Halo Caa, maaf telat lagi yaa...
Jangan lupa vote dan komentnya!
"Hari ini mungkin tidak dapat terulang, tidak dapat kembali. Namun, hari ini ku menikmatinya."
- MAAF, GLADISTA -
°°°°°
Masih terngiang-ngiang perkataan Kerlyn semenjak di pantai. Entah kenapa rasanya begitu benar-benar merelakan. Gladista sekarang mendadak merasa bersalah karena merusak pertemanan Kerlyn dan Dirgantara. Tapi apalah daya rasa ini yang tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Dan jika saja Dirgantara tidak kembali, mungkin suatu saat perasaan ini akan perlahan menghilang berubah jadi abu-abu, gelap tak terlihat.
Gladista sekarang sudah berada di rumah usai bermain hal-hal konyol bersama Kerlyn, mungkin tujuan Kerlyn baik, tapi tidak untuk tubuh Gladista sekarang ini yang mungkin sebentar lagi suhu tubuhnya akan naik.
"Sekarang gue harus ngapain ya? temen-temen pada kuliah, apa gue bakal kayak gini terus, nggak ada kerjaan?" gumam Gladista didalam kamarnya.
Untuk kedua orangtua Gladista sudah dipastikan mereka tertidur, jadi akan terlihat aman jika Gladista keluar dari kamarnya. Semua isi di meja terlihat kosong, setelah Gladista benar-benar keluar hanya untuk mencari makanan.
"Gue bisa-bisanya lupa kalo sekarang miskin. Makanan nggak ada, apalagi cemilan."
Gladista melangkah keluar sebentar, hanya untuk mencari angin. Setelah membuka pintu, terlihat sosok lelaki duduk di luar terlihat kelelahan, sembari menyenderkan punggungnya yang lebar.
"Bang," panggil Gladista lembut.
"Kenapa lo keluar?" tanyanya dengan nada sedikit ketus.
"Ehm, tadi niatnya pengin ngemil, tapi ternyata nggak ada makanan. Jadi keluar deh, cari angin." Gladista harap abangnya ini akan merespon dengan nada melas.
"Kita miskin, kalo lo lupa." Tidak sesuai harapan, bang Ar malah merespon dengan sangat nylekit.
"Bang, nyanyi yuk, Bang Ar nggak kangen apa nyanyi-nyanyi kayak dulu lagi."
"Nggak!"
"Bang, hari ini aja. Gladista, adik Bang Ar ini lagi sakit, masa nggak mau sih nurutin satu permintaan buat adiknya."
Arnando yang awalnya menatap lurus kedepan, kini dia mulai mengalihkan pandangannya pada Gladista, wajah mungil putih yang sudah sangat lama tak dia pandang, kini akhirnya merindukan kejahilan yang dulu dia pernah lakukan.
"Ekhem, lo gak sakit."
"Ih sakit Bang, tadi habis hujan-hujanan sama Kerlyn di pantai, coba deh sentuh tangannya Gladista." Gladis menarik tangan Arnando untuk menyentuh tangan Gladista, ya ia hanya ingin membuktikan bahwa ia benar-benar panas tubuhnya.
"Kerlyn? lo ketemu sama dia?" pertanyaan Arnando sukses membuat Gladista menjadi diam tak bersuara, bahkan mendadak canggung di depan Arnando.
"Iya Bang. Dia udah berubah kok, gak kayak dulu lagi. Abang lihat kan, pas dia beri surat dari Dirgantara, dia tuh sebenarnya juga sedih Dirgantara pergi. Tapi, dia berpikir buat apa sedih, kalo bahagia Dirga itu Dista, dan buat apa juga dia benci, kalo Gladista bisa buat Dirgantara bahagia. Dan Bang Ar tahu, sekarang Gladista bener-bener mendadak merasa bersalah, setelah apa yang di ucapkan Kerlyn, Gladista ngerasa kayak udah ngerusak pertemanan mereka. Udah buat Kerlyn ngerasa kehilangan Dirga—"
"Dis, adik Bang Ar ini gak salah kok. Sekarang udahan ya, sedihnya. Gimana, kalo kita nyanyi sama-sama?"
Entah kenapa dan sejak kapan air mata ini turun setelah mendengar apa yang dikatakan Bang Ar. Jujur saja, Gladista sangat rindu disaat momen-momen seperti ini. Gladista rindu dengan Arnando yang perhatian, yang penyayang tanpa ada kata kebencian. Gladista rindu dengan sorot mata yang bahagia serta ukiran senyuman yang kini terlihat di depan Gladista.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF, GLADISTA (END)
Teen FictionPergi, kembali, dan pergi selamanya. Takdir hanya mempertemukan, tanpa kebersamaan. Hanya ada kata maaf, yang lelaki itu ucapkan, sebelum pergi. Hanya sebuah surat, yang lelaki itu tinggalkan, tanpa menemuinya. Bertemunya, bersama dia sosok lelak...