👆🏻👆🏻👆🏻
Dengarkan lagu di atas untuk pengalaman yang lebih nyata hehee😄
.
.
.
Happy ReadingPembicaraan antara anak dan orang tua terjadi di ruang tengah keluarga Mel menjelang siang hari. Mel duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya yang terlihat tenang menanggapi penuturan putri bungsunya itu. Sementara Zafran yang menjemput Mel untuk check out pada pagi hari setelah sempat meninggalkan hotel pada malam harinya, tengah diajak kedua kakak iparnya untuk melihat kucing-kucing peliharaan mereka di rumah seberang. Momen itu Mel gunakan untuk bertanya secara langsung kepada orang tuanya mengenai pernikahannya dengan Zafran.
"Kenapa Mama sama Papa nggak pernah bilang kalau kita dijodohkan?" tanya Mel dengan wajah dipenuhi kabut padahal langit hari ini sedang cerah.
Orang tua Mel–Danu dan Indah–saling berpandangan. Sejujurnya mereka sudah menduga putrinya akan bertanya demikian sejak menyambut pengantin baru yang matanya bengkak sedangkan yang satunya tampak lesu. Walaupun si menantu berusaha tampak biasa saja dengan tersenyum hangat, tetapi sorot matanya bisa dengan jelas terbaca oleh sepasang orang tua yang sudah melalui pahit manis kehidupan. Mereka kira rencana perjodohan yang berakhir dengan pinangan dari Zafran itu akan membawa bahagia dan suka cita bagi si pengantin baru. Bukan malah mempengaruhi bahtera rumah tangga keduanya yang baru seumur jagung.
Danu menyesap teh yang masih mengepulkan asap di cangkirnya. Kemudian menatap Mel seraya menimpali, "Apa bedanya kamu dijodohkan atau Zafran meminang kamu? Toh, akhirnya kamu bersedia menerima pinangan Zafran. Kamu sendiri yang memilih Zafran sebagai suami kamu."
Satu balasan dari papanya mampu membuat Mel bungkam. Memang benar bahwa pada akhirnya ia sendiri yang memutuskan untuk menerima atau menolak pinangan Zafran. Sebagaimana syariat yang melarang menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. Sementara dirinya menerima dengan tegasnya sama seperti ketika Zafran memintanya menjadi istri.
Sejujurnya Mel paham bahwa orang tuanya tidak sepenuhnya bersalah, ia hanya butuh sesuatu untuk disalahkan. Sebab rencana perjodohan yang lebih dahulu diketahui Zafran pasti amat membuat lelaki itu tertekan hingga terpaksa menerimanya bahkan melamarnya untuk mempercepat perjodohan. Meskipun Zafran mengatakan keseriusannya untuk menikahi Mel, tetap saja tidak bisa menenangkan badai di hati Mel.
Mel tidak ingin menyalahkan dirinya sendiri yang pada akhirnya membuatnya menyesal terhadap pilihan besar yang telah diambilnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana yang hanya bisa dipahami oleh relung hati gadis itu, Mel menginginkan agar seseorang mengatakan bahwa pilihannya untuk menikah dengan Zafran tidaklah salah. Sebuah pilihan yang ingin ia pegang erat selamanya. Impiannya adalah menikah sekali seumur hidup dengan orang yang tepat.
Seperti bisa membaca suara hati putri yang dilahirkannya, Indah berpindah duduk di sebelah Mel dan mengusap lembut punggungnya. "Orang tuamu tidak akan menjodohkan kamu dengan sembarang laki-laki. Zafran laki-laki yang tepat untuk kamu. Mama tau itu, Nak."
"Kalau kamu ada konflik, selesaikan dengan suamimu," lanjut papa memberikan wejangan.
Mel mengangguk seraya memeluk mamanya dari samping. Sejak awal, sejak Mel mengatakan kesediaannya menikah dengan Zafran di usianya yang baru menginjak kepala dua, orang tua Mel percaya bahwa gadis itu cukup mampu bertanggung jawab terhadap keputusannya. Pun dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagai seorang istri. Begitu pula yang mereka lihat pada diri sang menantu, Zafran. Terkait bagaimana mereka menjalani bahtera rumah tangga ke depannya, orang tua hanya bisa mendoakan dan memberikan wejangan jika memang dibutuhkan.
Beberapa saat kemudian terdengar gelak tawa Lala dan Luna di depan rumah. Disusul ucapan salam dari bibir Zafran yang membuat Mel lekas-lekas menetralkan air mukanya. Orang tua Mel tidak tahu bahwa mereka sempat bertengkar kemarin malam hingga Zafran meninggalkan kamar, meskipun dapat mencium ada yang tidak beres di antara mereka. Saat perjalanan pulang ke rumah Mel untuk mengambil barang-barang yang akan dibawa ke Semarang, mereka bahkan saling mendiamkan satu sama lain. Namun di depan orang tuanya, Mel tidak ingin mereka mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi antara dirinya dan suaminya.
Zafran tampak menggendong kucing putih dengan sedikit corak abu-abu saat Mel menghampirinya di ruang tamu yang pintunya dibiarkan terbuka lebar. Terlihat dua keponakannya tengah bermain dengan beberapa anak kucing. Kucing yang sedang digendong Zafran adalah induknya.
"Kucingnya ..." kata Mel memulai pembicaraan yang sangat canggung. Hanya sebatas itu sebab tiba-tiba gadis itu tergugu saat Zafran menatap ke arahnya.
"Ya?"
"Enggak," timpal Mel seraya menggeleng cepat, "itu mau dibawa?"
"Enggak, kok. Kalau dibawa harus sama anak-anaknya, kan mereka masih menyusui. Tapi kebanyakan, nanti malah nggak sempet diurus," jawab Zafran panjang lebar.
Melihat respons Mel yang hanya menggangguk membuat Zafran memutar otak untuk menyambung obrolan. Sejujurnya lelaki itu juga tidak ingin berlama-lama saling mendiamkan.
"Udah ada Galang yang tinggal seapartemen sama kita," ujar Zafran menyebutkan nama kucing ras british shorthair kesayangannya yang pernah ia ceritakan pada Mel.
"Pinter nggak?"
Zafran loading. "Siapa?"
"Galang, lah."
"Oh, Galang ... "
"Wah, pengantin baru lagi ngobrolin apa, nih? Asyik banget kayaknya," sambar Lia yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Mel.
"Apa, sih, Mbak?" Mel bergelayut di lengan kakaknya yang tampil segar dalam polesan make up tipis.
"Cie yang nggak mau diganggu, Mbak pergi, deh," ujar Lia yang hobi meledek adiknya yang tahu-tahu sudah menjadi istri orang.
Mel memutar bola matanya malas saat Lia masuk ke dalam rumah memanggil mamanya. Melihat itu, Zafran terkekeh tanpa sadar. Sedikit banyak mencairkan atmosfer beku di antara mereka.
"Barang-barang yang mau dibawa udah di-packing semua?"
"Udah."
Mereka melangsungkan pernikahan bukan saat libur semester, jadi sudah menjadi resiko untuk tidak mendapatkan waktu yang panjang guna menghabiskan waktu dengan identitas baru sebagai suami istri. Lusa, mereka harus kembali ke rutinitas awal sebagai mahasiswa. Weekend dan jatah cuti yang hanya beberapa hari juga hampir habis masanya. Saat ini mereka tinggal menunggu mobil jemputan yang akan mengantarkan mereka ke Semarang,
kota kelahiran Zafran sekaligus tempat mereka menimba ilmu.Sebelum berangkat, Papa Mel sempat membisikkan sesuatu ke telinga Mel. "Lelaki yang baik jika tidak mencintaimu, ia tetap akan bersikap baik padamu."
Mel menangkap kehangatan dalam nada bicara papanya.
"Namun, sulit untuk tidak mencintai putri bungsu Papa."
Mel tersenyum.
Gadis yang sudah tampak lebih baik itu terus memaknai kalimat papanya sepanjang perjalanan yang tidak lagi sesunyi sebelumnya. Semuanya mengalir begitu saja. Sesekali mereka bercakap tentang topik random seperti tidak pernah terjadi apa-apa, kecuali topik tentang pernikahan mereka.
{To be continued}
Maaf, aku nggak bisa nunggu sampai minggu depan untuk publish part ini😭 tapi ini beneran terakhir deh buat minggu ini. Biar pun ceritanya belum ramai, tapi tujuanku adalah tamat hehee🤗🤭😆
Makanya dukung cerita ini dengan klik ⭐ dan komentar/krisan 💬Mumpung masih free jadi masih sempetin nulis, besok-besok mungkin bakal sibuk. Sibuk ngerjain tugas kuliah yang udah antre dan sibuk fastabiqul khairat di bulan Ramadan. Fighting!!! Kencengin lagi ibadahnya... bentar lagi mau pisah sama bulan mulia ini.
Kalau Readers sibuk apa aja, nih?Kali ini serius bilang see u next week dengan part yang manis-manis. Tungguin yaa🤗
With Love ❤
Hauri
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Espiritual"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...