Untuk Kesekian Kali

363 52 20
                                    

Dia duduk di teras kedai. Memandang ke pelataran yang mulai sepi. Hanya ada beberapa kendaran yang terparkir, mungkin kendaraan pegawai. Pak Mat, sang tukang parkir pun sudah tak ada di singgasananya. Lampu-lampu jalanan yang menyala, begitu kentara menyoroti setiap kendaraan yang lewat di kolong langit yang gelap.

Jalan raya di depan sana, tak bisa dikatakan sepi dari kendaraan. Masih cukup banyak sepeda motor yang hilir mudik melewati jalan itu. Lokasi yang memang tak jauh dari kampus, jelas menjadi salah satu faktor, jalanan ini ramai, meski cukup masuk dari jalan raya utama.

Kita semua tahu, jika mahasiswa, kerap kali berlomba dengan burung hantu untuk menjaga malam yang panjang. Obrolan ringan sampai berat, pasti terjadi dalam duduk mereka. Ditemani kopi, teh, minuman dingin, kacang atau keripik, dan kepulan asap rokok, sepertinya menjadi salah satu ciri khas ketika tengah berkumpul untuk bincang-bincang.

Sayangnya, saat ini, dia duduk di atas undak-undakan keramik yang dingin, hanya berkawan dengan angin berembus riuh. Angin dingin yang masih membawa bau hujan sore tadi. Angin yang kemudian membuatnya membawa dua jaket, satu ia kenakan, satu lagi ia simpan untuk Chika.

Kepalanya menoleh ke belakang, memastikan orang-orang di dalam, telah selesai dengan segala kegiatannya. Sebenarnya, tadi ia diminta masuk untuk menunggu Chika di dalam, tapi ia menolak, dengan alasan tak mau menganggu kegiatan bersih-bersih mereka. Chika sendiri, tak terjangkau oleh indera penglihatannya, sebab perempuan itu ada di dapur. Tak apa, setidaknya ia tahu, bahwa Chika masih ada di dalam. Ia juga telah mengirimkan pesan, kalau dirinya sedang menunggu di depan.

Sudah ada sekitar setengah jam ia duduk di teras ini dan itu masih akan berlanjut mungkin sampai setengah jam lagi. Beberapa kali menjemput Chika di jam malam, rasanya biasa, malah justru bahagia. Tapi kali ini berbeda, ada perasaan mengganjal yang belum bisa Vio hilangkan dari dalam hatinya. Perasaan bersalah yang masih terus tertancap di sana.

"Hah..." dia buang napas berat, berharap sesak dalam dadanya sedikit berkurang.

Tapi tidak. Justru ganjalan dalam hatinya terasa semakin menekan untuk sekarang.

"Kenapa nggak masuk?"

Vio langsung mendongak dan tak lama langsung berdiri dari duduknya, setelah melihat siapa yang berdiri di sampingnya.

Itu Chika, perempuan yang ia tunggu sejak tadi. Perempuan yang sedang menatapnya kesal tanpa senyum sama sekali.

"Kalian lagi beres-beres, saya nggak enak,"

"Kalau masuk angin gimana? Nanti aku yang kamu salahin," ketusnya.

Ada senyum tipis yang Vio ukir di wajahnya. Rasa lega, seketika menelusup untuk menarik sesak dalam dada yang sejak kemarin memenuhi organ tak terjamahnya. Nada ketus Chika kali ini, bukan amarah yang berarti. Namun, salah satu bentuk rasa khawatir yang gadisnya bungkus dengan rasa kesal yang dibuat-buat.

"Maaf, ya. Kita pulang sekarang atau kamu masih ada keperluan di dalam?" tanya Vio hati-hati.

Chika menatapnya. Mata mereka bertemu untuk beberapa jenak sebelum anggukan yang kekasihnya berikan.
Vio menggeser sedikit tubuhnya untuk mempersilakan Chika berjalan terlebih dahulu. Di belakang, dia tersenyum lega atas reaksi Chika malam ini. Ia harap ini suatu tanda yang baik.

"Jaket. Dingin," ucap Vio sambil menyodorkan jaket yang baru saja ia keluarkan dari bagasi motornya.
Chika terima dalam diam. Vio tak masalah, yang penting, Chika mau menerimanya.

"Sini, tasnya saya pegangin dulu. Kamu pakai jaketnya. Atau mau ditaruh depan aja nanti?" tawar Vio kemudian.

"Depan aja,"

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang