Kapasitas

380 76 49
                                    

"Abang?"

"Hmm?"

Vio hanya menjawab dengan gumaman, menatap sang adik yang sedang berusaha menelan habis suapan yang tadi dia beri.

"Kenapa abang bohong?" Tanya Christy.

Pertanyaan yang membuat Vio mengernyit dan menaruh kembali nasi yang telah ada di tangannya. Nasi yang sudah siap ia suapkan ke mulut adiknya itu.

Masih dengan pandang bingung, ia mengubah duduknya lebih tegak. Mengubah duduknya, agar bisa dengan sempurna menatap mimik muka Christy yang terlihat juga penuh tanda tanya.

"Bohong apa?"

"Bohong sama mba-mba kasir tadi. Padahal 'kan aku enggak minta brownies dan enggak nolak juga kalau semua brownies yang abang beli dikasih ke aku. Tapi abang bohong demi bisa kasih satu brownies buat mba-mba tadi." Jawab Christy cukup panjang.

Vio tersenyum tipis. Dia belum menjawab lagi ucapan Christy. Tangannya kembali menyodorkan suapan yang tadi sempat tertunda.

"Berbagi, dek."

Christy langsung menggeleng cepat. Menolak percaya atas kalimat yang Vio lontarkan barusan. Vio hanya tersenyum melihat Christy menggeleng dengan keadaan mulut yang masih penuh.

Anak itu terlihat sekali ingin protes, ingin membantah ucapannya barusan. Tapi tak bisa karena nasi yang Vio suapkan masih penuh berada di dalam mulut mungil itu.

"Itu teman abang. Besok kita main sama kakak yang tadi. Kak Chika." Sambungnya kemudian.

Christy terlihat meraih gelas yang sudah Vio isi dengan air dingin. Anak itu meneguknya dengan perlahan demi mendorong makanannya lebih cepat.

"Abang enggak pernah cerita punya teman namanya Chika."

"Teman baru."

"Teman magang?"

Vio menggeleng. Dia belum menjawab. Tangannya kembali menyodorkan suapan nasi ke mulut Christy. Keluhan lapar ternyata bukan kebohongan belaka. Adiknya itu benar-benar lapar setelah memasukkan berbagai macam makanan yang ada di kedai susu tadi.

"Makannya udah aja ya? Kamu udah makan banyak." Saran Vio.

Namun Christy menggeleng. Jari telunjuknya ia angkat, isyarat untuk meminta sekali lagi suapan.

Vio hanya tersenyum geli mendapati itu. Tak bisa menolak. Sejatinya dia memang susah menolak permintaan sang adik jika itu bukan termasuk hal tercela.

"Beberapa minggu yang lalu, abang pernah nolongin dia. Terus kami jadi berteman." Ucapnya.

Pandang matanya ia jatuhkan pada tatap heran yang Christy lempar. Ia paham, adiknya tak mungkin puas atas pengakuan yang ia tuturkan. Dia sengaja tidak mengatakan yang sesungguhnya siapa Chika di sudut pandang hatinya. Karena dia yakin, Christy sedikit paham maksud dirinya memberikan sepotong brownies tadi sore.

Pertanyaan yang Christy berikan, sudah menjadi tanda bahwa anak remaja ini, menaruh curiga. Sebab, Christy tahu, Vio tak mungkin dan jarang sekali bersikap luwes terhadap lawan jenis.

"Kak Chika, tuh!" Seru Christy.

Seruan yang mampu membuatnya langsung menatap ponsel yang masih menyala menampilkan pop up pesan dari Chika.

Dia meraihnya dengan tangan yang bersih. Meletakkannya di paha agar bisa dengan mudah membuka ponselnya yang terkunci.

Perhatiannya sedikit berpindah pada Christy yang mengikis jarak. Anak itu terlihat ingin tahu isi pesan yang Chika kirim.

Tak Vio larang, ia malah mempersilakan Christy untuk ikut membacanya. Vio pikir tidak masalah. Tidak ada hal yang perlu disembunyikan dari adiknya perihal Chika.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang