37. Semuanya Berubah

79 4 0
                                    

"Jika seandainya menjauh adalah sebuah kepastian, maka menjauhlah. Namun jika hanya sebuah pilihan, pilihlah yang benar-benar membuatmu tenang."

-Maaf, Gladista-

ʚɞ ʚɞ ʚɞ

"Lo.... " Gladista akhirnya bersuara, tetapi sedikit sulit untuk bisa melanjutkan setiap kata yang ia ingin di ucapkan.

"Oh ya, gue belum kenalan ya sama lo. Kenalin nama gue, Dirgantara." Sontak Gladista langsung menganga tak percaya dengan lelaki itu yang mengaku sebagai 'Dirgantara.'

Dia memang Dirgantara, wajahnya pun memang sangat mirip, namun tidak dengan sifatnya. Dia begitu ramah, begitu santai. Tidak seperti dulu yang terkesan cuek, tidak peduli, pendiam, tidak suka keramaian. Tapi ini... sangat berbanding terbalik.

Jabatan tangan Dirgantara masih saja belum dapat balasan dari Gladista. Ia masih saja terkejut dengan apa yang dia ucapkan.

"Kalo lo gak mau kenalan juga gak apa-apa," ucap Dirgantara memulai makan nasgornya.

"Lo... gak kenal gu-gue?" tanyanya sedikit terbata-bata.

"Perasaan baru tadi pagi kita ketemu, dan lo bilang gak kenal lo?!" Gladista bernapas gusar setelah mendengar jawaban dari Dirgantara. Tidak, bagaimana bisa dia tidak mengenalnya?

Setelah hampir tiga tahun bersama pada masa putih abu-abu dengan senang hati dia bilang tidak kenal Gladista? Bagaimana bisa? Mana dia dulu yang selalu mengajak Gladista ke pantai hanya sekedar melihat senja?

Sebenarnya, lo kenapa Dirgantara?

"Jadi, lo beneran gak kenal gue?" tanya Gladista sekali lagi.

"Lo siapa sih?! Kenapa lo tanya seakan-akan lo kenal gue?!" kali ini Dirgantara membentak Gladista. Dulu... dia tidak pernah membentaknya sekalipun, tidak pernah. Mana perhatian kecilnya yang selalu membuat Gladista nyaman? Mana?! Bukan ini yang Gladista mau, bukan....

Gladista mencoba untuk tidak menangis,  meskipun matanya kini sudah panas memerah. "Nama lo Dirgantara kan? kita satu kelas pas SMA dan kita juga pernah pergi bareng, terutama ke pantai."

Gladista lihat Dirgantara hanya memandang dengan tatapan... entahlah ini sulit di jelaskan. Dia seolah-olah marah dengan Gladista, tapi ia tidak tahu apa alasannya dia marah dan berbohong kepadanya.

Gladista penasaran, sangat penasaran, apa yang terjadi pada Dirgantara? mengapa dia seolah-olah seperti habis kecelakaan dan amnesia?

Namun, jika saja benar, dia habis kecelakaan, itu tandanya dia tidak ingat satu pun, termasuk dirinya. Lalu, jika benar kecelakaan, apa yang membuat dia bisa kecelakaan? Apa karena dia merasa bersalah sudah meninggalkan Gladista secara tiba-tiba? Tidak, tidak mungkin. Dia pergi kan karena ingin meraih cita-citanya untuk kuliah di Luar Negri. Tunggu, jika dia memang benar Dirgantara, apa dia juga kuliah disini? Lalu, bagaimana dengan perkuliahannya di Luar Negri? Ingin sekali Gladista menanyakan semua yang ada di benaknya, tapi dia bisa apa? Bahkan mengingat dirinya pun tidak bisa.

"Heh, lo ngada-ngada ya, kapan kita pernah ke pantai? lo bilang, tadi apa? pas SMA kita satu kelas? mimpi kali lo. Gue sekolah di Luar Negri, dan gue sempet kuliah juga di Luar Negri. Tapi karena nyokap gue ada kerjaan disini, akhirnya gue kuliah disini."

"Bohong. Buat apa sih Dir, lo bohongin gue?" kali ini Gladista benar-benar emosi, ia sudah muak mendengar semua pernyataan yang terlontar dari Dirgantara. Ia sudah muak mendengar omong kosong yang gak ada gunanya dari Dirgantara.

"Lo ngarep apaan sih sama gue, hm?" Gladista sudah sangat muak kali ini, Dirgantara benar-benar sangat berbeda, sangat jauh berbeda.

"Asal lo tahu, kita dulu pernah ber... sama, ke pantai, un-untuk me-melihat sen... ja," kata Gladista sembari mengusap gusar pipinya. Ya, ia menangis, ia sudah tidak tahan membendung air matanya lalu pada akhirnya ia harus menangis di depan lelaki brengsek ini.

MAAF, GLADISTA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang