Bersitegang

280 31 7
                                    

Senyumnya masih terukir jelas di wajah tegasnya, kendati saat ini ia sedang berpaling dari layar gawai yang menampilkan wajah ayu kekasihnya. Sambil mengancingkan kemeja warna biru tuanya, ia kembali mendekat, mendapati Chika di seberang sana tengah berbaring menatap dirinya sambil mengumbar senyum simpul di bibir tipisnya.

Dia raih ponselnya yang tadi ia letakan di meja rias yang ada di kamar tempatnya bermalam. Lantas duduk di balik meja dan mematrikan pandang pada wajah Chika yang polos tanpa polesan make up sedikitpun.

Ada bulir-bulir rindu yang tengah mengalir di dadanya saat melihat air muka sang puan. Rasa-rasanya sudah sangat lama dia tak mendapati wajah kantuk sang kekasih di pagi hari untuk sekadar menunggui dirinya yang sedang bersiap diri. Rasanya sudah sangat lama ia tak mendengar suara parau gadisnya di pagi hari hanya untuk sekadar mengucapkan "hai" di awal panggilan. Rasanya sudah sangat lama, Vio tak merasa sesemangat ini menyambut pagi yang kerap memerintahnya untuk tidur lagi.

Bungkamnya Chika tiga hari kemarin, ternyata benar-benar bukan waktu yang sebentar. Perputaran jam di arloji tangannya, terasa begitu lamban. Seolah-olah membiarkan diri Vio terkungkung lebih lama dalam kesalahan yang mampu mengoyak dada dan pikirannya sendiri. Tiga hari kemarin benar-benar membuat atas kepala Vio seperti di naungi rasa bersalah yang begitu besar, membuat setiap hal yang ia lakukan terasa berat. Bahkan, minuman kesukaan yang ia pesan, terasa begitu hambar dan pahit ketika sampai pangkal tenggorokan.

Mungkin memang sedikit egois, memaksa Chika untuk segera memaafkan kesalahannya kemarin. Kesalahan yang dia rasa, dia sendiri harus dihadiahi caci maki bahkan tampar pipi dari Chika. Dia mungkin memang egois, sudah memaksa Chika keluar terlalu dini dari waktu renungan yang perempuan butuhkan untuk memikirkan penerimaan kata maaf dari dirinya. Vio memang egois untuk mendapat maaf Chika dengan segera, tanpa bertanya dulu bagaimana kondisi hati kekasihnya. Betapa kurang ajarnya dia? Egoisme yang dia ikuti dengan pembelaan-pembelaan yang mungkin hanya menguntungkan dirinya. Pembelaan yang lagi-lagi tak menengok bagaimana kondisi hati puannya. Setelah dari sini, Vio bertekad untuk membayar tuntas semua keegoisan yang telah ia paksakan pada Chika.

"Nanti aku mau nonton liputannya. Kata temanku, tv lokal ngeliput demonya," ujar Chika parau.

Ucapan yang mampu membuat Vio tersenyum. Ada nada khawatir yang terselip di setiap potongan kata yang Chika lontarkan. Nada khawatir yang terdengar menggemaskan di telinga Vio. Nada khawatir yang juga mampu membuat kehangatan mengaliri dada dan isi kepalanya.

"Memang kamu, kuliah jam berapa?"

"Siang. Hari ini satu mata kuliah aja. Habis itu aku—ke kedai,"

Vio mengangguk sejenak, "Maaf ya, saya bikin kamu khawatir,"

Chika terlihat menyingkap selimut yang tadi perempuan itu gunakan untuk membungkus tubuhnya. Ada raut penuh tanya yang tercetak di wajah ayu sang kekasih. Vio diam, menyimpan tanya di balik dadanya. Ia menunggu Chika yang tengah berusaha bangun dari acara berbaringnya.

Dia tertegun, saat Chika menyugar surai hitam lurusnya untuk beberapa kali. Menimbulkan detak jantung yang kacau. Mengobrak-abrik kesadaran Vio yang telah ia bangun susah payah di pagi yang belum terang ini. Vio berani bersumpah, ini salah satu pemandangan indah yang Tuhan izinkan untuk ia tatap selama ia menjadi salah satu penghuni dunia. Kenapa perempuannya terlihat begitu indah saat merapikan rambut yang acak-acakan?

"Kak? Kok diam, sih?"

Teguran Chika di seberang sana, mampu menarik kembali kesadaran Vio yang sempat ia lambungkan ke langit-langit kamar ini.

"Eh—iya, anu, ma—af ya. Tadi kamu ngomong apa?" tanyanya kikuk.

Ada tawa ringan yang Chika berikan. Ada gerakan tangan yang lagi-lagi perempuan itu gunakan untuk merapikan rambutnya.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang