Menjaga Hati

436 72 63
                                    

Sebenarnya dia tidak terlalu benci untuk kembali masuk ke kantor setelah long weekend kemarin. Karena memang kewajibannya belum usai, masih ada beberapa minggu lagi. Hanya saja, rasa rindunya terhadap rumah masih belum bisa terpuaskan. Justru ini sebenarnya yang ia benci, ia bahagia ketika perjalanan pulang, namun ketika kembali ke tanah rantau, hatinya tetap tertinggal di rumah.

Berat, meski nanti akan terbiasa lagi.

Dan hal ini, akan terus terulang ketika ia pulang. Sebab, kampung halaman memang menjadi tempat ternyaman bagi orang-orang yang memiliki kenangan baik di sana, dia salah satunya.

Pagi ini, sepertinya ia terlalu pagi tiba di kantor magangnya, sangat pagi malah. Bukan salah jam atau waktu, dia sengaja berangkat pagi dari rumah agar tidak menemui padatnya jalanan. Sebab, ketika menemui jam masuk kantor, beberapa jalan yang ia lewati pasti akan sesak, meski tidak macet berjam-jam, dia tetap tidak menyukai keramaian di tengah jalan.

Kini, ia memutuskan berjalan ke pantry, untuk memakan sarapan yang dibawanya dari rumah. Hanya sekotak nasi goreng buatan sang mama dengan hiasan lucu dari Christy di atasnya yang sudah sedikit acak-acakan. Tak lupa secarik kertas berisi tulisan tangan Christy yang membuatnya tergelitik.

Dia menyuap sendok pertamanya sambil tersenyum membolak-balik note dari sang adik. Setelah satu suapan masuk ke dalam mulutnya, ia segera mengambil gawainya yang ia simpan di kantung kemeja.

Benar saja, sudah ada chat dari Christy yang menanyakan apakah dia sudah sampai. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung membalas pesan itu secepat mungkin. Dia tidak ingin membuat sang adik khawatir.

Ia lanjutkan sarapan yang tertunda itu dengan khidmat. Benar-benar tidak ada yang ia lakukan selain menikmati makanannya.

Sampai pada saat pintu kaca pantry terdorong dan membuatnya berhenti mengunyah sejenak.

Ia perhatikan sekilas orang yang baru saja masuk dan langsung mengambil satu botol minum yang ada di lemari pendingin.

Itu Ashel. Perempuan itu datang dengan napas pendek-pendek. Terlihat kelelahan. Vio hanya menebak, tapi sepertinya memang kelelahan. Botol minum 250 ml, ditenggaknya hampir habis lalu melepas napas lega.

Ia ingin tak acuh, dan fokus pada sarapan yang masih tersisa di dalam kotak. Namun, gerakan Ashel melepas jaket, meletakkan tas di atas meja, dan bahkan kegiatan menarik dan melepas napas, menyita perhatiannya.

Bukan, bukan, bukan menarik, lebih tepatnya, sedikit menganggu ketenangan yang sedari tadi tercipta. Mengusik matanya untuk memerhatikan, sedang apa dan kenapa perempuan itu sebenarnya.

"Kenapa?" Akhirnya dia bertanya.

Rasa pedulinya sebagai manusia, masih ada.

Perempuan itu belum menjawab. Lebih memilih menghabiskan terlebih dahulu air minum yang sisa sedikit itu.

"Handphone gue tadi ketinggalan di toilet stasiun. Gue lari-lari buat ambil. Untung masih ada." Jawab Ashel yang masih mengatur napas.

"Gue pikir gue telat—" Ashel menjeda ucapnnya.

Vio yang tak tega melihat itupun berdiri untuk mengambilkan temannya air lagi.

"Minum lagi dulu."

Ashel mengangguk dan langsung meminum air yang Vio beri dengan sedikit lebih tenang.

"Gue lupa, kalau gue pakai jam mati. Pas lihat handphone, masih jam tujuh."

Ia hanya tersenyum simpul mendengarkan cerita Ashel barusan. Ia sudah paham, jika memang Ashel sedikit pelupa, meski perempuan itu terhitung cerdas di antara teman-teman satu rombelnya.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang