Nakulaisyah 44

321 15 5
                                    

Baca doang, mehhhh. Follow dulu kali biar sama-sama enak😏

***

“Pasti lo nggak bawa baju seragam, 'kan? Nih pake punya gue dulu. Gue udah chat ke Sadewa suruh bawain baju sama perlengkapan lo yang lain. Eh, ini gue gak ada sepatu hitam lagi adanya putih gapapa, 'kan? Gapapa lah sekali-kali ketua osis ngelanggar aturan sementara.” cerocos Gibran. Lelaki itu memberikan seragam sekolahnya kepada Nakula.

Nakula memang lupa tidak membawa baju seragam karena Papanya itu langsung menyeretnya keluar tanpa perlu melakukan persiapan. Meskipun Gibran mengizinkannya tinggal sementara di rumahnya, dia tetap meminta bayaran. Memang mata duitan Gibran ini. Tapi, Gibran yang mengerti kondisi kritis Nakula hanya meminta bayaran yang ringan. Uang yang ada di rekeningnya sudah membludak jadi Gibran tidak menginginkan hal itu.

Sebagai bentuk bayaran Gibran menyuruh Nakula untuk membereskan rumahnya serta menyiapkan makan malam serta sarapan pagi. Nakula pun menyutujui persyaratan tersebut. Dia juga merasa berhutang budi padanya jadi bayaran segitu sebanding dengan kehidupannya disini.

Kapan lagi yakan ngerjain anak dari orang terkemuka. Sebagai babu lagi. Memang Gibran yang baik hati.

Gibran memiliki gestur tubuh yang selaras dengan Nakula jadi seragam itu muat ditubuhnya. Hanya saja celana yang memang sudah tidak lama dipakai itu jadi cungklang ketika dikenakan olehnya. Apalagi Nakula memiliki tubuh tinggi semampai.

Gibran menggaruk pipinya yang tiba-tiba terasa gatal ketika matanya menelusuri kaki jenjang Nakula. Memperlihatkan mata kakinya yang mulus itu.

“Kayaknya cungklang banget,”

“Hm. Nggak ada lagi emang?”

“Ini doang sama yang gue pake. Udah lama banget itu celana gak gue pake. Lupa permak juga. Juga gue nggak tau bakal ada kejadian kaya gini secara tiba-tiba.”

Nakula memperhatikan dirinya dalam cermin lalu menunduk, menatap sepasang kaki jenjangnya terpampang jelas sampai diatas mata kaki. Ya mau bagaimana lagi. Nakula harus tetap berangkat sekolah meskipun kondisinya yang memprihatinkan memaksanya untuk tetap dirumah.

“Yaudah lah mau gimana lagi. Untuk sementara gue pake ini dulu. Lagian Sadewa nanti  bawain baju gue ke sekolah. Gue ganti disana aja. Thanks, Gib.”

Gibran mengangguk. Lalu mereka keluar dari kamar untuk segera sarapan. Biasanya Gibran tidak sarapan di rumah, karena kedua orangtuanya itu jarang sekali pulang. Ia lebih memilih makan di sekolah bersama kawan-kawannya. Katanya lebih enak makan rame-rame daripada sendirian, sepi dan hampa. Berbeda dengan Nakula yang selalu sarapan di rumah. Mamanya pasti akan selalu bangun tiap pagi demi menyiakan sarapan untuk anak-anak serta suaminya berangkat kerja. Karena terbiasa sarapan seadanya, jadilah sarapan kali ini adalah nasi goreng dengan topping telor mata sapi.

Kebetulan di rumah Gibran tidak ada apa-apa selain bahan-bahan untuk membuat nasi goreng.

“Lo enggak ada niatan buat beli bahan makanan apa? Uang detektif kan banyak. Lo juga dapet duit dari gue,” ujar Nakula sembari menyantap sarapannya.

“Males gue. Lagian buat apa gue beli bahan-bahan itu kalau mereka aja nggak pernah nyempetin waktu buat pulang. Gue juga nggak tau caranya motong bawang. Mending gue beli aja diluar yang udah jadi.” dengan santainya laki-laki itu tertawa. “Emang ya masakan anak chef ternama itu enak. Nggak heran nyokap lo sering masak dirumah walaupun beliau capek kerja. Gue boro-boro.” Gibran membandingkan kehidupannya yang kesepian dengan Nakula yang selalu serba ada itu.

Nakula tidak lagi banyak bicara. Dia tahu bahwa keluarga Gibran semuanya sibuk. Orangtuanya selalu pulang larut berangkat pagi. Jadi ketika ada Nakula Gibran tidak lagi merasakan kekosongan di meja makan.

NakulaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang