Tiap tetes air mata perempuan yang namanya ia sebut dalam perjanjiannya dengan Allah mampu menyakitinya seribu kali lebih perih saat ini.
–dalam Wattpad Kamelia: Mawaddah with You
.
.
."Bohong!!"
Keduanya sempat berdebat mengenai kesepakatan pernikahan yang sejak awal merupakan kesalahan. Pernikahan mereka sebenarnya adalah sebuah pilihan hidup masing-masing. Bukan atas dasar perjodohan apalagi paksaan.
Zafran mengacak-acak rambutnya sambil membuang napas kasar. "Terserah, apa pun yang kamu bilang!"
"Seharusnya kamu terus menyangkal, Mas," bisik Mel dalam hatinya.
Ah, Mel sendiri juga rumit. Namun, salahkah jika ia berharap Zafran terus menyangkalnya hingga membuatnya yakin. Bukan pasrah seperti ini. Bukankah kini Zafran sama saja mengakui kalau kesepakatan itu masih berlaku. Apakah memang kenyataannya demikian?
Mel menahan diri sekuat yang ia bisa untuk tidak menangis. Matanya sudah berkaca-kaca sekarang. Hatinya bahkan sudah menjelma lautan air mata. Tinggal menunggu waktu hingga lautan itu berakhir jebol.
Rasanya Mel sudah tidak memiliki harapan lagi karena tekadnya untuk meraih hati Zafran sudah pupus. Seandainya hati bisa dikendalikan maka Mel memilih untuk berhenti mencintai Zafran. Sayangnya ia tidak bisa berhenti jatuh cinta pada orang yang sama betapa pun sakit hatinya. Yang Mel tahu, jatuh cinta tidak pernah salah. Mel ingin mengungkapkan perasaannya pada Zafran sebelum benar-benar mengakhiri harapannya yang sia-sia.
"Aku ingin dicintai sebagai istrimu, bukan sebagai tempat pelampiasan. Bahkan sekarang aku tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang hanya pelampiasan."
"Maksud kamu apa?"
"Aku mencintaimu ... selama ini!"
DEG
Mel tersenyum getir. "Aku tau itu melanggar kesepakatan kita. Tapi seperti aku yang tidak bisa mengendalikan perasaan kamu untuk mencintaiku, aku juga tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri untuk berhenti mencintaimu."
Pada titik itu Zafran mengerti. Butuh beberapa saat hingga lelaki yang tidak kalah kacau dari Mel itu meresapi pernyataan cinta yang ditujukan kepadanya. Mendadak ia merasa menjadi orang paling bodoh di dunia karena tidak menyadari perasaan seseorang yang selalu ada di sisinya. Kadar kepekaannya sebagai laki-laki sepertinya cukup mengkhawatirkan, terutama menyangkut perasaan romantis dua anak manusia.
Bukan tanpa alasan, Zafran mengenal Mel sebagai perempuan yang sangat baik dan perhatian hingga tidak pernah berpikir terselip rasa cinta dalam perlakuannya. Terlebih mencintai lelaki seperti dirinya yang masih terjerat dalam jeruji masa lalu. Memutar kembali waktu ke belakang, ia hanya bisa menyakiti, menyakiti, dan menyakiti hati Mel selama ini meskipun bukan itu yang diinginkannya.
Zafran mengusap wajahnya kasar, lalu berjalan ke dekat kaca besar yang gordennya dibiarkan terbuka. Langit malam tampak bersih seusai hujan reda. Dari luar kaca apartemennya lalu lalang kendaraan di bawah sana masih tampak ramai. Ah, lelaki itu hanya sedang mengumpulkan keberanian. Ia kehilangan kata-kata saat ini dan tidak mampu memandang wajah gadis yang sudah ia sakiti sedemikian dalam.
Sorot mata Mel tidak berubah. Ia tetap memandang punggung seseorang yang telah menjadi pelengkap imannya itu dengan cinta dan kekecewaan. Perasaannya saat ini sulit dijelaskan. Ia ingin memeluk lelaki yang menyimpan luka di hatinya. Namun di sisi lain, ia ingin meluapkan kekecewaannya atau tidak memedulikan perasaannya sama sekali seperti biasanya.
Sekeras apa pun Mel ingin beranjak dari tempatnya berdiri, kakinya sama sekali tak bisa digerakkan. Ia mulai menunduk menyembunyikan wajahnya. Lama-kelamaan pandangannya tampak memburam karena butiran bening yang terbendung di matanya. Tolong, ia sungguh tidak ingin memperlihatkan kerapuhannya saat ini di depan Zafran.
Zafran membalikkan badannya dan beranjak ke arah Mel. Setiap langkahnya yang mendekat, semakin menguarkan hawa dingin yang membelenggu tubuh gadis yang hidungnya sudah memerah. Mel mengepalkan tangannya erat di sisi tubuh yang seakan membeku.
"Mel, lihat aku!" pinta Zafran seraya menumpukan kedua tangannya di pundak Mel.
Mel hanya menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak bisa menatap Zafran karena pertahanannya pasti akan luluh lantak jika melihat kesenduan yang terpancar di wajah lelaki beriris coklat gelap itu.
Zafran mengembuskan napas kasar sebelum memeluk Mel dengan erat. Rasa bersalah dan kerinduan menyeruak menjadi satu. Bisa ia rasakan saat kaos yang dikenakannya basah karena Mel mulai terisak dalam pelukannya. Tiap tetes air mata perempuan yang namanya ia sebut dalam perjanjiannya dengan Allah mampu menyakitinya seribu kali lebih perih saat ini.
"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran begitu tangisan gadis penyuka cake cokelat itu mereda.
Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan itu tiba-tiba. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki yang kini menuntut jawaban. Pada akhirnya ia benar-benar mengakui perasaannya sepenuhnya.
Perasaan yang dengan mudah tumbuh di hatinya sejak ...
"Sejak akad."
{To be Continued}
Assalamualaikum readers... hari ini aku triple update👍🏻Seneng, nggak? WKWK😂😭
Tungguin, ya, dua part selanjutnya malam nanti😊Boleh minta pendapat kalian terkait part 40? Tulis di sini😊☺. Ini part lanjutan yang di prolog, loh, inget nggak? Tentunya dengan beberapa perubahan😄
Please tinggalkan jejak, thanks Dear...❣
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Espiritual"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...