Benih

482 83 66
                                    

Setelah hari-hari kemarin semua pekerjaan terasa ringan, di ujung hari kerja ini, terasa sangat berat. Banyak yang harus ia kerjakan. Tak hanya dirinya, teman-temannya pun sama. Pekerjaan mereka terasa seperti dua kali lipat karena ada pembelajaran baru yang harus mereka coba. Dan hari ini hari pertama mereka melakukannya.

"Nanti coba posting sendiri ya tulisan kalian. Detailnya sudah dicatat 'kan? Enggak usah takut salah. Kalau ada yang salah, nanti tinggal edit dan repost."

Begitulah pesan dari redaktur sebelum rapat ditutup tadi.

Untuk menulis dan menyunting tulisan langsung di web, mungkin bukan hal baru bagi Vio. Dirinya pernah belajar ini, meski beda tampilan, dasarnya sama. Hanya saja, dulu ia hanya sampai pada tahap, menyimpan saja, tidak ada kuasa untuk menerbitkannya. Tapi, bukan itu masalahnya. Dia dan yang lain juga harus mencari gambar sendiri untuk artikel yang mereka tulis, menyunting keterbacaan, menyunting agar score SEO bagus, dan lain-lain.

Itu cukup membuatnya kebingungan dan ternyata memerlukan waktu yang tak singkat. Pantas, hari ini, jumlah artikel tidak sebanyak sebelumnya, ternyata editing seperti ini, menyita banyak waktu.

Tapi mereka bisa melakukannya, meski harus pulang satu jam lebih lambat dari biasanya. Mungkin memang belum terbiasa. Esok dan seterusnya pasti akan lebih mudah dilakukan, ketika telah menemukan celah untuk menyiasati agar pekerjaan mereka lebih cepat selesai. Tidak harus molor seperti ini.

"Wuih, bawa pasukan nih." Itu tukang parkir kedai susu yang selalu menyapa Vio ketika datang.

Mereka memutuskan untuk sejenak mengendurkan isi kepala yang sedari tadi pagi tegang, dengan mampir ke kedai susu ini. Bukan tak ada pilihan lain, mereka malas jika harus berkendara lebih jauh atau pusing-pusing mencari kafe lain, di tengah isi kepala yang belum dingin sepenuhnya.

Daerah tempat mereka magang memang cukup sepi dari hiruk pikuk perkotaan di ujung jalan sana. Memilih tempat ini sebagai tempat menenangkan diri dari panasnya isi kepala, sepertinya bukan pilihan yang buruk. Justru mungkin ini tempat yang tepat untuk menjauhi bisingnya kota dan isi kepala.

"Haha beberapa kali kami ke sini lho, pak. Pak Mat yang enggak lihat berarti."

"Oh iya?"

"Iya. Ya sudah, saya masuk dulu ya, pak."

"Silakan mas, silakan."

Vio hanya mengangguk dan kemudian berjalan menyusul teman-temannya yang terlebih dulu masuk ke dalam.

Mereka duduk di sudut ruangan dekat jendela. Vio tahu, siapa yang memilih tempat itu. Beberapa tahun memahami apa yang perempuan itu suka dan tak suka, membuat dirinya tak pernah lupa atas informasi yang selalu dia gali dalam-dalan demi memahami lebih jauh, seseorang yang ia sukai. Ketika dia telah memutuskan untuk tak lagi menyimpan rasa yang sama, tak membuatnya menghilangkan semua hal yang pernah ia simpan dengan baik di bawah kepala.

Ashel, bagaimanapun juga, perempuan itu pernah menyita perhatian penuh. Mengagumi Ashel, membuat dirinya selalu menutup mata dan hati dari perempuan lain. Nahas, keberadaannya hanya seperti angin lalu yang menyibak rambut dan membuatnya berantakan.

Jika diingat, ia masih merasa konyol dan kasihan kepada dirinya sendiri. Penolakan yang entah berapa kali jumlahnya, tak pernah ia pedulikan kala itu. Membuat, dirinya terlihat benar-benar seperti rakyat jelata yang sedang mengemis keadilan di depan gedung anggota dewan.

Hujan, sudut ruangan, jendela, dan susu jahe pernah menjadi saksinya menelan kepedihan malam itu. Malam panjang yang dingin sebelum ia pergi untuk KKN. Bahkan, jahe merah yang baru dibakar dan digeprek lalu dimasukkan ke dalam susu segar panas pun, tak mampu menghangatkan tubuhnya yang terasa menggigil. Bukan udara yang menyebabkan hawa dingin itu merengkuh tubuhnya begitu mesra, bukan. Tapi, sikap dingin perempuan yang kini sedang melempar senyum padanyalah, yang membuat suasana semakin dingin dan mencekam.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang