Adik

410 69 14
                                    

Harap yang ia gantung seolah turun di depan matanya. Harap-harap itu, seolah bisa dengan mudah ia raih untuk sekarang ini. Tapi, dia belum yakin, masih banyak rasa aneh yang bergumul di dalam dadanya sana. Meski, dia bahagia mendapati hal kemarin-kemarin.

Dia tak habis pikir, kenapa rasanya begitu mudah? Ah— dia seperti kebanyakan manusia di luar sana, ketika dipersulit mengeluh tanpa ampun, seolah semua kesulitan dilimpahkan semua pada pundaknya. Saat semua langkahnya dipermudah, otaknya dengan sering, memunculkan pertanyaan tak percaya atas pemberian-Nya. Aneh memang.

Hampir dua minggu ini, dia rasa, dirinya semakin dekat dengan Chika. Mereka selalu menyempatkan untuk berbincang barang sekecap dua kecap di kedai susu. Bertukar kabar melalui pesan singkat. Bahkan, pernah sekali Chika menghubungi dirinya melalui panggilan telepon untuk memberi kabar kalau perempuan itu telah sampai di kosannya.

Siapa yang tidak bahagia? Dikabari seperti itu adalah salah satu indikasi dirinya penting 'kan bagi Chika? Atau ini hanya penafsirannya saja? Penafsiran atas dasar rasa percaya diri yang tinggi?

Namun, keakrabannya dengan Chika, sedikit mengubah rona wajahnya beberapa hari ini. Semua yang ia temui di kantor magangnya, mengatakan, jika ada yang berbeda dengan dirinya.

Lebih bahagia dan berseri.

Dia jadi berpikir, semuram itukah mukanya, sampai bahagia yang dia pandam sendiri mampu dengan kentara menyembul pada garis-garis mukanya?

Mungkin benar, bahagia yang ia rasa sekarang, mampu menghidupkan rona-rona wajah yang telah lama mati. Mampu menghangatkan, setiap inci mukanya yang dingin. Mampu mengendurkan otot-otot wajahnya yang kaku. Dia jadi sering senyum lepas, begitu kata teman-teman dan orang di sekitarnya.

Sekali lagi, sesuram dan semuram itu 'kah wajahnya kemarin?

"Dek, muka abang, memang kaya kanebo kering ya?"

Pertanyaan di dalam kepalanya, ia tarik paksa untuk keluar dan ia lemparkan pada sang adik yang mukanya terlihat memenuhi layar datar ponselnya sana.

"Kanebo tuh yang suka abang pakai buat keringin motor? Yang warna kuning buluk itu?"

Dia tertawa sebentar. Percakapan dengan adiknya tak pernah tak menimbulkan tawa. Pertanyaan-pertanyaan polos yang sering keluar dari bibir tipis itu, kerap menggelitik hingga mampu menimbulkan senyum bahkan tawa keras dari siapapun yang mendengarnya.

"Iya, yang itu. Kalau keringkan kaku banget."

Di sana, gadis yang telah tumbuh menjadi remaja itu, terlihat berpikir.
Vio diam, menanti dengan sabar jawaban yang akan diberikan oleh adiknya. Adik perempuan yang selalu ia jaga sepenuh hati sejak dulu. Adik perempuan yang akan selalu marah ketika ia pamit untuk kembali ke tanah rantau. Adik perempuan yang sebentar lagi masuk menengah atas.

Dia kadang masih tidak terima, jika adiknya telah beranjak remaja. Adik kecil yang dulu dia timang, kini mungkin sudah paham yang namanya kasmaran.

"Sedikit, hehe."

Vio melebarkan senyumnya mendengar jawaban itu.

"Tapi, tapi, bukan buluk ya, bang. Ini... cuma, abang tuh kaya susah berekspresi. Tapi kalau lagi bahagia, kentara banget, kaya sekarang ini."

Dia menegakkan punggungnya. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan punggung yang lebih tegap dari sebelumnya.

Sedikit terkejut dengan ucapan sang adik. Ternyata memang sebegitu terlihatnya, perubahan mimik muka yang ia miliki. Bahkan, dia tak pernah tahu, jika adiknya juga mengamati hal itu.

Ah— bukan tak tahu, dia saja yang tak acuh. Sebab, memang ia rasa tak ada yang aneh terhadap dirinya. Dia pikir, selama ini, memang wajah atau mimiknya biasa saja, ternyata dia mata orang lain, berbeda.

"Beda gimana?"

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang