Sekarang Aisyah tidak tahu harus dikemanakan semua yupi yang Nakula kasih. Tidak mungkin juga ia makan semuanya sendiri. Sebagai bentuk rasa terimakasih Aisyah hanya mengambil satu bungkus yupi, ditangannya masih tersisa empat bungkus lagi. Aisyah tak habis pikir kenapa Nakula niat sekali membeli yupi sebanyak itu untuknya. Apakah orang kaya memang segabut itu demi menghabiskan uang? Jika di nalar, jumlah total yupi ini bisa jadi uang saku-nya selama seminggu.
Aisyah menghela napas panjang. Kakinya menelusuri tiap-tiap jalan yang ia lalui. Belum rasa kebingungan itu reda, Aisyah menahan kesal lantaran tidak ada satupun kendaraan umum lewat. Bolak-balik kepalanya menoleh kebelakang untuk melihat apakah ada angkutan umum lewat atau tidak. Sebenarnya Nesta tadi menawarkan tumpangan, akan tetapi Aisyah tolak sebab kasihan dia jika harus bolak-balik mengantarkannya sampai ke rumah.
Aisyah bisa bernapas lega saat beberapa detik lalu ia ketakutan jalan sendirian. Ia takut akan begal dan siulan dzolim dari laki-laki nakal. Gadis itu terus beristighfar minta perlindungan kepada Allah.
Kemudian matanya tak sengaja menangkap dua orang anak kecil dipinggir jalan yang sedang membunyikan alat musik sederhana yang terbuat dari botol berisi batu. Aisyah pun menghampiri mereka.
“Assalamualaikum.” sapa Aisyah. Sontak saja mereka menodongakan kepala.
“Wa'alaikumsalam, Kak.” jawab mereka serempak.
“Kakak boleh duduk?”
“Boleh, Kak, silahkan.” jawab anak perempuan berambut sebahu. Pakaiannya kumal, wajahnya kotor penuh debu. Dia memegang botol plastik yang sudah terisi separuh uang.
Mereka membelah diri, memperkenankan Aisyah duduk di tengah-tengah mereka.
“Kakak cantik baru pulang sekolah ya?” kini giliran bocah laki-laki berambut cepak itu yang bertanya. Dialah yang membunyikan alat musik itu.
Aisyah menoleh kearah bocah kecil itu. “Iya. Kakak baru pulang sekolah.”
“Kakak duduk diatas situ aja biar seragamnya gak kotor. Kita mah udah biasa kotor-kotoran disini.” bocah laki-laki itu menunjuk kearah tempat duduk dari beton dekat tanaman.
“Gapapa. Ini hari terakhir Kakak pakai seragam ini kok. Oh, iya, omong-omong kita kenalan yuk! Mulai dari si cantik dulu, namanya siapa?” pandangan Aisyah tertuju pada gadis mungil berambut sebahu itu.
“Aku Lili, Kak!”
Kepala Aisyah mengangguk, lalu kepalanya menoleh ke kiri, bergantian menatap bocah laki-laki tersebut. “Kalau kamu?”
“Dudung.” Aisyah mengangguk lagi.
“Kenapa kalian nggak sekolah?” tanya Aisyah.
“Mahal, Kak. Kasihan Bapak gak bisa bayarin sekolah kita. Jadi mendingan kita bantu nyari duit aja.” kata Dudung, menunduk lesu. Jujur saja baru kali pertama lihat Aisyah datang dengan seragam sekolah lengkap, ada binar gembira dari raut wajah Dudung. Hati Aisyah tersentil mendengar pernyataan Dudung. Seketika ia menyesal telah bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nakulaisyah
SpiritualAisyah memiliki trauma tentang mengenal seorang pria. Dimana di hari kelulusan yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan Aisyah justru mendapatkan pelecehan seksual dari lelaki yang pernah disukainya. Lalu sebuah tragedi menimpanya dan membu...