Part 32 | Paket Misterius

214 42 10
                                    

Saat hendak membuang sampah, Mel bertemu dengan Bara yang baru pulang dari kantor. Lelaki berambut ikal itu membawa beberapa paket pesanan dari lobi apartemen. Salah satu paket yang ia bawa ditujukan untuk Mel.

"Ini ... sekalian aku bawa ke atas saat mengambil paketku." Bara menyerahkan kotak berukuran sedang dengan nama Azarina Kamelia tertulis sebagai si penerima.

"Terima kasih, Mas," balas Mel dengan benak bertanya-tanya perihal si pengirim paket yang tidak mencantumkan namanya.

Jika Bara tidak membawa paket tersebut, mungkin Mel tidak menyadari ada paket yang ditujukan untuknya. Sebab seingatnya ia sedang tidak memesan apa pun dan orang terdekatnya juga tidak ada yang mengonfirmasi tengah mengirimkan paket untuknya.

"Oh ya, Zafran sudah sembuh?" tanya Bara yang beberapa hari ini tidak melihat Zafran, lalu mengetahui bahwa tetangga apartemennya itu sedang sakit.

"Alhamdulillah sudah mendingan. Tadi baru saja memandikan Galang dan mengeringkan bulunya yang lembut." Kehebohan Zafran saat memandikan Galang langsung terlintas di benak Mel.

"Syukurlah," kata Bara sebelum pamit ke apartemennya.

Beberapa menit telah berlalu sejak Mel duduk termenung di dalam kamarnya. Menimbang-nimbang untuk membuka kotak di pangkuannya. Ada keraguan yang menyelimutinya, perasaannya mendadak tidak enak. Benar saja, Mel terbeliak begitu melihat isi dalam paket. Kania. Nama itu yang pertama kali terlintas dalam benak Mel.

Mel segera mencari kartu nama Kania yang diterimanya saat terakhir mereka bertemu di dalam tasnya. Ia harus memastikan paket itu dan meminta penjelasan. Mel menekan nomor Kania dengan tangan gemetar. Ia duduk di bibir ranjang, di sampingnya tergeletak foto-foto yang kemungkinan besar dikirimkan Kania.

"Paket itu dari kamu, kan?" tanya Mel tanpa basa-basi begitu tersambung dengan Kania.

"Itu hadiah pernikahanmu."

Gelak tawa terdengar di seberang telepon. Sungguh kebencian Kania pada lelaki yang datang dengan langkah lunglai, lalu menangisi batu nisan di atas gundukan tanah basah yang mengubur jasad Kiara itu tidak pernah mereda. Barangkali karena kebencian pada dirinya sendiri yang telah menyia-nyiakan adik berharganya hingga detik terakhirnya menghirup napas di dunia. Fakta bahwa sebagai kakak ia sungguh tidak berguna saat melihat adiknya sekarat di rumah sakit tidak mampu ditanggungnya.

Kania butuh sosok lain yang harus bertanggung jawab saat nyawa adiknya tidak terselamatkan. Sepanjang pengetahuannya memang lelaki itulah yang paling tepat disalahkan. Percakapannya dengan Kiara dalam telepon saat dirinya masih di Kanada sudah menjelaskan segalanya. Seharusnya ia lebih peka dengan keadaan mental adiknya saat panggilan telepon darinya datang beruntun setiap hari untuk mengeluhkan hal yang sama. Barulah ketika Kiara membuat pengakuan mengejutkan, ia terbang hari itu juga ke Indonesia. Sayangnya ... Kania terlambat.

"Apa maumu?" tanya gadis yang masih menahan kesabarannya.

"Aku hanya tidak ingin laki-laki berengsek itu hidup tenang. Kamu lihat foto itu, kan?"

Mel kembali menatap foto-foto yang dikirimkan Kania. Hampir semuanya adalah foto-foto kebersamaan Zafran, Juna, dan Kiara. Tertulis nama mereka di balik foto sehingga membenarkan tebakan Mel terkait dua orang asing dalam foto tersebut. Zafran tampak berseri di foto itu, wajah tampannya tidak pernah berubah. Sangat cocok bersebelahan dengan Kiara yang selalu tersenyum lebar dengan tangan merangkul kedua sohibnya. Sementara seorang lagi selalu berpose cool dalam setiap jepretan kamera. Namun, foto yang paling mengejutkan bagi Mel adalah foto yang memotret jejak kehidupan bayi dalam rahim seorang ibu.

"Foto USG itu ... "

"... anak Zafran," sambung Kania dengan cepat.

Mel ternganga mendengarnya. Bagaimana mungkin suaminya yang ia kenal sebagai lelaki baik-baik melakukan perbuatan yang menyimpang dari agama? Terlebih memiliki seorang anak di luar pernikahan. Orang tuanya juga memiliki pandangan yang baik terhadap lelaki itu hingga tidak segan menerimanya sebagai menantu. Namun, Mel tahu bahwa syaitan selalu memiliki tipu muslihat untuk menjerumuskan manusia dalam kesesatan. Bukan tidak mungkin seseorang yang baik tergelincir dalam kubangan dosa.

Dalam suatu kajian yang diikutinya bersama Layla dan Najwa pernah diceritakan kisah seorang ahli ibadah yang tergoda dengan seorang perempuan. Tipu muslimat musuh nyata manusia itu berhasil mendorongnya untuk melakukan zina, bahkan dengan tega membunuh perempuan itu untuk menutupi jejaknya. Akan tetapi, usaha lelaki yang dulunya ahli ibadah itu sia-sia. Tidak hanya mendapat hukuman di dunia, dosanya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah sementara syaitan berlepas diri darinya.

Mel tetap menyangkal apa yang ia dengar karena batinnya sejak awal menolak percaya. Apalagi Kania memang sudah jelas ingin mencari gara-gara yang sanggup meretakkan rumah tangganya.

"Apa maksud kamu?" geram Mel.

"Temui aku di bandara besok jika kamu butuh penjelasan."

Sambungan telepon diputuskan secara sepihak. Sebuah pesan berisi lokasi dari Kania menyusul kemudian. Mel mengepalkan tangannya menahan kekesalan pada Kania. Kania benar-benar sudah keterlaluan. Sepertinya ia harus segera bertindak untuk memberikan perhitungan pada Kania, besok.

Mel segera mengemas foto-foto yang masih tergeletak di ranjang begitu mendengar Zafran memanggil namanya. Beberapa saat kemudian lelaki yang mengenakan apron itu membuka pintu kamarnya.

"Ayo, kita masak! Hari ini kamu yang pilih menunya," ajak Zafran yang sudah merindukan rutinitasnya setiap hari.

"Biar Mel aja yang masak, Mas," ujar Mel saat melihat wajah Zafran yang masih pucat.

"Mas udah sembuh, Mel."

Mel berjalan ke arah pintu. Sekejap menatap tepat di mata seteduh lembayung senja yang dinaungi alis tebal milik Zafran. Mata seteduh itu ... ah, Mel tidak ingin meragukan suaminya sendiri. Mel tidak akan membiarkan orang luar menemukan celah untuk meretakkan rumah tangganya.

"Kenapa hmm?" Zafran menyelipkan anak rambut Mel ke belakang telinga.

Mel hanya melengkungkan ujung bibirnya, lalu meletakkan telapak tangannya ke kening Zafran untuk mengecek suhu badannya. Demamnya sudah turun. Namun, tetap saja Zafran masih butuh istirahat karena belum sembuh total. Perdebatan kecil tentang siapa yang memasak terjadi di dapur. Zafran akhirnya mengalah, ia duduk bertopang dagu di meja makan seraya memandangi istrinya berkutat dengan peralatan dapur. Mel mengabaikan tatapan itu karena benaknya sibuk menyangkal kalimat Kania tentang foto USG yang diterimanya.

{To be continued}

Udah vote cerita ini? Helloww, ini udah masuk part 32, loh
Thankss for you🥰

KAMELIA : Mawaddah with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang