisan doang."
"Di mana? Bukannya abis liputan lo balik ya? Emang siang ujan?"
Dia diam sambil kembali menyesap teh hitamnya dan tersenyum tipis di balik cangkir sana. Senyum yang ia lunturkan seketika saat mata Ashel menatapnya penuh tuntutan.
*
"Makin deres." Dia berdecak setelah memeriksa jarum jam di pergelangan tangannya.
Sedikit menyesal menuruti egonya untuk menetap di kedai ini lebih lama. Menetap hanya karena ingin lebih banyak merekam suara dari pelayan yang sedari kemarin menarik atensinya.
Sudah pukul enam lewat dan dia masih duduk di tempat yang sama untuk menunggu hujannya lebih reda. Tiga gelas susu dengan rasa yang sama telah tandas, satu buah roti isi, dan sepiring kentang goreng pun, juga telah habis tak bersisa. Ya, dia memesan satu gelas lagi untuk menunggu hujan reda. Namun, sialnya, hujan semakin deras mengguyur dan dia sudah tak sanggup lagi menampung susu barang satu sesapan. Perutnya sudah kenyang. Amat sangat kenyang. Dan yang kini bisa ia lakukan, meminta izin untuk lebih lama berdiam diri di sana.
Bodohnya, di negaranya ini hanya ada dua musim, dan ini memasuki musim hujan tapi dia tak membawa jas hujan. Memang kebodohan yang tak pernah pergi dari bawah kepalanya.
Vio lepas napas berat di sana. Tubuhnya sudah benar-benar lelah kali ini. Memilih foto menyuntingnya tipis-tipis, cukup melelahkan di saat tubuhnya terasa tak baik-baik saja. Dari pada nganggur pikirnya tadi, jadi sekalian mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.
Dan kini, kedai itu semakin sepi karena hujan. Suhu ruang yang dingin, terasa semakin dingin untuk saat ini.
"Chik, mau dibuatin minum? Sambil nunggu reda, masa lo mau pulang hujan-hujan begini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPASITAS IKAN MIGRASI
Fanfiction"Di dunia yang sempit ini, ia akan terus mencintai tanpa batasan untuk satu orang. Hanya bisa cinta satu orang."