Nakulaisyah 41

355 13 3
                                    

"Aisyah, lo kenapa? Lo nangis?"

Aisyah mengangkat kepalanya. Nakula kini sudah jongkok dihadapannya sambil menatapnya bingung sekaligus khawatir. Hidung merah, mata sembab. Jelas siapa yang tidak khawatir apalagi nangis sendirian ditempat seperti ini. Nakula menatap Aisyah risau. Baru kali ini dirinya melihat gadis itu rapuh.

"N-nakula?"

"Hei, lo kenapa?Nakula berjongkok dihadapan gadis tersebut. 

Mengabaikan pertanyaan lelaki itu Aisyah mengusap sisa-sisa air mata, lalu menggelengkan kepala. "Oh, gapapa."

"Beneran?" Nakula memastikannya sekali lagi.

Aisyah menganggukan kepala. "Iya."

Lalu Nakula beralih duduk di samping Aisyah. Memberikan sedikit jarak agar gadis itu tidak merasa risih ketika berada di sampingnya. "Gue rasa gapapa itu cuma buat pengalihan lo aja. Gapapa kalau lo gak mau cerita. Atau lo mau nangis lagi? Gue temenin sampai hati lo lega."

Aisyah sedikit melirik Nakula. Dia benar-benar merasa malu karena ketahuan sedang menangis oleh lelaki itu. Aisyah  tidak punya tempat lagi untuk menangis. Sebab yang ada dipikirannya adalah taman belakang sekolah. Tempat yang jarang sekali didatangi oleh para murid. Maka dari itu tanpa pikir panjang Aisyah langsung berlari kesini. 

Meski matahari mulai naik keduanya sama-sama diam tak bersuara. Nakula memperhatikan Aisyah menangkup wajahnya lalu kembali menangis. Angin berhembus sedikit kencang, membuat daun-daun diatas sana gugur berjatuhan. Nakula mengambil salah satu bunga, diperhatikannya dengan lamat. Hingga beberapa menit kemudian ia tidak lagi mendengar suara isak dari gadis tersebut. Lantas Nakula lekas menoleh, memperhatikan wajah Aisyah dari samping meski gadis itu berusaha menutupinya karena malu.

Entah apa yang ditangisi oleh gadis itu. Suaranya terdengar sangat pilu. Aisyah seperti sedang menanggung beban seorang diri. Yang ia ketahui Aisyah adalah anak pertama dari dua bersaudara. Diam-diam ia melihat data murid di ruang guru demi mencari tau tentang gadis itu. 

Melihat gadis tersebut menangis ingin rasanya Nakula merengkuh tubuhnya. Tapi lelaki itu cukup sadar diri siapa dirinya saat ini. Dengan cara menemaninya itu sudah cukup. Setidaknya Nakula bisa menjadi saksi bisu betapa rapuhnya seorang Aisyah Humaira. Gadis yang biasa dikenal pendiam, rajin, murah senyum sekarang menunjukan sisi lemahnya. 

"Maaf, ya, Nakula. Saya jadi harus menunjukan sisi lemah saya dihadapan kamu." Aisyah menunduk, memperhatikan bunga-bunga yang baru saja berjatuhan tanpa menoleh ke arah lelaki itu.

"Semua orang juga nggak akan selalu kuat menghadapi masalah, Humaira. Entah sebesar apapun masalah itu, pasti kita butuh waktu dan tempat untuk bersedih. Jadi, jangan merasa terbebani. Lagian gue kesini juga karena nggak sengaja denger ada orang nangis. Jadi gue samperin. It's okey kalau lo masih mau nangis dan nggak mau ada yang tau sisi terlemah lo. Gue bisa jaga rahasia kok!" Nakula tersenyum kecil berusaha memadamkan kegelisahan gadis itu.

Aisyah menoleh, menatap Nakula sejenak lalu kembali menatap depan. Bukan masalah jika Nakula akan menyebarkan sisi terlemahnya pada orang lain. Aisyah tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya jika yang melihatnya menangis adalah laki-laki itu. Tapi untung lah jika Nakula yang mengetahuinya seorang. Aisyah juga percaya jika Nakula tidak akan membongkar rahasianya yang saat itu sedang menangis. 

Nakula bukan tipe orang yang seperti itu kok. Aisyah sedikit menaruh rasa percayanya pada Nakula. Dan ketika dia berada di dekatnya, Aisyah jadi merasa aman, dan... nyaman.

"Saya benci pada diri saya sendiri. Kenapa saya terlalu lemah untuk melawan orang yang lebih kuat yang saya anggap sebagai sahabat saya sendiri. Saya juga merasa takut. Takut jika suatu saat nanti saya nggak diterima oleh siapapun. Saya ini kotor, nggak seharusnya kamu menyukai wanita kotor dan penuh hina seperti saya, Nakula." lirihnya. Ketakutannya pada laki-laki begitu dalam sampai ia merasa tidak pantas dicintai oleh laki-laki seperti Nakula.

NakulaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang