Happy Reading!
•
•
•
•Keheningan begitu mendominasi di ruang makan yang cukup luas itu. Keduanya hanya fokus dengan sarapan paginya tanpa ada yang membuka suara. Lebih tepatnya yang lebih muda sedang menunggu yang lebih tua angkat suara.
“Kata guru kamu. Hari ini akan ada seleksi untuk olimpiade Fisika?” tanya ayah Raga, sebut saja Julian.
Raga mengangguk.
“Saya gak mau tahu, kamu harus ikut olimpiade itu!” ucapnya mutlak.
Raga menghela napas, selalu seperti ini. mau membantah pun yang ada nanti akan menimbulkan pertengkaran. Ini masih pagi, dan Raga tidak mau merusak suasana, walaupun suasana di rumahnya tidak pernah berubah. Hanya keheningan dan kesuraman yang menyelimuti. Ibarat warna, hanya hitam dan abu-abu, monokrom, tidak ada warna lain.
“Raga berangkat!” Raga menyalami tangan sang ayah.
“Ingat apa kata saya tadi!”
Raga keluar dari rumahnya, sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah ayahnya yang sekarang sedang fokus dengan ipad ditangannya. Memperhatikan grafik yang ayahnya selalu bilang penting.
Lihat dan dengar!
Tidak ada usapan lembut pada surainya seperti saat ia masih berumur enam tahun.
Tidak ada lagi peringatan untuk berhati-hati jika ingin kemana-mana.
Yang terlontar, hanya sebuah perintah mutlak yang mengandung penekanan yang pastinya harus dituruti.
Dan lagi, ayahnya selalu menggunakan kata ‘saya’ dibandingkan dengan kata ‘ayah’ yang seharusnya digunakan. Mereka seperti layaknya orang asing yang terpaksa harus hidup bersama di sebuah rumah tak berpenghuni.
Raga merubah raut murung dan sendunya menjadi ceria, sebuah topeng yang sering dirinya perlihatkan pada dunia, teman sekelas dan sahabat satu-satunya. Sebuah topeng yang kadang membuat Raga merasa jengah. Ia harus bersikap ceria, disaat hati dan pikiranya tidak pernah sinkron, berlawanan arah, tidak pernah mendukungnya.
Kali ini, Raga memutuskan untuk menaiki angkutan umum, dibandingkan dengan membawa motor kesayangannya. Dirinya teringat jika oli motornya belum diganti, ini masih musim penghujan. Dan Raga takut jika harus terus menerus menggunakan motor, takut motornya mati mesin. Walaupun sebenarnya ia mampu untuk membenarkannya jika sewaktu-waktu motornya harus dibawa ke bengkel. Tapi ia berpikir kembali, lebih baik uangnya ia tabungkan saja.
Sebenarnya ia mempunyai sepeda, namun hari ini ia sedang malas menggoes sepedanya.
Raga mengeratkan jaket yang dipakainya, menghalau rasa dingin yang hinggap pada kulit eksotisnya. Tadi sewaktu subuh, hujan kembali menumpahkan airnya ke bumi dan sekarang hanya menyisahkan genangan airnya saja, juga hawa dinginnya.
Petrichor, aroma yang muncul setelah turun hujan menyeruak pada hidung Raga. Raga menghirup banyak-banyak aroma yang menenangkan itu. Ia kini sedang berdiri di halte menunggu bus arah sekolahnya berhenti. Tak hanya ia yang berdiri disana, ada gadis berseragam SMA yang sepertinya sepantaran dengannya juga.
Ada yang menarik perhatian Raga, bukan gadis berseragam itu, melainkan dua orang lain disebelahnya. Seorang bapak-bapak yang Raga perkirakan usianya baru tiga puluh tahunan dengan bocah yang sepertinya putranya berusia enam tahun yang memakai seragam SD.
Samar-samar dapat terdengar pembicaraan yang mereka obrolkan. Raga mencoba menajamkan pendengarannya.
“Kalau Adek mau pulang. Nanti bilang ke Bu guru nya ya! Suruh teleponin Bundamu, nanti Bunda yang akan jemput kamu.”
“Loh? Kenapa bukan Ayah yang jemput aku?” terdengar nada bingung disana.
“Ayah hari ini sudah mulai kerja di tempat kerja baru Ayah.”
“Wah, Ayah sudah ada kerjaan baru lagi?”
“Iya, Adek seneng?”
Bocah kecil itu mengangguk heboh. “Seneng, seneng banget malah! Itu artinya Ayah sudah bisa belikan mainan baru untuk aku.”
“Haha, bisa saja kamu. Pintar ya anak Ayah.”
“Iya dong, kan aku anak Ayah.”
Kira-kira begitulah obrolan yang Raga dengar. Dibalik topinya Raga tersenyum, ia ingin seperti itu juga.
Ia ingin mengobrolkan berbagai hal dengan ayahnya seperti itu.
Tak bisa dipungkiri, ia merasa iri dengan interaksi anak dan ayah itu.
Sejujurnya berbagai cara sudah Raga lakukan agar bisa kembali seperti dulu dengan ayahnya.
Seperti saat ibu dan abangnya masih ada.
Raga rindu sikap hangat ayahnya.
Raga rindu pelukan eratnya.
Raga rindu nasihat dari ayahnya.
Raga menyalakan lagu di ponselnya yang sebelumnya memang sudah tersambung dengan earphone yang dipakainya.
Matanya memejam, menikmati suara indah yang mengalun. Sembari menerawang ke masa dimana saat dirinya kecil.
Flashback on
“Ayah, Raga ingin es krim, di kedai itu!” Raga kecil menunjuk pada gerai es krim yang menjadi perhatiannya.
“Boleh, Tapi jangan banyak-banyak ya?”
“Iya, belikan juga untuk Abang ya Yah.”
“Iya.”
“Okey, tapi Ayah ...”
“Apalagi?”
“Raga ingin Ayah gendong ke sananya.”
Sang ayah pun dengan senang hati menggendong tubuh mungil putra bungsunya.
“Let’s go!”
Falshback off.
Tepat saat Raga membuka mata, sebuah bus berhenti di hadapannya. Tanpa menunggu lama, Raga langsung memasuki bus tersebut, dan menduduki kursi yang kosong. Pikirannya mencoba mengenyahkan bayangan masa kecilnya.
Sekali lagi, masa yang amat sangat Raga rindukan.
“Kuatkan saya, Tuhan.”
_______________________________________________
To Be ContinueJangan lupa voment!
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Piala untuk Ayah ✓
Fanfiction[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanyalah Ayah? __________________________________________ "Maaf, belum bisa membuatmu bangga. Namun, bole...