Mel duduk di sofa panjang ruang tengah sambil menikmati cake cokelat lumer yang dibeli saat perjalanan pulang ke apartemen. Tangannya sibuk mengotak-atik ponsel pintarnya, mengirim pesan ke sana-sini. Sementara tv yang sedang menayangkan sinetron di mana gaya gravitasi tidak ada harganya itu diabaikan.
Ruang di sebelah Mel bergerak ketika Zafran melemparkan tubuhnya yang terasa lebih segar setelah mandi di sana. "Layla masih belum bisa dihubungi?"
Mel menggeleng lemah.
"Rambut kamu masih basah, Mas," protes Mel begitu mengalihkan pandangannya dari ponsel di genggamannya.
Mel meletakkan benda pipih itu di meja. Tangannya bergerak meraih handuk yang tersampir di pundak suaminya. Zafran mendekat saat Mel hendak membantunya mengeringkan rambutnya sebelum akhirnya berpindah duduk di karpet berbulu.
"Kamu nggak coba telfon orang tua Layla?" Zafran memberikan opsi yang menjadi pilihan terakhir Mel di situasi ini.
"Ayahnya bisa kena serangan jantung kalo tahu anaknya hilang."
Zafran mendongak, lalu mencubit hidung bangir istrinya. "Hati-hati kalau ngomong, tuh."
Kekehan pelan terdengar dari bibir Mel. Seraya mengeringkan rambut suaminya, ia kembali memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang membuat Layla tidak pulang ke kos sementara ponselnya mati.
Sahabatnya itu tidak mungkin diculik seperti yang dipikirkan Najwa. Sebab orang yang menculiknya malah yang akan mendapat masalah. Layla pasti tengah menenangkan diri di suatu tempat karena memiliki masalah yang enggan dibagikan pada orang lain.
Masalahnya adalah Layla cukup nekad.
Mel khawatir sahabatnya itu menyakiti dirinya sendiri bahkan lebih parah. Layla bahkan pernah tidak mengaku lompat dari jembatan padahal kabar itu menjadi trending topic di sekolah mereka. Masa putih abu-abu yang ia lewati bersama Layla cukup berwarna dulu.
Rasa bersalah menyusup ke ruang hati gadis yang hobi membaca novel itu. Mel merasa tidak cukup perhatian sebagai seorang sahabat. Bahkan ia tidak menyadari kalau sahabat yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun tengah melalui kesulitan. Jika Najwa tidak meneleponnya kemarin malam saat menginap di rumah mertuanya, mungkin sampai saat ini ia belum menyadari kalau Layla menghilang.
Apalagi Najwa termasuk telat memberitahunya karena Layla tidak pulang ke kos sejak makan malam bersama tempo hari. Najwa merasa tidak enak menghubunginya karena tahu bahwa dirinya sedang perang dingin dengan Zafran. Masalah rumah tangga yang menguras perasaannya benar-benar membuatnya tak mampu memikirkan hal lain.
"Dipta juga nggak tahu Layla di mana?" tanya Zafran sebelum menerima suapan cake kesukaan istrinya yang tinggal setengah.
"Enggak, Mas. Dipta malah ndesak Najwa mulu buat ngasih tahu keberadaan Layla karena ngiranya Najwa nyembunyiin soal itu," kesalnya saat teringat cerita Najwa yang ditemuinya di kos siang tadi, "padahal kita nggak ada yang tahu gadis yang suka bikin huru-hara itu di mana."
Zafran menimbang-nimbang untuk memberitahukan perihal Layla yang malam itu mendatangi sebuah club bersama Dipta. Barangkali informasi tersebut dapat membantu walaupun sedikit.
"Kamu tahu kalau Layla dan Dipta sempat mengunjungi club setelah acara makan-makan ulang tahun Najwa?"
"Club?! Astaghfirullah, ngapain?!" Mel berseru kaget.
"Mas nggak tau detailnya, tapi menurut kamu sebagai sahabatnya apa mungkin mereka ...."
"Enggak mungkin! Dipta cowok baik-baik," bantah Mel yakin.
Tak urung juga Zafran menceritakan kefrustrasiannya saat mencari-cari istrinya di malam hujan lebat hingga menghubungi nomor Dipta. Saat itulah ia sempat tersambung dengan Layla di telepon.
"Terakhir kali Layla ngomong apa? Petunjuk sekecil apa pun bisa membantu, Mas," tanya Mel dengan secercah harapan terpantul di manik matanya.
Zafran sangsi perkataan Layla yang berupa makian untuk dirinya itu bisa menjadi petunjuk keberadaannya saat ini. Namun, istrinya yang setengah penasaran isi percakapannya dengan sahabatnya itu mendesak ingin diberitahu.
"Jadi, Layla ngomong apa?"
"Bener mau denger?" Zafran memastikan sekali lagi yang mendapat anggukan dari istrinya yang sudah memasang kuping.
Zafran terkekeh pelan seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lelaki itu mengeluarkan serentetan makian yang baru pernah diterimanya seumur hidup. Bukan marah, Zafran justru bersyukur karena Layla telah membantu menyadarkannya.
Mel melongo dengan mata terbelalak begitu mendengar kata penuh umpatan itu. "Ya Allah, itu anak mulutnya."
Mel mengalungkan lengannya di leher lelaki yang duduk lebih rendah dari tempatnya. "Maafin Layla, ya, Mas."
"Mas emang pantes dapat makian itu, kok," balas Zafran seraya melengkungkan bibirnya.
"Baru sadar?" Mel menyilangkan tangannya di depan dada.
Zafran terkejut. Lelaki itu beranjak duduk tepat di samping istrinya yang kini memandangnya cemberut. Padahal baru beberapa detik yang lalu Mel bersikap seperti kucing yang menggemaskan.
"Maaf, ya?" Zafran mengulum bibirnya, "Kamu marah aja cantik, Sayang."
Ah, bagaimana Mel bisa benar-benar marah jika suaminya semanis ini.
{To be continued}
Ada yang bisa nebak Layla kemana?
Apa yang terjadi dengan Layla & Dipta di club?
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Spiritual"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...