"Ekspetasi tidak akan pernah sesuai dengan realita. Namun, bagaimankah caranya agar apa yang ekspetasikan sesuai dengan keinginan kita?"
-Maaf, Gladista-
Suasana kali ini menjadi tegang semenjak Christa bertanya. Gladista yang masih belum menjawab pertanyaan Christa, hanya bisa diam. Tidak, ia tidak sedang mengerjai Christa. Namun, ia sedang memikirkan dampak apa yang akan terjadi jika ia memberi jawaban dari pertanyaan Christa.
"Iya, Chris. Gue kerja disitu." Namun, pada akhirnya ia memberikan jawabannya.
"Dis, dari sekolah kita banyak yang kuliah di kampus ini. Lo yakin mau kerja disini? Gimana kalo misalkan ada yang bully lo, gegara mereka semua tahu lo kerja disini?"
"Ya gak masalah, Chris. Lagian juga gue kerja disini halal kok. Gue cuma gak tega aja lihat Bunda setiap hari berangkat pagi pulang malam. Apalagi sekarang lagi sakit, tapi tetep aja berangkat." Christa yang mendengar penjelasan dari Gladista mendadak merasa iba dari apa yang Gladis ceritakan.
"Okeh. Tapi, kalo lo ada apa-apa, jangan lupa hubungin gue ya? Gue pasti tolongin lo." Gladista hanya membalas dengan sebuah senyuman yang terukir indah di wajah tiap ekspresinya.
Sekarang Gladista percaya bahwa orang yang sabar pasti akan mendapatkan yang lebih baik. Dulu memang ia sering mengeluh dengan keadaan keluarganya yang memburuk. Namun, setelah ia melihat semua usaha orangtuanya, ia sedikit belajar bahwa kehidupan benar adanya seperti roda berputar. Kadang di atas, kadang juga di bawah.
Mulai detik ini, Gladista resmi kerja di kantin sebagai pelayan. Tepatnya di kampusnya Christa, Intan, Joval dan juga Garran. Tapi di hari ini, Gladista sama sekali belum melihat Intan, Garran maupun Joval.
"Oh ya, Chris. Gimana tadi matkul-nya?" Gladista sengaja mengalihkan topik untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berdatangan, jika Gladista kerja di kampus ini.
"Biasa aja sih, Dis."
"Kalo temen-temennya?"
"Ya, gitu. Oh ya, tadi dosennya nyebelin banget tahu gak, masa iya sih ngasih tugas banyak banget, Dis." Christa bercerita seolah-olah ingin di bantu oleh Gladista.
"Kalo dosen mah, gak mandang gitu, Chris. Kalo ngasih tugas ya, ngasih aja. Udah, kelar. Nunggu pada ngumpulin, terus di nilai. Gak mikirin juga, seberapa kerasnya lo ngerjain itu," jelas sependapat Gladista.
"Dis, kalo seandainya lo kuliah. Lo mau ambil jurusan apa?" pertanyaan Christa sontak membuat Gladista berhenti menggerakkan sendok makan dalam piring. Tentu itu bukan pertanyaan yang mudah. Butuh renungan juga pertimbangan yang harus ia lakukan.
°°°°°
Bekerja itu tidak semenyenangkan ketika kita berekspetasi. Tidak seenak apa yang kita pikirkan, ketika mendapatkan hasil. Dan tidak senyaman, yang pernah kita pikirkan dulu. Jadi pelayanan di kantin kampus ternama, tidaklah mudah dilakukan. Karena yang datang ada ratusan, dan mereka semua lebih memilih duduk di pojok yang jauh dari tempat pesanan, ketimbang duduk di depan tempat pemesan.
Sudah beberapa kali Gladista bolak-balik mengantar pesanan mahasiswa di kantin dengan membawa penampan untuk menyangga makanannya. Sudah beberapa kali juga ia bolak-balik untuk mengambil bekas piring yang kotor tergeletak.
Terkadang ia sempat berpikir, tidak adakah mahasiswa disini yang merasa iba terhadap pelayan yang melayani mereka? Seperti menaruh kembali piring yang kotor, membersihkan meja kembali yang sempet ternodai oleh makanan, merapikan kursi yang sedikit berantakan. Apakah ia perlu memasang tata tertib di kantin? Bisa gila Gladista kerja sebagai pelayan di kantin kampus ini. Tapi, demi pundi-pundi rupiah ia rela mengorbankan waktunya untuk hal-hal yang tidak ia sukai.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF, GLADISTA (END)
Roman pour AdolescentsPergi, kembali, dan pergi selamanya. Takdir hanya mempertemukan, tanpa kebersamaan. Hanya ada kata maaf, yang lelaki itu ucapkan, sebelum pergi. Hanya sebuah surat, yang lelaki itu tinggalkan, tanpa menemuinya. Bertemunya, bersama dia sosok lelak...