Zafran kelabakan sendiri begitu menyadari bahwa dirinya sangat terlambat menjemput Mel. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal sampai-sampai hampir menabrak pembatas jalan. Beruntung ia masih sabar tidak menerobos lampu merah di tengah hujan deras yang bisa membahayakan nyawanya.
Ponsel istrinya sedang sibuk saat Zafran berusaha meneleponnya, chatnya juga tidak dibaca. Beberapa menit kemudian malah ponsel gadis yang amat dikhawatirkannya itu tidak aktif. Mungkinkah Mel sudah pulang ke apartemen? Zafran berniat menelepon Dipta saat restoran bergaya vintage sesuai alamat yang tertulis di chat sudah tutup. Satu-satunya kontak teman istrinya yang nomornya di-save dalam ponselnya hanya Dipta. Mereka pernah bertukar chat sebelumnya saat dirinya meminta Dipta menjadi fotografer dadakan saat wisuda.
"Lo masih bareng Mel?" tanya Zafran setelah berbasi-basi sebentar.
"Loh, katanya Bang Zafran njemput? Gimana, sih? Mel udah pamit pulang sejak dua jam yang lalu kali, Bang."
Berikutnya terdengar seorang perempuan bertanya pada Dipta tentang orang yang menghubunginya. Telepon pun diambil alih.
"Halo? Ini Layla." Terdengar tarikan napas yang kuat, "Anj*** lo!!! Berani-beraninya bikin sahabat gue nangis! Dasar Berengs*k ..."
Zafran menjauhkan ponselnya saat serentetan sumpah serapah itu membuat telinganya pengang. Ia sampai menggosok-nggosok telinganya beberapa kali. Teriakan Layla benar-benar mengalahkan toa masjid. Beruntung gendang telinganya tidak sampai pecah.
Lalu, terdengar bunyi gemeresak di ujung telepon.
"Maaf, Bang. Layla emang suka ceplas-ceplos, tapi kayaknya Bang Zafran emang udah keterlaluan, sih."
Jeda beberapa saat, membuat Zafran berpikir dalam-dalam. Dirinya memang sudah keterlaluan ditambah dengan tidak mengetahui keberadaan istrinya sendiri di tengah hujan lebat. Ia memang pantas mendapatkan sumpah serapah yang lebih parah dari yang dilontarkan Layla.
"Coba gue tanya Najwa dulu barangkali bareng sama Mel."
"Thanks Dip ... ngomong-ngomong kalian lagi di mana? Musiknya kenceng banget."
Dipta terkekeh di seberang telepon.
"Club."
Tut tut tut
Sambungan telepon berakhir, menyusul chat dari Dipta yang mengabarkan kalau Najwa juga sedang tidak bersama dengan Mel. Dipta menambahkan kalau terakhir berbincang, Mel mengatakan akan menunggu Zafran di Butterfly Cake. Zafran segera melajukan mobilnya ke tempat yang disebutkan Dipta. Namun, nihil. Toko kue bertingkat dua dengan logo kupu-kupu itu sudah gelap.
Zafran semakin khawatir saat mendengar gemuruh petir yang menggelegar. Rasa bersalah yang besar terasa menghimpit dadanya hingga membuatnya sulit bernapas. Zafran berharap istrinya sudah pulang sehingga tidak perlu kehujanan dan kedinginan saat ini.
"Mel selalu lupa membawa payung," gumam Zafran seraya mengemudikan mobilnya pelan-pelan.
Hujan yang lebat membuat penglihatan Zafran ke luar jendela menjadi sulit. Setelah beberapa menit menyusuri jalan menuju apartemennya, akhirnya Zafran berhasil menemukan gadis yang dicarinya tengah duduk di halte seorang diri. Sebuah batu besar seolah terangkat dari dadanya.
Zafran menepikan mobilnya, lalu membentangkan payung untuk melindungi tubuhnya dari guyuran hujan begitu berlari menuju seseorang yang membuatnya khawatir setengah mati.
Gadis yang rasanya sudah lama menghilang dari pandangannya itu tampak melamun. Kedua kakinya yang tidak sepenuhnya menjangkau lantai dalam balutan sepatu kest putih berayun-ayun. Sebuah cake cokelat yang tinggal setengah dalam mika bening tergeletak di sisinya. Dari bibir ranum istrinya keluar melodi-melodi yang terdengar lembut. Lain kali ia ingin menyanyikan lagu favorit istrinya seraya memetik senar di suatu hari yang cerah.
Saking larutnya menikmati suara hujan yang bertalu dengan keras begitu menghantam bumi, Mel tidak menyadari keberadaan Zafran. Gadis itu malah terpikir untuk menerobos hujan. Sudah lama sejak terakhir dirinya kehujanan, tetapi sensasi ketika tubuhnya menyatu dengan tetes air hujan masih bisa ia rasakan. Hujan juga mampu menyamarkan air matanya yang akhir-akhir ini gampang jebol, dirinya memang cengeng.
Mel terbelalak begitu seseorang menyampirkan jaket ke pundaknya, mengusir hawa dingin yang menyusupi kulit. Seseorang yang membiarkan tubuhnya hanya berlapis kaos pendek itu kemudian mengambil duduk tepat di sampingnya.
"Mas Zafran?"
Zafran mengabaikan keterkejutan gadis di sebelahnya. Ia ikut larut menikmati titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Hening menyelimuti keduanya.
"Maaf ..."
"Maaf Mas terlambat, Mel," ujar Zafran seraya menunduk dalam.
Mereka duduk berdua di halte selama beberapa saat. Hanya ada suara gemercik hujan yang terdengar. Seakan-akan mereka sepakat untuk saling mendiamkan.
🐱🐱🐱
"Mas, aku capek." Mel menjatuhkan tas bahunya begitu kembali ke apartemen pukul sepuluh malam.
Tentu saja gadis yang beberapa saat lalu menangis sesenggukan itu merasa capek setelah melakukan banyak kesibukan seharian ini. Bahkan masih sempat menyiapkan makanan untuk suaminya. Zafran sampai mengurungkan niatnya untuk bertanya perihal perkataan Layla di telepon saat melihat wajah lelahnya. Beruntung kedua matanya tidak terlalu sembab sehingga tidak semakin membuatnya tampak lelah.
Zafran berjalan mendekati Mel dengan jaket tersampir di lengannya hingga menyisakan jarak satu langkah. Satu tangannya yang bebas menyentuh wajah istrinya. Lesung pipi terbit di sana setiap kali istrinya tersenyum. Dan Zafran merindukan senyuman yang sudah beberapa hari ini jarang dilihatnya.
"Setelah bersih-bersih langsung istirahat, ya," ujar lelaki yang tidak mampu menangkap maksud di balik kata-kata Mel.
"Bukan itu," kesal Mel seraya menepis tangan Zafran dari wajahnya, "aku capek meraih hati kamu. Kamu bohong soal belajar untuk saling mencintai. Kamu melupakan janji kita sore itu."
Zafran meneguk ludahnya melihat sorot mata yang baru pernah dilihatnya terpancar di wajah istrinya. Kesabaran gadis itu rupanya sudah berada di ambang batas. Setidaknya luapan amarah yang sebentar lagi meledak lebih baik dari pada mendiamkannya.
"Aku nggak lupa, Mel. Aku berusaha," bantah Zafran sungguh-sungguh.
"Tapi mana? Kamu masih tampak seperti orang yang sama, yang membuat kesepakatan untuk tidak saling jatuh cinta. Mungkin memang itu kesepakatan yang benar-benar kamu inginkan," ujar Mel tajam.
Zafran mengembuskan napas berat mendengar Mel kembali mengungkit kesepakatan di malam resepsi pernikahan mereka. Padahal mereka pernah membicarakan ini sebelumnya. Selain itu, ia sudah meminta maaf dan menjelaskan kalau kesepakatan itu dibuat olehnya tanpa pikir panjang.
"Lupakan tentang kesepakatan itu, aku nggak serius mengucapkannya!"
"Kamu serius ..."
"Enggak Mel! Harus berapa kali kubilang?!!" Zafran mengerang frustrasi.
Mel terkejut mendengar nada suara Zafran yang naik satu oktaf. Hatinya menciut menyadari ini pertama kalinya Zafran membentaknya. Mungkin perkataannya memang cukup keterlaluan. Jika sudah begitu, tidak ada lagi yang dapat menghentikannya.
"Bohong!!"
{To be continued}
Sampai sini dulu, ya, kind readers... jangan lupa tap vote dan komen untuk cerita ini. See u on Thursday❤
With love, Ree
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMELIA : Mawaddah with You
Spiritual"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Pertanyaan yang semula tertahan di tenggorokan akhirnya meluncur dari bibir Zafran. Mel melepaskan pelukan Zafran begitu mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki ya...