Selamat malam ... baca jam berapa, nih?
Happy Reading🥰
.
.
."Masyaallah Mas kelihatan beda banget hari ini." Mel merapikan ikatan dasi yang melengkapi busana formal lelaki yang berdiri menjulang di depannya.
Memuji pasangan merupakan salah satu sunah Rasulullah dalam pernikahan. Namun, pujian ini bukan hanya sekadar kata-kata saja. Zafran memang tampak berbeda dengan rambut barunya yang dipotong lebih rapi beberapa hari yang lalu. Sudah seperti pangeran negeri dongeng yang hendak menghadiri pesta kerajaan. Rasanya Mel tidak ikhlas membiarkan suaminya keluar rumah karena sudah dapat dipastikan mampu menarik lirikan mata kaum hawa yang rela dilemparkan dalam pelukannya.
"Ini pujian, kan?" tanya Zafran tidak bisa menyembunyikan senyuman manisnya, "terima kasih istriku."
Mel tertawa mendengar panggilan itu. Dibandingkan sebagai suami istri, hubungan mereka malah lebih tampak seperti dua orang teman yang tinggal satu atap. Bisa dibilang sebuah peningkatan dari hari ke hari. Semuanya berjalan sesuai keinginan Zafran yang ingin pelan-pelan mengenal Mel. Begitu juga dengan usaha-usaha Mel untuk tidak menyerah menggapai hati Zafran.
Hari ini adalah hari yang ditunggu Zafran, hari membanggakan pula bagi orang tuanya. Wisuda. Setelah melalui hari-hari penuh perjuangan untuk merampungkan tugas akhirnya, akhirnya Zafran berada di titik ini. Mengingat kembali masa-masa terpuruknya saat masih menjadi mahasiswa buronan dosen. Ia memang tidak bisa meraih gelar wisudawan terbaik yang menjadi impiannya dulu karena tidak bisa lulus tepat waktu. Namun, setidaknya ini adalah waktu yang tepat baginya menyandang gelar sarjana, lalu merencanakan studi ke jenjang berikutnya.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Zafran masih tak melepaskan seutas senyum di bibirnya.
Mel mengangguk sebagai balasan, lalu menyambut genggaman tangan Zafran. Seperti ini saja mampu membuat jantungnya tidak aman. Mereka berangkat lebih awal menuju gedung auditorium kampus, tempat pelaksanaan wisuda yang sudah disulap sedemikian mewah. Wisuda ini juga tentu saja akan dihadiri orang tua Zafran, sedangkan keluarga dari pihak Mel tidak bisa hadir karena ada acara lain di hari yang sama. Zafran sama sekali tidak mempermasalahkannya, kehadiran Mel saja sudah cukup baginya. Apalagi tidak hanya teman-temannya yang ikut meramaikan hari bahagia ini, teman-teman Mel juga datang walau sebentar: Layla, Najwa, dan Dipta. Khusus Dipta, dia merangkap sebagai fotografer dadakan yang direkomendasikan Mel.
Rangkaian demi rangkaian upacara wisuda terlaksana dengan khidmat. Zafran tampak paling bersinar dengan toga yang dikenakannya. Mel mengamatinya dari kejauhan saat banyak wisudawan lain dan mungkin termasuk para penggemar Zafran yang meminta foto bersama. Jujur Mel sedikit cemburu dan raut wajah itu mungkin terbaca oleh Zafran yang beberapa kali memandang ke tempat istrinya berada. Dering ponsel mengalihkan perhatian Mel dari sosok Zafran yang tengah melangkah menuju ke arahnya.
"Sini ke depan dulu, Mel ... ada temen Ibu yang mau ketemu kamu, waktu itu nggak sempet dateng ke acara pernikahan kalian."
"Iya, Ibu."
"Ibu nelpon?" tanya Zafran yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Mel.
"Iya, Mas. Ayo ke depan, Ibu nungguin," ajak Mel bertepatan dengan salah seorang teman Zafran yang menyerukan nama lelaki itu.
"Oh iya, ada dosen dari luar yang harus Mas temui sebentar."
Mendengar itu membuat Mel mengerucutkan bibirnya lucu. Pasalnya Zafran sangat sibuk mondar-mandir hingga seolah-olah melupakan dirinya. Mel jadi membayangkan apakah dirinya juga akan sesibuk ini saat wisuda nanti? Ah, sepertinya tidak. Ia pasti akan lebih banyak menghabiskan momen bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya di hari bahagia ini. Lama berkutat dengan tugas akhir pasti sangat menjemukkan sehingga harus dirayakan saat berhasil merampungkannya.
"Beliau itu turut membantu penelitian Mas dan sepertinya tertarik dengan topik penelitian yang Mas ambil," jelas Zafran seraya menumpukkan kedua telapak tangannya ke pundak Mel, "nanti Mas nyusul, ya."
Zafran menghampiri teman yang tadi memanggilnya, Jordi, setelah mendapat anggukan dari Mel. Mel keluar dari ruang auditorium seperti yang diminta Diana, ibu mertuanya. Teman ibu mertuanya yang katanya tidak bisa menghadiri pernikahannya dengan Zafran itu tampak antusias begitu diperkenalkan dengan Mel.
"Jadi ini Kamelia, menantumu? Parasnya seindah namanya," ujar Donita yang langsung menyukai Mel di pertemuan pertama seraya menerima uluran tangan gadis itu.
Mel sedikit terkejut saat wanita paruh baya dalam balutan kebaya mewah itu tiba-tiba memeluknya. Kemudian dengan mata berkaca-kaca, Donita berkata, "Jaga Zafran baik-baik, ya, Kamelia."
"Pasti Tante," timpal Mel pada Donita yang tidak bisa mengobrol banyak karena sedang terburu-buru.
"Zafran mana, Mel?" tanya Diana selepas kepergian Donita.
"Masih ada urusan di dalam, Bu," jawab Mel seraya menengok arloji di tangannya.
"Kalian ke restoran induk abis ini, ya. Ayah sama Ibu ke sana duluan sekalian mau memonitoring kinerja Zafran selama mengelola bisnis," kata ayah yang mengenakan batik Cirebon senada dengan kebaya ibunya yang tampak elegan.
"Kalau gitu Mel susulin Mas Zafran dulu, ya," ujar Mel sebelum pamit masuk kembali ke ruang auditorium.
Jika saja Zafran membawa ponselnya, Mel pasti bisa langsung menghubungi lelaki itu tanpa perlu mengedarkan pandangan di tengah keramaian gedung untuk menemukan sosoknya. Sayangnya Zafran menitipkan ponsel padanya sejak selesai foto bersama dengan keluarga tepat begitu acara wisuda selesai. Mel juga baru ingat akan hal itu saat menyadari beberapa kali panggilan dari sebuah nomor asing tidak terjawab di ponsel Zafran yang diatur dalam mode diam.
"Ah, itu Mas Zafran," kata Mel ketika mengenali punggung seorang lelaki yang berjalan keluar lewat pintu samping ruang auditorium.
Mel menghentikan langkahnya saat hendak menyusul Zafran begitu menyadari seorang perempuan berambut panjang tergerai berjalan selangkah di belakang suaminya. Punggung keduanya menghilang begitu keluar dari ruangan. Mel mengikuti arah mereka pergi dengan benak bertanya-tanya. Perasaan sudah campur aduk sekarang. Tidak jauh dari tempat Zafran dan perempuan yang mengenakan dress putih selutut itu berhadapan, Mel berdiri memilin jemarinya. Indra pendengaran Mel masih bisa menjangkau percakapan suaminya dengan perempuan itu.
"Aku nggak bisa nggak datang waktu denger kamu wisuda. Tentu aku harus ngasih selamat dong," kata gadis itu seraya mengulurkan buket bunga daisy yang tampak segar pada Zafran.
Zafran hanya bergeming. Membuat perempuan itu sedikit memaksa agar Zafran menerima bunga yang dibelinya dalam perjalanan ke sini sepenuh hati.
"Aku juga minta maaf karena nggak bisa hadir di pernikahan kamu. Aku masih di luar negeri."
Di tempatnya, Mel mengamati perempuan di hadapan Zafran dengan saksama. Dress putih selutut dengan potongan asimetris dan aksen kerut di bagian depan yang dikenakan perempuan itu mampu membuat lelaki menoleh dua kali. Terkesan simpel dan minimalis, dipadukan dengan polesan makeup tipis seperti kakaknya. Belum lagi kaki jenjangnya yang putih dihiasi high heels tujuh senti yang membuatnya tampak anggun. Dan perempuan secantik itu sedang berbicara dengan suaminya di tempat yang tidak terlalu ramai dari sekian banyak tempat yang ada. Wajar jika Mel berpikir bahwa perempuan itu mungkin bagian dari masa lalu Zafran.
"Terima kasih karena sudah merusak hari bahagiaku," ujar Zafran yang menatap nanar bunga daisy di genggamannya.
"Sama-sama," balas perempuan itu seraya tersenyum penuh makna.
{To be continued}
Wah, kira-kira siapa, ya, perempuan yang membawa buket bunga daisy itu?
Tebak!
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Spiritualité"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...