Part 33 | Papa?

225 41 7
                                    

Siapkan hati, readers!!
.
.
.

Layla meregangkan otot-ototnya seperti orang bangun tidur begitu kelasnya bubar. Masih ada satu kelas mata kuliah umum yang harus ia ikuti di lantai tiga. Beruntung ia mengambil kelas yang sama dengan Mel sehingga tidak terlalu malas untuk hadir. Setidaknya ia ada teman cerita sekaligus tempat menampung keusilannya yang mampu menyamarkan rasa kantuk selama 2 SKS berjalan. Layla berencana menghampiri Mel yang pasti juga sudah selesai mengikuti kelas tepat di samping kelasnya dengan mata kuliah yang berbeda.

Belum sampai di kelas yang dituju Layla sudah berpapasan dengan Mel yang tampak terburu-buru. "Eh, mau kemana?"

"Aku ada urusan. Titip absen, ya, La," jawab Mel seraya melesat dari lantai dua.

Mel tidak menoleh saat Layla memanggilnya. Gadis yang mengenakan raffle cotton dress itu benar-benar sedang terburu-buru. Beruntung ojek yang ia pesan melalui aplikasi sudah menunggunya di depan gedung sehingga ia bisa langsung berangkat menuju bandara.

Mel sampai tidak menyadari jika motornya berpapasan dengan mobil Zafran di gerbang utama kampus. Melihat sosok istrinya yang entah pergi kemana padahal seharusnya ada kelas yang sebentar lagi dimulai membuat Zafran terheran-heran. Tidak biasanya Mel melewatkan kelasnya tanpa alasan yang penting.

"Berarti ada masalah," gumam Zafran seraya melajukan mobilnya mengikuti Mel yang sudah jauh di depan sana.

Zafran yang dilanda khawatir menelepon istrinya beberapa kali untuk memastikan. Namun, tidak ada satu panggilan pun yang diangkat. Mungkin ponsel Mel dalam mode silent, pikir Zafran. Lagi pula memang susah untuk mengangkat telepon di atas motor, orang biasanya mendadak budek. Angin seolah-olah menelan suara di seberang telepon.

"Bandara?" heran Zafran saat melihat Mel turun dari ojek yang ditumpanginya.

Mulanya Zafran hendak memanggil nama istrinya yang setengah berlari tanpa terhalang rok panjangnya. Namun, ia mengurungkan niatnya saat melihat sosok yang ditemui Mel di dekat papan pengumuman keberangkatan ... Kania? Zafran mempercepat langkahnya menghampiri keduanya.

Mel sangat terkejut melihat kedatangan Zafran dengan wajah mengeras yang sama sekali tidak ramah. Bahkan ia belum sempat mengatakan sepatah kata pun pada Kania. Zafran sudah menarik lengannya menjauh dari Kania tanpa mengatakan apa-apa. Setidaknya sampai mereka mendapat kesempatan untuk berbicara berdua.

"Sedang apa kamu di sini?"

"Menemui Kania," jawab Mel apa adanya.

"Maksudku untuk apa?" tanya Zafran seraya membaca ekspresi yang terpantul di wajah cantik Mel, "Jangan bilang kamu sedang mengorek masa laluku lewat Kania yang omongannya tidak bisa sepenuhnya dipercaya."

Zafran menembak tepat sasaran.

"Kalau memang benar bagaimana?"

Zafran memegang kedua bahu Mel, berusaha menyadarkannya. "Mel, dia itu sedang berusaha mengusik rumah tangga kita. Kamu jangan terpengaruh!"

"Mel sudah tahu tentang Kiara, Mas. Namun, ada beberapa hal yang ingin aku konfirmasi pada Kania."

Kedua tangan Zafran langsung terayun begitu saja di sisi tubuhnya. Lelaki pecinta kucing itu seharusnya sudah menduganya sebelum nama Kiara keluar dari bibir Mel yang ranum. Namun, ia tidak mampu menahan keterkejutannya saat masa lalu menyakitkan itu kembali muncul ke permukaan. Membuka luka yang belum mengering di hatinya, yang berusaha ia sembunyikan dari dunia. Zafran terlalu erat memeluk lukanya hingga menghela napas pun terasa sulit.

"Kenapa kamu tampak terobsesi dengan masa laluku, Mel?" tanya Zafran pada gadis yang kini tampak membangun jarak tak kasat mata di antara mereka.

"Bagaimana tidak jika kamu masih terpenjara di sana?" timpal Mel pelan, tetapi berhasil menembus ulu hati si lawan bicara.

Melihat sorot mata gadis yang sekali pun tidak goyah dalam naungan tatapannya itu membuat Zafran tidak punya pilihan selain membiarkan Mel menemui Kania. Sebenarnya ia juga masih punya urusan yang harus diselesaikan dengan gadis berambut pirang itu.

"Baiklah, kamu boleh menanyakan apa yang kamu pikirkan pada Kania, tapi aku tetap bersamamu," putus Zafran seraya menggenggam sebelah tangan Mel.

Mel dan Zafran kembali menghampiri perempuan jangkung yang kali ini tidak mengenakan high heels melainkan boots klasik berbentuk pointed toe seraya melipat tangannya di depan dada.

"Soal foto itu ... maksud kamu apa ngomong kalau itu anak Mas Zafran?" tanya Mel sedikit kesulitan merangkai kalimatnya.

Zafran menyatukan alis tebalnya sembari menatap gadis yang telapak tangannya berubah dingin dalam genggamannya. Ia tidak paham maksud dari pertanyaan yang dilontarkan istrinya pada Kania. Dan foto apa yang dimaksudkannya?

Kania tidak sempat menjawab karena tiba-tiba saat seorang anak kecil laki-laki berlari memeluk kakinya dengan air mata berderai. Sementara bibir mungilnya terus mengucapkan kata tentang menggambar.

Disusul perempuan muda yang sepertinya pengasuh si anak. "Nona, dia terus menangis."

Kania menyesuaikan tingginya dengan tinggi anak laki-laki yang sudah ia rawat sejak kecil seperti anaknya sendiri. "Cup-cup-cup ... Akhza sayang, maunya sama Aunty, ya?"

Zafran terpaku di tempatnya begitu nama itu disebut. Ingatannya kembali ke masa ketika ia duduk bersebelahan dengan Kiara di bawah rumah pohon. Sinar mentari tidak begitu terik siang itu. Kiara merebahkan dirinya di atas rumput-rumput hijau seraya menatap gagahnya langit yang mampu berdiri tanpa tiang. Kiara lantas mengusap-usap perut di luar sweternya yang sedikit membuncit. Tidak seperti perut orang hamil pada umumnya saat memasuki usia kandungan seperti Kiara sebab tubuhnya memang kecil. Jika tidak diperhatikan dengan saksama, orang tidak akan menyadari perubahan tersebut. Kiara berkata akan menamai anaknya dengan nama seperti yang disebutkan Kania ketika memanggil anak lelaki yang tangisannya sudah mereda, Akhza. Sebuah nama yang berasal dari bahasa sanskerta yang bermakna langit.

"Akhza?" Zafran menggumamkan nama anak lelaki yang matanya begitu mirip dengan Kiara.

"Tepat seperti yang kamu pikirkan," tambah Kania seperti bisa membaca pikiran lelaki yang tanpa sadar meneteskan air matanya saat melihat Akhza.

Zafran melepaskan genggaman tangannya dengan Mel. Hanya genggaman tangan, tetapi Mel merasa kalau Zafran juga melepaskan dirinya. Zafran menyatukan lututnya dengan lantai, lalu merengkuh Akhza dalam dekapannya. Rasa haru, sedih, dan marah luruh menjadi satu kerinduan saat Zafran memeluk tubuh kecil yang menyambut pelukannya dengan tangan-tangan mungil.

"Papa?" ucap Akhza dengan wajah polosnya.

Mel resmi mematung di tempat. Tidak bisa berkata-kata selain menerima kegetiran dalam hatinya. Semuanya tampak jelas sekarang. Sepertinya ia tidak perlu bersusah payah membuat Kania menjawab pertanyaannya sesuai dengan yang ingin ia percayai.

{To be continued}

Terima kasih, ya, buat semua yang udah menghargai tulisan ini, karya ini ... dukungan kalian sangat berarti untukku❤
See u next part😻

KAMELIA : Mawaddah with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang