Part 3 | Lelaki di Bawah Hujan

392 67 35
                                    

"Telapak tangannya terulur, bersentuhan dengan tetes hujan yang tak mampu ia genggam. Sepertinya akan lama bila menunggu hujan reda. Mel berniat untuk menerobos saja biar tidak hanya hatinya yang basah."

-Irlihry83, penulis Wattpad Kamelia
.
.
.
.
.
🍁 Happy Reading 🍁

Beruntung Mel menemukan satu meja kosong yang tersisa. Lekas ia menempatinya bersamaan dengan seorang lelaki yang meletakkan laptop di meja tersebut. Keduanya sempat beradu pandang selama beberapa detik.

"Maaf, boleh saya ikut bergabung di meja ini? Sepertinya meja lain sudah penuh semua," ujar lelaki berhidung bangir yang masih berdiri di samping meja.

Mel jadi sungkan sendiri karena awalnya ia tidak mau mengalah tentang siapa yang menempati meja ini terlebih dahulu. Namun, justru lelaki berkemeja flanel kotak-kotak warna hitam-putih itu yang minta izin.

"Silakan," timpal Mel kemudian.

Mel kembali disibukkan dengan dunianya sendiri. Ia bahkan lupa ada orang lain yang duduk semeja dengannya, menyisakan dua bangku kosong di depan dan samping kirinya.

Dari tempat duduknya saat ini, Mel bisa melihat lalu lalang mahasiswa di bawah sana. Pepohonan rindang juga terlihat di banyak titik kampus yang warna hijaunya sungguh menyejukkan mata. Bagian yang menurut Mel paling menarik adalah taman luas dengan air mancur di tengahnya. Tentu saja banyak bunga yang ditanam di sana, bangku panjang di dekat pohon, dan lampu taman. Tempat itu bahkan jauh lebih bagus dilihat malam hari karena banyak lampu kelap-kelip yang menyala. Sudah seperti lokasi syuting FTV Misteri Ilahi yang sering ditontonnya dulu.

Seperti yang diharapkan, suasana hatinya kembali membaik setelah duduk menenangkan diri di perpustakaan. Mel membuka halaman pertama novel yang dipinjamnya. Mel juga menyiapkan buku catatan kecil miliknya untuk menulis hal-hal penting dalam novel yang akan dibacanya. Mel menopang dagunya seraya membaca deretan kata demi kata dalam novel. Tubuh dan pikirannya begitu larut mengikuti alur yang disajikan sedemikian rupa oleh si pengarang. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membaca novel di perpustakaan yang tenang, ditemani pemandangan yang memanjakan mata.

Hanya ada satu yang kurang. Suara ombak. Sejak dulu Mel sangat menyukai suara ombak yang dapat menambah ketenangannya ketika membaca buku. Walaupun pemandangan yang dilihatnya saat ini dipenuhi dengan hijau, bukan biru laut, tetapi menambahkan suara ombak sebagai backsound tidak masalah baginya. Akan tetapi, Mel lupa membawa headphone warna putihnya untuk menyumpal kedua telinganya sehingga tidak akan mengusik ketenangan pengunjung lain yang memang harus terjaga di tempat bernama perpustakaan.

Baru saja membicarakan 'mengusik ketenangan', sebuah nada dering ponsel mengganggu kegiatan Mel. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari pelaku kriminal yang terus membiarkan ponselnya berdering. Mel menggelengkan kepalanya prihatin tanpa menyadari kalau dering itu berasal dari ponselnya sendiri yang tergeletak di sisi meja.

"Dek, ponselnya bunyi," tegur lelaki yang sepertinya terganggu saat fokus mengetik di laptopnya.

Mel yang semula memasang wajah tanpa dosa terkejut atas kecerobohannya. "Oh iya, maaf."

Buru-buru Mel mematikan panggilan telepon yang menginterupsi kegiatan membacanya. Ia lupa mengatur ponselnya dalam mode silent, lupa juga dengan nada dering tak biasa yang memang diatur untuk nomor tertentu di ponselnya.

"Maaf ... maaf," sesalnya saat menyadari beberapa pasang mata tengah menghujaninya dengan tatapan tidak suka.

Suasana kembali tenang. Namun, tidak dengan Mel begitu membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Disusul chat beruntun yang kembali merusak suasana hatinya. Ia langsung mematikan ponselnya jika tidak ingin kelepasan membantingnya. Perasaannya yang sudah ditahan-tahan sejak kemarin kembali menyeruak. Ia sudah tidak bisa berpura-pura baik-baik saja. Ia juga tidak sadar sejak kapan cairan bening menetes dari matanya. Ia pasti sudah gila, pikirnya. Cepat-cepat ia mengusap pipinya yang basah sebelum ada yang melihat. Namun, pergerakannya kalah cepat dengan netra milik lelaki yang duduk semeja dengannya.

"Ah, saya tidak apa-apa. Novelnya sangat sedih sampai membuat saya menangis."

Mel langsung merutuki ucapan yang keluar dari bibirnya padahal tidak ada yang menanyakannya. Sepertinya ia harus pulang sekarang. Langit juga tampak mendung seiring matahari yang mulai meredupkan cahayanya. Dengan hati-hati, Mel memasukan barang-barangnya ke dalam tote bag yang disediakan pihak perpustakaan. Ia berjalan menuju pintu keluar tanpa menimbulkan suara.

🐱🐱🐱

"Mel, kamu enggak cuman kehilangan aku sebagai pacar, tapi juga sebagai teman." Itu kalimat terakhir Ryan sebelum benar-benar melepaskannya.

Setelah keluar dari perpustakaan, Mel dikejutkan dengan keberadaan Ryan yang sudah menunggunya. Tentu saja untuk membicarakan hubungan keduanya yang kandas. Pembicaraan mereka tidak berlangsung lama. Ryan masih ingin mempertahankan Mel, tetapi Mel menolak dengan tegas karena tujuannya menjalin hubungan adalah untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Akan tetapi, tujuan itu rupanya berbeda dengan yang Ryan pikirkan.

Ryan tidak membujuk dua kali atau menegosiasikan perasaaan Mel. Sebab tahu betul jika Mel adalah perempuan yang berprinsip. Mel memang sulit memutuskan sesuatu, tetapi sekali membuat pilihan akan sulit untuk menggoyahkannya. Ryan juga tahu, Mel pasti sudah memikirkannya berkali-kali sebelum memutuskan mengakhiri hubungan mereka. Jika sudah begini artinya ia tidak lagi memiliki kesempatan.

"Lagi pula kita emang udah enggak bisa berteman," gumam Mel dengan mata berkaca-kaca.

Seolah mengerti kesedihannya, langit melahirkan hujan yang dikandungnya selepas Ryan pergi. Mel berdiri di depan Bookstore Cafe milik universitas yang letaknya bersebelahan dengan gedung perpustakaan. Telapak tangannya terulur, bersentuhan dengan tetes hujan yang tak mampu ia genggam. Sepertinya akan lama bila menunggu hujan reda. Mel berniat untuk menerobos saja biar tidak hanya hatinya yang basah.

Baru beberapa langkah, sebuah payung bening tiba-tiba menaunginya. Mel terpaku menatap sepasang sepatu converse pemilik payung yang menghalangi tetes hujan membasahi tubuhnya.

"Bukunya tertinggal," ujar suara bass yang membuat Mel sedikit mendongakkan kepalanya menatap si lawan bicara.

Dia lelaki yang tadi duduk semeja dengan Mel di perpustakaan. Berada sedekat ini membuat Mel menyadari bahwa lelaki itu memiliki tatapan mata yang teduh, seteduh lembayung senja yang sering Mel lihat ketika mengantarkan mentari ke peraduannya. Mel segera mengalihkan pandangannya yang serasa tersihir lalu menerima buku kecil yang diulurkan padanya. Lagi-lagi ia bertindak ceroboh.

"Terima kasih," tuturnya.

"Jangan kehujanan." Lelaki itu memberikan payungnya pada Mel tanpa sempat ditolak karena payung tersebut tahu-tahu sudah berpindah tangan.

"Tapi ..."

"Zafran. Nama saya Zafran," kata lelaki itu sebelum berlari menerobos hujan.

[Bersambung...]

Akhirnya Zafran dan Kamelia bertemu di part 3.

Bagaimana ceritanya sejauh ini? Apa pun itu akan author terjang sampai akhir, insyaallah.

Jangan lupa tambahkan cerita "Kamelia" ke daftar perpustakaanmu, ya...

See u in the next part!

KAMELIA : Mawaddah with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang