Yessica Kala Yudhistira: Penegasan

375 72 17
                                    

Rintik hujan yang tiba-tiba turun dari beberapa detik yang lalu, memaksa dia menggenggam tangan kekar sang tuan untuk segera beranjak dari tempat mereka duduk dan berteduh di bawah kanopi toko tempat mereka membeli minuman. Memaksa dia, menunda lebih lama untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang terlontar dua kali dari lisan laki-laki yang kini berdiri di sampingnya.

Laki-laki yang tengah sibuk menghubungi sang adik dengan raut wajah khawatir. Laki-laki yang sebelah tangannya berusaha menutupi kepala miliknya dari rintik air langit yang semakin deras turun. Meskipun, itu sama sekali tidak membantu menghalau air hujan, Vio tetap melakukannya.

Satu dua satu dua dan ribuan titik-titik air itu jatuh menempa bumi bagian dirinya berpijak. Sepatu-sepatu mereka dan semua orang-orang yang tengah berteduh di sana, mulai terkena tempias air yang memercik dari paving tempat mereka berdiri.

Ada senyum tipis yang ia umbar saat mendapati gerak-gerik yang laki-laki ini beri. Dia tak pernah menyangka, tertarik dengan salah satu sosok pelanggan kedai susu tempatnya bekerja.

*

"Chik, semenjak abis nolongin lo, gue lihat-lihat, lo sama mas-mas oatmilk sering ngobrol. Kalian cinlok di klinik?"

Dia yang baru saja kembali dari mengantar minuman ke pelanggan, hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan itu.

"Awalnya sih ngobrol sebagai tanda terima kasih, tapi kita lihat aja nanti Kak Eli, mereka selanjutnya gimana." Itu Marsha yang menimpali.

Gadis berwajah oriental itu, berlalu meletakkan celemek yang seharian dipakainya sambil memberikan tatapan mengejek pada Chika.

Lagi-lagi, dia hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan dari rekannya itu.

Dia lebih memilih untuk meneguk air putih dari botol minum yang ia letakkan di samping kasir.

"Jumat kemarin, dia antar gue. Sabtunya gue main sama dia."

Ada mimik keterkejutan yang dilempar kedua orang yang ada di sana. Dia hanya terkekeh geli mendapati itu. Mungkin memang mereka terlalu terkejut atas pendekatan yang terlihat begitu cepat di antara dirinya dan pria yang menjadi objek perbincangan mereka sedari tadi.

Dia pun juga tak paham, mengapa bisa menerima laki-laki itu dengan mudahnya. Laki-laki yang pertama kali ia temui di parkiran untuk menukar uang.

"Sejauh itu?" Tanya Marsha masih dalam keterkejutannya.

Chika mengangkat kedua bahunya ragu. Matanya menoleh ke arah meja yang kursinya diisi seseorang yang sedang dibicarakan.

"Tutur katanya lembut, lakunya agung, gue suka."

"Lo suka gue, Chik?"

Mereka bertiga kompak berdecak setelah mendengar pertanyaan dari laki-laki yang baru saja berdiri ambang pintu dapur.

"Yeuu... laku agung, bukan Adigung Adiguna." Protes Eli sambil melempar celemek yang barusan ia copot.

Chika hanya menggelengkan kepalanya sambil mengikuti Eli dan Marsha mencopot celemek yang sedari pagi menempel pada badannya.

Shiftnya telah selesai hari ini, namun dia belum ada niatan untuk pulang. Ada hal yang mengusik hatinya usai mengantarkan segelas susu ke meja yang sedari tadi orangnya menjadi objek penglihatan Chika dan perbincangan teman-temannya.

Ia segera berjalan menuju rak tempat penyimpanan barang-barang karyawan, mengambil tas, dan merogoh ponsel yang sedari tadi tak ia sentuh.

Seperti hari-hari kemarin, chat yang menumpuk di layarnya, 80% atas nama Zein. Chika tak lagi heran, tak pernah heran. Tapi, entah kenapa, dia juga tak pernah terusik atas itu. Atau belum, entah?

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang