29 : Terkena Imbasnya

982 83 0
                                    

Happy Reading!




Sepulang dari sekolah, Raga tak langsung pulang ke rumah. Ia memilih memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat yang selalu dirinya kunjungi selama sebulan sekali dalam beberapa bulan ini.

Sebuah tempat yang enam bulan lalu pernah menjadi salah satu bukti tentang betapa menyedihkannya kehidupannya selama ini.

"Kamu apa kabar?"

Pertanyaan itu terlontar dari sosok lelaki yang usianya diperkirakan kisaran dua puluh delapan tahun.

"Baik, Kak." Raga tersenyum sopan pada sosok lelaki tersebut.

"Selama sebulan ini, gimana? Kamu merasa lebih baik?" tanya lelaki tersebut, kita sebut saja Trista.

Trista, salah satu orang yang berjasa dalam kehidupan Raga. Seorang dokter muda yang membantunya dalam menjalani kehidupan peliknya, menasihatinya tentang berbagai macam hal yang baik dan mengandung harapan.

Seorang psikiater yang menangani penyakit mental yang dirinya derita. Penyakit apa?

PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder!

Penyakit itu yang di derita Raga sejak kejadian kecelakaan yang menewaskan ibunya, dan bodohnya Raga baru mengetahui penyakit yang dideritanya enam bulan yang lalu. Itupun secara tidak sengaja dirinya ketahui.

Note : PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder, adalah gangguan yang terjadi pada seseorang yang baru saja mengalami kejadian tidak nyaman atau kejadian mengerikan seperti korban penculikan, pelecehan seksual, pembunuhan, kecelakaan dan lain-lain. Kejadian yang dialami atau disaksikan tersebut menjadi memori kelam yang terus teringat dan membuat penderitanya mengalami stress (source by Google)

"Alhamdulillah, Raga jarang kambuh lagi sekarang," jawab Raga membuat Trista menghela napas lega. "Tapi, Raga ngerasa, Raga terlanjur kecanduan dengan obat tidur Kak."

"Sebisa mungkin, Kakak sarankan kamu jangan lagi bergantung dengan obat-obatan itu ya?"

"Maaf, kalau itu gak bisa. Tanpa obat itu, Raga gak akan pernah bisa tidur tenang sesuai keinginan Raga Kak."

Trista menghela napas panjang, dirinya mengelus punggung pemuda malang di dekatnya itu dengan teratur. "Kamu coba pelan-pelan ya, karena keseringan mengonsumsi obat tidur juga tidak baik Raga."


Ternyata, akibat ulah dari Tania selama di sekolah tadi siang, menimbulkan masalah bagi Raga yang saat ini sedang ditanyai berbagai macam hal.

Masalah apa?

Ayahnya, entah tahu darimana. Yang jelas, ayahnya murka pada Raga saat mengetahui Raga ternyata pernah berpacaran. Dan ia harus terkena imbasnya.

"Mau jadi apa kamu kecil-kecil sudah pacaran?" tanya ayah Raga seraya menatap putranya dengan tajam.

"Buang-buang waktu dan uang saja," tambahnya sarkastik.

"Dasar tidak tahu diri!"

Ucapan terakhir sang ayah membuat Raga langsung merasakan ribuan jarum seolah menusuk tepat di ulu hatinya. Terasa sakit, sakit sekali.

"Maaf Yah," ucap Raga pelan. "Lagipula, sekarang Raga sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia," tambahnya yang membuat dirinya sendiri merasa lega, sebab bisa lebih rileks dalam mengucapkannya.

"Maaf saja bisanya."

"Benar-benar anak tidak berguna," ucap Julian seolah tidak ada habisnya membuat Raga sakit hati.

"Ayah!" Raga memberanikan diri untuk bertatap mata dengan ayah yang disayanginya itu. Dapat Raga lihat, ada tatapan penuh kebencian dari netra dihadapannya itu.

"Kenapa sih, Ayah gak pernah bisa lembut sama Raga?" tanyanya seraya meloloskan satu tetes air mata dari kedua matanya yang berkaca-kaca.

"Raga salah apa?" tanyanya.

"Kamu, masih bertanya salah apa?" tanya Julian diserta bentakan. Tatapan Julian semakin berkilat tajam. "Ingat ini baik-baik di otak kamu! Gara-gara kamu, saya harus kehilangan istri dan putra saya. Gara-gara kamu, saya harus dibuat menderita sebab merasa muak harus tinggal seatap dengan kamu."

"Dasar pembunuh!"

Jleb!

Lagi, dirinya seolah tertampar oleh kenyataan pahit itu. Ya, gara-gara dia ibunya pergi. Dan Raga mengakui itu. Namun, jika tahu akan begini akhirnya, Raga lebih baik ikut ibunya saja. Jujur, dia sudah tidak kuat dengan semua ini.

Raga menghela napas beberapa kali, mencoba membuat dirinya sendiri tenang. "Kalau begitu, cara apa yang harus Raga lakukan, agar Ayah bisa menerima Raga sebagai anak Ayah. Ayah bersikap sayang dan lembut dengan Raga. Selayaknya kehidupan bahagia antara anak dan orang tua? Juga cara untuk menghilangkan rasa sakit dan menderitanya Ayah selama ini? Raga akan kabulkan keinginan Ayah."

"Mau tahu caranya?" tanya Julian yang tanpa sadar diangguki oleh Raga dengan kencang.

"Kamu, mati!"

Raut wajah Raga berubah menjadi sendu dan muram. Dari sekian banyaknya kata. Mengapa harus kata 'mati' yang ayahnya berikan untuk semua pertanyaan yang ia lontarkan? Rasa-rasanya, Raga ingin menghilang saja dari hadapan ayahnya sendiri.

Tiba-tiba, terlintas sebuah tanya dalam benaknya.

Mengapa?

Mengapa ayahnya dengan enteng mengatakan kata 'mati'?

Mengapa ayahnya begitu tak berperasaan pada dirinya?

Apakah tidak ada sedikitpun rasa sayang untuk dirinya?

Raga merubah raut sendunya menjadi sebuah senyuman simpul. "Kalau itu maaf, Raga belum bisa mengabulkan. Karena, Raga bukan Tuhan!"

Selepas mengatakan hal tersebut, Raga langsung pergi meninggalkan Julian yang hanya bisa terpaku melihat senyuman simpul itu.

Guratan penuh rasa bersalah itu menghampiri mimik wajahnya, saat ia baru menyadari jika ucapannya tadi terlalu kasar bahkan mungkin kejam?

Merasa frustasi dengan apa yang terjadi, Julian meremat kedua tangannya kencang, mencoba menghilangkan rasa bersalah tersebut dalam dirinya.

"Maaf," gumamnya tanpa sadar seraya menatap punggung putranya yang berjalan pelan menaiki tangga.

_______________________________________________
To Be Continue

Terima kasih!

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang