16

855 125 10
                                        

Mata rusa yang setengah terpejam itu merungut menatap jam disamping tempat tidurnya.

Pukul 06.35 pagi

Lagi. Peat menghadapi rutinitas yang sudah ia jalani lebih dari sebulan.

Helaan napas berat terdengar bersamaan dengan tubuhnya yang beringsut perlahan menuruni ranjang. Dengan malas kaki pucat itu ia sampirkan sepasang sandal berbulu putih dengan boneka serigala sebagai hiasan. Baju piyama yang ia kenakan pun terlihat menampakan sebelah bahunya karena tidurnya yang cukup aktif malam tadi.

Aneh.

Tak biasanya ia tidur dengan tubuh yang bergerak kesana kemari. Sepertinya dua malam tidur bersama Fort membuat kebiasaan tidurnya terpengaruh. Jika dirinya tidur dengan pelukan Fort, maka posisi mereka akan seperti itu hingga pagi menjelang. Memang ada beberapa gerakan namun pada dasarnya akan bangun dengan posisi saling berpelukan.

"Ah.. Sebenarnya pelukannya cukup nyam- oh, shit! Apa yang baru saja ku katakan? Peat, sadar! kau sudah gila rupanya!" Peat mengacak rambutnya cepat dengan harapan isi kepalanya akan kembali normal seperti biasa.

"Kau harus ingat! Dia itu adalah anak dari orang yang membunuh kedua orang tuamu Peat! Jangan jatuh cinta! Jangan mengkhianati orang tuamu, sadarlah! Arghhh!!!" Peat berteriak kecil dengan nada frustasi, berusaha mengajak otaknya untuk mengeluarkan semua pengaruh yang ditinggalkan oleh putera mahkota.

Memang, pada titik ini Peat sudah menerima takdirnya dan berniat untuk berdiri diatas tahta sebagai Omega Agung. Namun dengan sejarah panjang hidupnya, Peat bertekad tak akan jatuh cinta sedikit pun pada Fort, bahkan rasa suka pun ingin Peat hindari.

Fort memang benar adalah calon suaminya, tapi ia juga adalah anak dari pembunuh orang tuanya. Tak benar juga jika ia membenci Fort untuk hal yang tak ia lakukan, jadi Peat hanya akan memberikan sedikit rasa ingin berkomunikasi dengan Fort, sebagai bentuk dari rasa maafnya.

Dan lagi sikap buruk pria besar itu. Cih, Peat kembali mengingat saat saat Fort bersikap buruk padanya, terutama ketika Fort menuduhnya malam itu. Sandiwara? Tau apa pria sialan itu dengan hidupnya?! Pria itu harus belajar kembali mengenai tata krama dan tata bahasa, kasihan jika rakyat memiliki raja dengan mulut tajam seperti itu.

Balas dendam? Peat tak memikirkan sejauh itu. Atau belum? Peat pun tak tahu apa jalan pikirannya sebenarnya. Benci? Jelas! Peat sangat membenci Raja dan Ratu. Pemegang kuasa tertinggi dikerajaan. Semua proses tentu berdasarkan persetujuan dari keduanya. Tak peduli apapun alasannya, kehilangan orang yang sangat dicintai dan disayangi adalah mimpi buruk bagi semua orang. Dan mimpi buruk itu nyatanya terjadi pada Peat.

Namun naas, Peat bahkan tak bisa menunjukkan emosi sebenarnya kepada kedua penguasa itu. Peat malah dipandang remeh dan hina karena asal dan statusnya. Tak hanya mereka berdua, seluruh jajaran kabinet juga memandangnya sebelah mata.

Ibarat sudah menelan bara api, tubuhnya juga disirami lelehan besi panas.

Menyedihkan.

Tapi apa boleh buat. Hatinya tak sanggup membalaskan dendam meski ia yakin bisa melakukannya. Why not? Warisan yang ditinggalkan kedua orang tuanya sangat besar. Semua harta kekayaan berserta organisasi berada dibawah tangannya. Hanya saja Peat tak mau menyentuhnya, Peat ingin hidup normal layaknya orang pada umumnya. Bekerja dikantor dan pulang dengan satu atau dua bungkus makanan ditangan untuk disantap saat makan malam. Sehingga Peat menyerahkan semua warisan itu pada Khun Tan selaku pengawal kepercayaannya.

Satu alasan yang selalu Peat pegang. Tak ingin orang lain merasakan bagaimana sakit dan perihnya kehilangan orang tua. Peat sudah merasakannya dan rasanya lebih dari sekedar kata tidak enak.

Rare Species - FORTPEAT (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang