32. Rumah Majikan Ayah

50 3 0
                                    

"Dalam pikiranku, ingin melupakan dia yang telah lama tidak kembali. Namun, dalam hati selalu bersikeras untuk berusaha menerima lagi, dan menginginkan bertahan. "

- Maaf, Gladista -

"Maaf Bu, telat." Gladista yang melihat kantin bu Dian kini merasa bersalah.

"Kamu darimana saja, Li?" Ya, bu Dian memanggilnya dengan sebutan Lia, dengan alasan ia tidak ingin diketahui banyak orang, bahwa ia adalah Gladista.

"Tadi ada halangan Bu, maaf ya," kata Gladista meminta maaf.

"Ya sudah. Tolong kamu antarkan ini ke meja nomer 30 ya!" pinta Bu Dian pada Gladista.

Lalu akhirnya Gladista pun menurut langsung melakukan perintah sari bu Dian. Dari kejauhan di meja nomer 30 terdapat sosok lelaki hanya seorang diri. Dia memakai kemeja berwarna hitam. Tunggu, sepertinya dia memakai pakaian serba hitam semua, termasuk masker yang dia pakai.

Gladista sudah sampai tepat di depan meja nomer 30 itu, "Silahkan, ini pesenannya."

"Makasih."

Deg.

Suara itu...

Gladista merasa sangat familiar dengan cara bicaranya, dan suaranya benar-benar sangat ia kenali. Apa benar, Dirgantara di Indonesia? Lalu, apakah dia Dirgantara?

Tunggu, Gladista ingat sesuatu. Barusan Christa mengirim Gladista sebuah foto yang mirip Dirgantara, tanpa pikir panjang Gladista pun langsung membuka room chat Christa dengan dirinya.

Benar saja, dalam foto yang Christa kirimkan pada Gladista sama persis dengan apa yang Gladista lihat di depan. Apakah, dia Dirgantara?

"Dir... " refleks Gladista memanggil dengan penuh harapan.

°°°°°

"Li, ini gaji kamu ya." Gladista yang sedang fokus menatap layar HP mendadak berhenti karena bu Dian menghampirinya.

"Wah, makasih ya Bu."

"Iya sama-sama, ya sudah sekarang kamu boleh pulang." Lalu akhirnya Gladista bersiap untuk pulang, tapi sebelum itu ia ingin membelikan sesuatu untuk ayahnya. Mengingat ayah membelikan Gladista sebuah sepeda, ia juga ingin membelikan sesuatu untuk ayah sebagai balas budi.

Gladista melangkah cepat ke arah parkiran, awas saja jika sepeda barunya hilang, ia akan tendang habis-habis satpam yang menjaganya.

Ting.

Sebuah notif terdengar membuat Gladista menghentikan langkahnya. Terdapat sebuah pesan singkat dari Arnando yang menanyakan tentang dirinya.

Mohon maaf, sinyal susah. Lihat di SG yaa

Begitulah percakapan antara dua kakak adik yang dulu saling diam. Kini Gladista hanya melihat pesan terakhir Arnando tanpa membalasnya. Niat untuk membelikan ayah sesuatu akan ia laksanakan. Namun, masih sedikit ragu membelikan nasgor untuk ayah.

"Nasgor, enak sih, tapi kan—"

"Ish, nasgor aja deh iya."

Gladista melanjutkan langkahnya menuju parkiran, dan beruntung sepedanya masih tetap aman. Dua satpam itu pun masih setia menjaga sepeda baru itu sembari duduk-duduk minum kopi. Apa perlu ia beri sesuatu juga untuk dua satpam yang disana?

Duh, namun sayangnya mahasiswa yang parkir motor dan mobil di parkiran sini juga gak beri apa-apa untuk dua satpam itu. Lalu, mengapa Gladista tidak seperti mereka saja? Menyusahkan.

MAAF, GLADISTA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang