Yessica Kala Yudhistira - Pendirian

268 43 6
                                    

"Sha, gue dapur ya?" tanya Chika sesaat setelah selesai memakai celemeknya.

"Kayanya," jawab Marsha yang baru saja keluar dari dapur untuk meletakkan gelas kotor.

Chika tak lagi menanggapi, dia berjalan ke arah papan jadwal sembari mencepol rambutnya yang tergerai. Dia baca saksama jadwal sore. Mencari namanya, memastikan jobdesk-nya hari ini.

"Iya dapur?" tanya Marsha yang sudah berdiri di belakangnya.

"Iya,"

"Ganti sepatu lo, Kak, pakai sendal jepit gue. Lo dari kampus pasti nggak bawa sendal,"

"Emang lo bawa?"

"Gue tinggal kemarin," jawab Marsha sembari berjalan menuju balik kasir dan mengambil sendalnya yang ia simpan di laci bawah.

"Thank's, Sha," ucap Chika setelah menerima sendal yang Marsha berikan.

Ia mulai berjalan ke belakang, berbincang sejenak dengan temannya sebelum menggantikan posisi sebagai penanggung jawab dapur. Seperti biasa, hal pertama yang harus ia lakukan adalah memeriksa ketersediaan bahan. Menyiapkannya, agar tak keteteran ketika banyak pesanan. Ia juga perlu mencatat stock yang sekiranya sisa sedikit agar tugasnya lebih ringan ketika closing nanti.

Tak ada hal beda yang ia lakukan. Semua sama dari pertama kali ia bekerja di sini. Namun, kali ini, hatinya yang beda, perasaannya tak nyaman. Ada perasaan mengganjal yang bingung ia terjemahkan.

Jelas, ini tentang pertengkaran dengan Vio tiga hari yang lalu. Hatinya masih merasakan sesak jika mengingat hal yang Vio lakukan. Ia masih sakit hati, mendapati Vio yang tak tegas atas diri pria itu sendiri. Ia masih menaruh rasa marah, pada Vio yang tak memikirkan bagaimana perasaannya, dan lebih mementingkan perasaan perempuan lain.

Sedikit ada rasa sesal, begitu mudahnya ia labuhkan perasaan pada Vio. Sedikit menyesal, menganggap Vio tak akan mempermainkan perasaannya. Ia berpikir seperti itu, sebab dirinya seperti mendapati sesuatu yang beda dalam diri Vio. Ketulusan yang ia rasakan beberapa minggu ini, mampu menarik begitu kuat perhatiannya. Menarik begitu cepat rasa sukanya. Tapi ternyata, secepat itu juga, Vio memberinya rasa kecewa. Chika masih tak menyangka.

"Lo masih marahan sama Kak Vio?"

Chika menoleh sekilas, mendapati Marsha sedang mencuci tangannya di wastafel.

Sambil membuka tutup botol mayonaise, dia mengangguk lesu. Entah, dia masih marah dengan Vio, tapi perasaannya tidak enak. Semangatnya seperti menguap entah ke mana. Tak ada gairah untuk melakukan apapun selama tiga hari belakangan. Bahkan, baru sore ini dia masuk kerja, setelah kembali memakai jatah liburnya.

"Dari dua hari yang lalu, dia selalu ke sini, nanyain lo. Takut lo kenapa-kenapa," kata Marsha.

"Dia kacau banget tahu, Kak, nggak dapat kabar dari lo. Ya, dia tanya gue sih, dan udah gue jawab lo baik-baik aja, tapi dia kaya kurang puas gitu. Dia pengen tahu kabar langsung dari lo," imbuh Marsha.

Chika yang masih sibuk dengan semua yang harus ia lakukan, hanya terdiam mendengarkan ucapan Marsha. Dia membiarkan Marsha duduk di kursi plastik yang ada di sana. Dia membiarkan Marsha mengamatinya yang sedang bekerja tanpa mau menanggapi ucapan temannya itu tentang Vio.

"Asli, Kak, kacau banget Kak Vio. Sampai kemarin nih ya, pas mau keluar parkiran 'kan bareng gue ya, dia nabrak pick up kedai yang mau keluar juga,"

Chika langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia tunda menata botol-botol saus yang baru saja diisinya, untuk memutar badan menghadap Marsha yang kini terlihat menyunggingkan senyum.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang