Aldo Abimanyu - Tanya Hati

210 30 8
                                    

Dia, kembali menyesap pangkal gulungan tembakaunya. Dia tarik cukup dalam rokoknya itu untuk memasukan sebagian asap ke dalam paru-paru dan mengeluarkan sebagiannya lagi melalui hidung dan mulutnya.

Hangat. Dadanya menghangat setelah menelan hisapan yang entah sudah ke berapa kalinya. Rasa nyaman juga mampu menyentuh isi kepalanya saat merasakan asap tak sehat tersebut, menyebar menyentuh syaraf-syaraf yang menegang.

Pembicaraan berpuluh-puluh menit lalu dengan gadis yang menarik semua atensi hatinya, masih membekas. Tak banyak bicara memang, hanya saja, kalimat yang terucap dari bibir tipis sang puan, membuat bawah kepalanya merekam dengan baik kata per katanya. Kata-kata yang mampu membuatnya bimbang bukan kepalang.

"Bukan salah lo, kok. Ini mau gue. Tapi kalau lo minta gue buat berhenti gue bakal berhenti. Lo mau gue berhenti?"

"Gue nggak tahu, Do,"

Tak ada yang pernah bilang kepada dirinya, kalau jatuh cinta akan serumit ini. Barangkali tidak akan rumit jika kisahnya memiliki titik terang. Jika kisahnya mendapat balasan. Entah balasan seperti apa yang ia maksud, dia sendiri tak bisa menjabarkan lebih rinci. Sebab, dirinya tidak pernah menuntut harus balasan yang setimpal dengan apa yang ia rasa. Tidak, dirinya tidak menuntut hal tersebut. Ia hanya ingin rasanya memiliki balas yang jelas, balas yang tidak mengambang di awang-awang.

Atau mungkin, dirinya kemarin-kemarin lupa—dan baru ingat sekarang, bahwa di antara jawaban 'ya' atau 'tidak' ada jawaban 'entah'. Jawaban yang sebenarnya Aldo benci—dan mungkin banyak orang juga yang tidak menyukainya. Jawaban yang kerap membuat bimbang seseorang yang sudah memberi tanya. Tidak ada penegasan dalam jawab semacam itu. Itu hanya jawaban seorang pengecut yang tak bisa memutuskan sesuatu dengan tegas.

Ah, dia tak menghakimi siapapun, dia bicara tentang dirinya sendiri—dan mungkin gadis yang berpuluh-puluh menit lalu duduk di sebelahnya. Dia tidak bisa tegas atas apa yang ia rasa sekarang ini—perihal hati. Rasa-rasanya sangat payah, dia yang terkenal selalu berani mentang peraturan kampus yang tak masuk akal, harus membungkuk takluk pada yang namanya cinta. Terkadang pun, logikanya mencomooh dirinya sendiri, dia bisa saja memutuskan dengan tegas ketidakjelasan atas rasanya kapan saja, tapi dia enggan. Dia bahkan tahu dan memang merasa sia-sia, tapi dia tetap pada keteguhan hatinya.

Jika Vio dan Zafra kerap berpikir bahwa ia memiliki hati yang kuat, tidak sepenuhnya benar. Namun, tidak sepenuhnya salah juga. Entah bagaimana ia menggambarkannya. Di antara kokohnya hati yang berulang kali dihempas, ada retakan-retakan yang mampu mengikis hatinya perlahan-lahan. Kikisan yang tentu saja menimbulkan kesakitan-kesakitan yang harus segera ia tutup agar tetap mampu menerima gempuran di hari-hari berikutnya.

Ada rasa takut, sejujurnya. Ia takut hatinya lelah sebelum mampu meraih hati yang terus ia kejar sejak beberapa tahun yang lalu. Ia takut lelah mencintai gadis itu. Aldo takut. Aldo tak ingin rasanya berhenti. Kendati bukan tanggungjawabnya—belum— tapi ia masih ingin menyayangi Ashel. Masih ingin membantu perempuan itu memulihkan hati yang mungkin saat ini masih sakit ditinggal pergi seseorang yang telat Ashel sadari eksistensi perasaannya.

Silakan jika ingin menghardik Aldo sebagai manusia bodoh atau semacamnya, ia tak akan mengelak. Karena pada kenyataannya—seperti yang ia rasakan, logikanya memang sudah cacat untuk memahami perkara hati. Potongan-potongan kalimat yang sering ia dengar kalau cinta mampu membuat bodoh, harus ia akui. Ia juga tidak menyangka, bahwa rasa cinta bisa dengan brengseknya menjadikan ia layaknya anjing peliharaan yang diberi tulang. Lunak dan penurut. Apa semua seperti dia? Atau hanya dia saja yang seperti ini? Aldo tak paham.

Dia hanya mampu kembali mengulang kegiatannya menghisap batang rokok yang belum habis, demi menghangatkan dadanya yang terasa dingin diterpa angin dari arah tambak depan sana yang semakin berisik. Aldo kembali mengembuskan kepulan asap yang sejenak menari-nari di hadapannya sebelum menghilang tersapu oleh napas dan kibasan tangannya sendiri. Kemudian, ia sesap teh yang beberapa saat lalu, Vio letakan di samping tempatnya duduk. Dua cangkir teh yang sudah tak lagi mengepulkan asap tanda airnya masih panas. Dua cangkir teh yang menemaninya duduk sendirian setelah Ashel berpamitan tanpa pembicaraan apapun lagi.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang