Tidak ada hujan yang turun dari langit, yang ada hanya hujan yang turun dari hati dua anak manusia dengan segala perasaannya yang rumit.
-dalam Wattpad Kamelia:
Mawaddah with You
.
.
.
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA
THANKS🤗
Mel meninggalkan ruang kelas seraya mengecek ponselnya. Belum ada balasan pesan dari Zafran yang sedari tadi ditunggunya. Padahal suaminya sendiri yang meminta agar ia tidak telat mengabarinya setelah selesai kelas. Hari sudah sore saat Mel melewati koridor kampus yang ramai dengan lalu lalang mahasiswa. Sebaiknya ia menuju parkiran karena mungkin Zafran sudah menunggunya di sana. Barangkali ponselnya juga kehabisan baterai sehingga tidak bisa membalas pesannya.Benar saja. Mel langsung mengenali punggung lelaki yang ditunggunya tidak jauh dari area parkir. Namun, perasaan yang sulit diterjemahkan langsung menyergapnya saat melihat Zafran tidak sendirian. Sulitnya meluluhkan hati Zafran terkadang membuatnya merasa rendah diri. Saat ia melihat Zafran bertemu perempuan yang membuatnya gelisah untuk kedua kalinya ini, ia jadi merasa dirinya adalah orang ketiga di antara mereka. Zafran pernah mengakui bahwa di hatinya ada perempuan lain saat membuat janji untuk belajar mencintainya. Kini Mel tahu bahwa perempuan yang dimaksud Zafran mungkin adalah perempuan yang saat ini berdiri di depannya.
Saat melihat perempuan itu di acara wisuda Zafran, seharusnya Mel tidak bersembunyi dengan pikiran-pikiran negatif di kepalanya. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang serupa. Itulah sebabnya ia melangkah pasti ke arah seseorang yang harus ia perjuangkan, lagi, dan lagi. Bukankah itu juga yang ia lakukan sebelum mengakhiri cinta pertamanya? Namun, ini Zafran. Cinta halalnya. Ia pernah bertekad untuk memenangkan hati Zafran. Dan tekad itu masih ada dalam dirinya.
"Mas Zafran!" panggilnya.
Si empunya nama menoleh dengan wajah terkejut. "Mel?"
Mel bersitatap dengan perempuan yang selalu tampil modis, tidak lupa dengan high heels tujuh sentinya. Perempuan itu juga tampak mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Mel udah selesai kelas dari tadi," ujar Mel beralih menatap Zafran yang masih berusaha menguasai diri.
Tiba-tiba Zafran menggandeng telapak tangan Mel seakan-akan sengaja agar perempuan di depannya itu melihatnya.
"Dia istri kamu?" Perempuan itu melengkungkan ujung bibirnya, "hai, kita pernah ketemu di depan kafe, kan?"
Senyum perempuan itu tidak membuatnya tampak ramah karena dari nada bicaranya jelas menunjukkan keangkuhan.
"Entahlah, aku kurang memperhatikan orang yang tidak seharusnya diperhatikan." Kalimat Mel yang tajam berhasil membalas perempuan yang sejak awal menguarkan hawa permusuhan begitu melihatnya.
Perempuan itu kini tak segan-segan menatapnya dengan sinis. "Ngomong-ngomong kamu bahagia menikah dengan Zafran?"
Mel tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah pancingan, ia tidak boleh terpengaruh. Walaupun begitu pertanyaan itu cukup sederhana bukan? Namun, mengapa rasanya ia kehilangan kosa kata untuk menjawabnya.
"Tanpa kamu jawab, aku bisa melihatnya dari matamu."
Zafran menatap wajah istrinya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Perasaan lelaki itu bercampur aduk saat ini. Semuanya tampak baik-baik saja sebelum perempuan itu muncul kembali di hidupnya. Meski jauh di kedalaman hatinya, ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang membuatnya terluka. Namun, kenyataan Mel berada di sampingnya mampu membuatnya melupakan rasa sakitnya.
"Gue udah bilang untuk jangan muncul lagi di depan gue!" tegas Zafran dengan tatapan tajam pada perempuan itu.
Perempuan itu mendengkus kesal. "Sebentar lagi aku kembali ke Kanada. Kamu nggak perlu berkata jahat, Zaf."
"Bagus, lebih cepat lebih baik," tandas Zafran lalu menggandeng lengan Mel untuk pergi dari sini.
Perempuan itu juga pergi dengan perasaan dongkol. Namun, ada sedikit kepuasan tersendiri saat kehadirannya mampu mengusik ketenangan Zafran. Ia tersenyum miring memikirkan itu. Tidak berselang lama, seseorang menyebutkan nama "Kiara" hingga membuatnya menoleh ke sumber suara.
Mel setengah berlari menyusul langkah perempuan itu setelah memberi alasan pada Zafran untuk mengambil barangnya yang tertinggal di kelas. Zafran tidak bertanya lebih lanjut karena pikirannya sudah terlalu ruwet sehingga mengiyakan saja saat Mel menyuruhnya menunggu di mobil.
"Berhenti menemui suamiku. Kamu mungkin masa lalunya, tapi aku masa depan yang dia pilih," peringat Mel yang sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Ia sudah menahan diri dari beberapa saat yang lalu untuk mengatakan kalimat ini.
Perempuan yang menyilangkan tangannya di depan dada itu berdecak. "Kamu kira aku perempuan macam apa? Aku juga punya harga diri."
Jawaban tidak terduga yang didapatkan Mel membuatnya berpikir keras. Lantas untuk tujuan apa perempuan itu terus menemui Zafran yang tampak terusik dari waktu ke waktu?
"Bukan aku yang seharusnya kamu khawatirkan, tapi perempuan yang terkubur dalam hatinya. Perempuan yang namanya baru saja kamu sebut," jelas perempuan itu saat melihat perempuan yang beberapa tahun lebih muda darinya itu mengernyitkan dahi.
"Apa maksudnya?" Mel semakin tidak mengerti.
"Setelah bertemu dua kali, kamu memang mirip dengannya. Jangan terlalu mencintai laki-laki berengsek itu! Bisa saja dia hanya menjadikanmu pelarian dari hatinya yang terluka. Ini saranku sebagai sesama perempuan."
"Kamu ..."
"Aku Kania, kakak kandung Kiara."
Mel tertegun di tempatnya. Masih mencerna baik-baik ucapan perempuan yang ia pikir mantan pacar Zafran. Jadi, dia bukan Kiara? Lalu, mengapa yang muncul menemui Zafran justru kakaknya alih-alih Kiara sendiri. Bukan berarti Mel mengharapkan perempuan lain masuk dalam rumah tangganya. Setidaknya ia ingin semuanya jelas. Ia ingin tahu perasaan terdalam Zafran untuk bisa meraih hati suaminya seutuhnya.
"Selamat atas pernikahanmu. Segera aku akan mengirimkan hadiah pernikahan," ujar Kania sebelum pergi meninggalkan Mel yang masih terdiam di tempatnya berdiri.
Dering ponsel berhasil membuat Mel kembali menapaki kenyataan. Ia pasti sudah pergi terlalu lama hingga membuat Zafran meneleponnya. Ia menjawab telepon lalu mengatur ekspresinya sebaik mungkin seraya menuju tempat mobil mereka terparkir.
"Mel, udah diambil belum barang yang ketinggalan?"
"Udah, Mas. Maaf, ya, lama soalnya di lantai tiga."
Mel merasa bersalah harus membohongi suaminya. Ia berjanji akan memasak makanan yang enak setelah sampai di rumah untuk sedikit menghilangkan rasa bersalahnya.
"Iya. Jadi belanja mingguan, kan?"
Zafran memastikan alasan yang membuatnya mengendarai mobil ke kampus selain karena perkiraan cuaca yang mengatakan sore ini akan hujan.
Namun, sepertinya perkiraan cuaca hari ini meleset. Langit sore masih tampak cerah, yang ada hanya senyum yang diliputi awan-awan mendung dari bibir dua anak manusia dengan ponsel menempel di telinga mereka masing-masing ketika bertemu pandang. Tidak ada hujan yang turun dari langit, yang ada hanya hujan yang turun dari hati dua anak manusia dengan segala perasaannya yang rumit.
{To be continued}
Lagi-lagi hampir lupa update new part. Untung alam bawah sadarku langsung mengingatkan begitu memejamkan mata. Terima kasih sudah membaca dan mendukung ceritaku, ya...
Love sekebon❣
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Spiritual"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...