Vio membuang napas kasar setelah menyelesaikan rapat dengan redaktur kantor magangnya. Di pantry, dia duduk lesu usai menenggak habis air putihnya. Pikirannya yang masih kacau karena pertengkaran dengan Chika, semakin terasa kusut karena tugas yang diberikan oleh kantor berita tempatnya magang.
Tangannya belum berhenti memijit pangkal hidung. Kepalanya belum ia angkat dari tunduk. Dan tubuhnya belum ia tegakkan dari duduk. Seperti kehilangan tenaga, tak ada semangat pun asa. Dia mungkin telah berulang kali patah hati akibat penolakan yang kerap ia terima di hari sebelum ini, tapi ternyata, pertengkaran dengan orang yang dicinta lebih menyakitkan. Hatinya terasa benar-benar koyak. Entah ia yang terlalu berlebihan atau memang semua orang merasa seperti ini ketika bertengkar dan tidak bisa menemui kekasih hati."Cakwe juga kalah lembek sama lo. Kenapa dah?" itu Aldo yang bersuara.
Dia tak tahu kapan kawannya itu masuk pantry. Sebab dia sedang berkelit dengan hati dan pikirannya sendiri.
"Pusing gue, Do," keluhnya.
Dia menegakkan duduknya, menarik napas dalam dan melepasnya dengan kasar. Kemudian menoleh pada Aldo dengan tatapan lelah.
"Gue lagi marahan sama Chika tapi malah harus pergi ninggalin dia,"
Ada tawa yang Aldo gemakan setelah temannya itu menyesap minuman kalengnya, "Cuma tiga hari buset, kaya bakal pergi berbulan-bulan," kata Aldo.
Vio berdecak, "Tapi gue lagi marahan sama dia,"
"Udah berapa lama emang?"Ia diam sejenak. Terhitung sudah dua hari Chika mendiaminya. Tak membalas pesan singkatnya, tak mengangkat sambungan teleponnya, apa lagi bertemu.
"Dua. Besok tiga. Kalau besok gue nggak berhasil dapat maaf dari dia, bisa seminggu lebih. Amit-amit,"
Aldo mengangguk-angguk, seperti paham akan apa yang barusan ia bicarakan. Vio juga tak berharap apa-apa dari Aldo. Dia hanya menjawab apa yang temannya tanyakan.
"Lama juga, bisa gawat,"
Vio langung memutar tubuhnya, menatap Aldo penuh tanya, "Maksudnya?"
"Ya gawat. Lagi LDR tapi nggak komunikasi tuh, gawat, Vi. Itu dari yang gue baca ya. Karena kalau LDR yang penting ya, komunikasi,"
Ia mendengus, "Makannya itu. Lagian, kenapa lama ya liputannya?"
Aldo belum menjawab, laki-laki itu terlihat tengah kembali menyesap minumannya.
"Ya lama, Vi, kita 'kan mau latihan investigasi. Sambil mau liputan demo di hari kedua kita di sana. Lo nggak dengerin tadi?"
"Dengar. Tapi heran aja, padahal bisa, kalau abis demo kita balik," jawabnya.
Aldo terlihat mengernyit ke arahnya, "Kayanya otak lo beneran kusut, ya?"
"Ha? Kenapa?"
"Biasanya lo lebih cerdas dah dari pada gue soal ini,"
Vio semakin bingung, "Ha?"
"Hah heh hoh!" kata Aldo sambil mendorong kepalanya. "Cinta emang bikin otak agak geser, sini gue benerin lagi. Denger baik-baik,"
Vio hanya memperhatikan gerak gerik Aldo yang tengah siap memberi penjelasan.
"Tadi 'kan Bang Ical bilang, kita latihan investigasi. Hari pertama kita keliling tuh cari narasumber, hari kedua kita turun ke demo pabriknya, kemungkinan sampai sore, malam kita diskusi dan nyusun tulisan, hari ketiga kita jalan-jalan, sambil lihat lingkungan di sana. Buat nambah informasi di tulisan kita. Gitu kata Bang Ical tadi," terang Aldo.
Vio menyimak penuturan Aldo barusan. Mungkin ini lebih jelas dibanding dengan penjelasan pendampingnya tadi saat rapat. Otaknya yang sedang kusut, memang sedikit sulit memahami retorika dari orang-orang yang penuturannya begitu tersusun rapi dan sistematis.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPASITAS IKAN MIGRASI
Fanfic"Di dunia yang sempit ini, ia akan terus mencintai tanpa batasan untuk satu orang. Hanya bisa cinta satu orang."