Hari ini, mungkin akan menjadi hari yang panjang, dia harap begitu. Hari yang ia harap, detiknya berputar lebih lambat dibanding hari-hari biasa. Hari yang ia harap tak segera memudarkan warna langitnya. Sebab, ia ingin berlama-lama bersama sang puan. Bersama Chika.
Setelah mengantarkan Chika pulang semalam, lidahnya begitu gesit menawarkan ajakan pergi berdua untuk mengisi hari Sabtu yang kosong. Meski setelahnya ia merutuki ajakan yang spontan itu, dia bersyukur, karena ajakannya memperoleh jawaban iya.
Namun, sampai sekarang dirinya tak tahu akan mengajak Chika ke mana.
Tanpa tujuan pun, dia akan tetap melajukan motornya. Membawa Chika di jok motor belakang, menghabiskan waktu bersama perempuan itu dengan pembicaraan ringan yang sudah pasti akan membuat dadanya menghangat.Suara Chika masih menjadi candu bagi dirinya. Bak zat adiktif yang akan selalu bisa melegakan dadanya barang sejenak dua jenak. Zat adiktif yang akan membuat dirinya semakin kecanduan dan resah jika tak menemukannya barang sehari.
Mungkin.
Ah! Membayangkannya saja, sudah mampu membuat dirinya seperti orang gila. Dia seperti orang yang baru saja menang lotere ratusan juta. Bahagianya tak terkira. Tapi dia harap, bahagianya ini tak seperti menang judi yang hanya bisa ia peroleh dari keberuntungan belaka. Tidak, jangan sampai. Ia mau menciptakan bahagianya sendiri, tanpa harus menunggu Dewi Fortuna menjulurkan tangan ke arahnya.
Ada embusan napas berat yang dia keluarkan. Tangan kirinya, dia letakkan di dada untuk meredam degup yang sudah tak beraturan sejak ia dalam perjalanan menuju kos Chika. Ini memang bukan pertama kali dia menjemput seseorang yang menarik perhatiannya. Namun, ini pertama kali ia menjemput Chika dengan tujuan membawa perempuan itu, untuk menghabiskan Sabtu ini bersamanya.
Setelah menurunkan standar motor maticnya, ia tatap kos Chika. Saat ia memandang kos-kosan berwarna ungu itu, rasanya masih aneh. Terasa begitu cepat. Seperti baru kemarin dia mengagumi suara Chika, baru kemarin dia berkenalan dengan perempuan akibat hujan, baru kemarin juga dia membantu Chika yang tengah sakit, kini dia sudah diberi kesempatan untuk menjemput perempuan itu di depan kosnya. Tidak sekadar menjemput, mengantarkan ke tempat tujuan, dan kemudian pergi, tidak. Tidak sekadar itu. Tapi hari ini, dia akan menghabiskan waktu bersama Chika.
Seharian.
Entah sampai jam berapa, yang pasti, Sabtu ini adalah hari Sabtu yang harus ia kosongkan demi bisa berlama-lama dengan Chika. Sabtu yang akan ia gunakan untuk sedikit demi sedikit menghapus status "orang asing" yang masih terlihat di antara mereka. Sedikit demi sedikit akan ia ganti menjadi "teman". Untuk selanjutnya, ia akan serahkan pada Tuhan. Dia percayakan semua urusan pada yang di atas.
Chika, saya sudah di depan.
Itu pesan yang ia kirim ke nomor Chika. Semalam, gadis itu meminta ponselnya dan menyimpan sendiri nomornya di sana. Saat itu, Vio hanya bisa mengulum senyumnya. Bahagia yang Chika beri sejak semalam, benar-benar mampu menembus relung hatinya hingga mampu menyamarkan udara dingin yang ia tembus semalaman menuju kos miliknya.
Iya kak, tgg sebentar
Setelah membaca teks sebaris dari Chika, dia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan turun dari motor.
Kaki jenjangnya berjalan menuju kursi yang tersedia di depan gerbang kos Chika. Dia menunggu di sana sembari memeriksa pakaiannya, aroma tubuhnya, bahkan tatanan rambutnya yang ia raba-raba menggunakan telapak tangan.
"Balik jangan malam-malam!"
Vio langsung menoleh ketika mendengar suara berat dari balik pagar itu. Dia berdiri, matanya mendapati laki-laki yang pernah ia temui, berjalan di belakang Chika dengan muka yang terlihat kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPASITAS IKAN MIGRASI
Fanfiction"Di dunia yang sempit ini, ia akan terus mencintai tanpa batasan untuk satu orang. Hanya bisa cinta satu orang."