00 : Awal

11.3K 845 17
                                    

Pagi itu, embun masih bergantung di dedaunan, dan suara gemericik air dari dalam kamar mandi menggema lembut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu, embun masih bergantung di dedaunan, dan suara gemericik air dari dalam kamar mandi menggema lembut. Di balik tirai uap yang menutupi cermin, Choi (Name) sedang menyenandungkan sebuah lagu pelan. Ia berdiri di bawah pancuran, membiarkan air hangat menyapu kulitnya yang dingin oleh udara pagi. Pikirannya terbang melayang, namun waktu tak mengenal kompromi.

Setengah tujuh. Jam yang menjadi musuhnya setiap hari. Waktu berlari lebih cepat dari yang bisa dikejarnya, dan sekali lagi, bayangan terlambat menghantuinya. Ia mempercepat gerakannya, membilas sabun dari tubuhnya dengan tergesa. “Kalau begini, bisa terlambat lagi,” gumamnya, nada jengkel tersirat di dalam suaranya yang kecil.

Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar mandi, segera mengenakan seragam sekolah yang telah disiapkan sebelumnya. Rambutnya masih basah, setetes air jatuh dari ujung helaian yang tak sempat ia keringkan sepenuhnya. Buku-buku dimasukkan dengan terburu-buru ke dalam tasnya, dan tanpa menoleh lagi ke cermin, ia mengambil dua potong roti lapis dengan selai stroberi, sarapan sederhana yang selalu menjadi penyelamat paginya.

Tak! Tak!

Suara hentakan sepatunya menggema saat ia memastikan semuanya sudah terpasang dengan baik. Pukul tujuh lewat dua menit. Nafasnya terasa berat saat ia menyadari kenyataan: terlambat lagi. “Sialan...” desisnya sembari berlari keluar rumah, pintu yang tertutup keras menjadi saksi bisu keterburuannya.

┈┈┈┈․° ☣ °․┈┈┈┈

Sesampainya di gerbang sekolah, (Name) mengatur napasnya yang masih memburu. Matanya menyapu sekitar, melihat kerumunan siswa-siswi lain yang juga datang terlambat. Setidaknya ia tak sendirian.

“(Name)!” sebuah suara akrab memanggilnya dari kejauhan, dan ia menoleh, menemukan sosok Miyoung yang tersenyum ke arahnya.

“Kak Miyoung?” (Name) menyipitkan mata, sedikit heran melihat kakak kelasnya itu berdiri di antara gerombolan siswa yang juga terlambat.

“Barengan yuk!” ajak Miyoung, senyumnya hangat, seolah matahari pagi terpantul dari wajahnya yang cerah. Tanpa banyak kata, (Name) mengangguk dan melangkah di samping Miyoung, mereka berjalan bersisian menuju gedung sekolah.

Keduanya terjebak dalam keheningan yang canggung. Miyoung tampak ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya terkunci rapat. Sementara (Name), pikirannya sudah terbang jauh, sibuk menghitung kemungkinan apakah dia masih bisa mencapai kelas tanpa terlalu banyak hukuman.

“Kak,” suara (Name) memecah keheningan.

Miyoung tersentak. “Iya, (Name)?”

“Kelasmu... sudah terlewat.”

Miyoung menghentikan langkahnya, wajahnya memucat saat menyadari kelasnya sudah tertinggal jauh di belakang. “Aduh! Kalau begitu, aku pergi dulu ya! Bye!” katanya sambil berlari kecil, melambaikan tangan pada (Name) yang hanya menggelengkan kepala.

Sejenak kemudian, (Name) kembali melanjutkan langkahnya. Waktu terus berjalan, dan saat ia sampai di depan pintu kelas, bunyi bel terakhir sudah lama berlalu.

“Choi (Name)!”

Brak!

Pintu terbuka dengan hentakan, menampilkan sosok (Name) yang berdiri di ambang, napasnya masih tersengal. Semua mata tertuju padanya, namun tak ada yang benar-benar terkejut. Ini bukan kali pertama ia terlambat, dan mereka sudah terbiasa dengan adegan ini.

“Kau terlambat lagi,” suara gurunya terdengar malas, seolah lelah menghadapi kelakuan (Name).

“Maaf, Pak,” jawabnya tanpa banyak alasan.

“Duduklah. Aku sudah bosan menghukummu.” Gurunya menggelengkan kepala, menyerah. Dengan langkah cepat, (Name) menuju bangkunya di belakang, menempatkan tasnya di atas meja dan menghela napas panjang.

“Baiklah, anak-anak,” suara guru itu kembali terdengar, “buka buku kalian, mulai catat dari halaman 165 sampai 172. Minggu depan kita ulangan harian.”

Seisi kelas serentak mengeluh. “Iyaaa, Pak!” jawab mereka dengan nada ogah-ogahan.

┈┈┈┈․° ☣ °․┈┈┈┈

Bel istirahat berbunyi. Namun alih-alih menuju kantin seperti kebanyakan temannya, (Name) memilih tetap di kelas, meletakkan kepalanya di atas tas yang kini dijadikan bantal. Matanya terpejam, berharap bisa tidur meskipun sejenak.

“Cuma mencatat saja bisa capek seperti ini...,” gumamnya pada diri sendiri. Tangannya yang terasa pegal masih berdenyut, seolah seluruh tenaganya sudah terkuras hanya karena pelajaran pagi itu.

Namun, ketenangan kelas itu tak bertahan lama.

“CHOI (NAME)! YANG MANA NAMANYA CHOI (NAME)?!” suara keras tiba-tiba membahana dari pintu kelas.

Sebuah suara yang lain segera menimpali, “Oi, Hannam! Jangan berteriak!”

Dua sosok laki-laki memasuki kelas. Kang Hannam dan Yoon Minwoo, dua siswa populer di sekolah itu, kini berdiri di ambang pintu, mencari seseorang. Mata mereka menyapu kelas, dan tak butuh waktu lama untuk menemukan (Name), yang masih terlelap di atas mejanya.

“Hannam, sepertinya kita nanti saja—” Minwoo berbisik, sedikit ragu untuk membangunkan gadis yang tampak begitu tenang dalam tidurnya.

Namun Hannam, dengan penuh semangat, bergerak maju. “CHOI (NAME)!”

𝐅𝐎𝐋𝐋𝐎𝐖 𝐓𝐇𝐄 𝐖𝐈𝐍𝐃 || 𝐖𝐈𝐍𝐃𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang