Jalan yang Mana?

420 72 57
                                    

Ketika dia membuka mata, seulas senyum ia ukir di wajahnya. Rasa bahagia yang kemarin ia tuai, masih mengendap di dalam dadanya. Hari kemarin, terlalu luar biasa. Terlalu sayang jika dilupa begitu saja. Dia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Vio ingin menjadikan hari kemarin sebagai bagian dari kebahagiaan yang baru ia temukan. Kebahagiaan yang mampu melengkapi secuil puzzle bahagia yang baru saja ia dapatkan.

Ada bahagia, namun juga masih terasa aneh. Ini terlalu cepat dari apa yang ia pikirkan. Dirinya juga terlalu berani untuk melangkah. Apa karena Chika sama sekali tak menunjukkan penolakan-penolakan atas apa yang dia lakukan? Jadi timbul rasa percaya diri yang begitu besar dari alam sadar sana.

Senyum yang tadi ia ukir, masih ia pertahankan. Mata yang memandang langit-langit kamar kos, masih menerawang kelebat-kelebat aktivitas yang ia lakukan ke marin bersama Chika.

Rasanya sangat menyenangkan.

Mengingat senyum perempuan itu, menyimak gema suara yang Chika keluarkan dari ucapan-ucapan yang gadis itu tuturkan, sentuhan kulit yang tak disengaja, pukulan yang Chika layangkan pada lengan atasnya, dan semua gerak-gerik yang Chika lakukan, benar-benar membuat dirinya merasa jadi orang gila saat ini.

Lagi-lagi dia mengulum senyum. Kali ini, ia timpa mukanya itu dengan bantal. Merasa malu dengan dirinya sendiri.

Apa ini rasanya dipedulikan oleh seseorang yang menarik hatinya? Dipedulikan pada saat yang tepat, apa seperti ini rasanya? Pantas, Zafra akan seperti orang yang terlalu banyak menelan kecubung saat menerima balasan dari kekasihnya. Karena memang mampu membuat diri lupa akan daratan.

Dia buka bantal yang menutupi mukanya tadi. Senyum yang ia ukir di sana, semakin mengembang, saat ponsel yang baru ia raih dan nyalakan, memunculkan notifikasi dari Chika.

Vio beringsut untuk bangun dari pembaringan. Menyandarkan punggungnya untuk membaca saksama pesan yang sang puan kirimkan sejak dua jam yang lalu.

Pagi sekali. Pikirnya.

Saat pesan itu ia buka, tertampil sebuah foto lokomotif kereta mainan yang Vio beli untuk Chika kemarin. Di sampingnya terlihat juga ada dua mainan kereta yang panjangnya tak seberapa. Lebih kecil dari lokomotif yang ia beli untuk Chika kemarin.

Selain Chika, mungkin di luar sana, banyak juga perempuan-perempuan yang menyukai kereta. Tapi, di dalam kehidupannya, baru kali ini dia menemukan sosok perempuan yang memiliki kesukaan yang unik.

Makasih ya, kak ^.^

Itu pesan yang Chika tuliskan di bawah foto yang perempuan kirim padanya.

Ia sama sekali tak bisa menyembunyikan senyum di sana. Banyak bahagia yang telah Chika beri padanya. Jika memang lokomotif itu bisa membuat Chika bahagia, mungkin suatu saat nanti, akan ia belikan yang lebih bagus. Vio senang melihat banyak binar bahagia di mata Chika seperti kemarin. Binar mata yang mampu memunculkan keinginan diri untuk lebih banyak memberikan hal-hal menyenangkan kepada perempuan itu.

Usai membalas pesan Chika, dia memeriksa galeri fotonya. Ada beberapa foto yang Chika ambil menggunakan ponselnya kemarin. Dia adalah orang yang sangat jarang sekali, mengambil potret diri. Kendati beberapa orang sekitar mengatakan kalau dirinya terlalu bodoh tidak memanfaatkan paras yang dia punya untuk diumbar ke kaum hawa.

Tidak. Vio tidak tertarik dengan itu. Terakhir kali ada perempuan mendekatinya, saat itu juga sang puan balik badan tak ingin meneruskan niatnya. Alasannya sama seperti perkataan Ashel yang menyakitkan kala itu.

Tapi itu sudah berlangsung cukup lama. Masa SMA sebelum masuk kuliah. Di masa setelah itu, dia yang memang dasarnya agak pendiam, tak pernah lagi mendapati perempuan mendekati dirinya. Namun, akhir-akhir ini, dia menyadari, ada setitik rasa yang dipercikkan oleh orang terdekatnya.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang