Happy Reading!
•
•
•
•"Peraih nilai tertinggi yang berada di posisi pertama SMA Gardapati angkatan tahun ini, Hiraga Akhdan Fatta! Selamat untuk Raga!"
Raga tersenyum kecil saat namanya disebutkan sebagai peraih nilai tertinggi tahun ini. Tak sia-sia selama ini dirinya belajar keras.
"Weh, dua sahabat gue keren banget," celetuk Kenzo seraya menatap Raga dan Janu bergantian yang saat ini sedang menerima penghargaan dari kepala sekolah.
"Bener anjir, bangga banget gue," sahut Jesa dengan kamera ponsel yang menyala, hendak memotret kedua sahabatnya.
Jean, Rangga dan Josep hanya tersenyum tanpa berniat bersuara.
Janu berada di posisi kedua, sedangkan posisi ketiga didapatkan oleh salah satu teman keduanya yang berada di kelas yang berbeda.
Di depan sana, giliran Raga yang menyampaikan sepatah dua patah kata atas peraihan nilai tertinggi yang dirinya dapat.
Raga tersenyum sopan pada semua tamu yang hadir di kelulusan kali ini. Berkali-kali ia menghela napas, berusaha menghilangkan rasa gugup yang melanda. Netranya berpendar, mencoba mencari ayahnya yang dirinya harapkan hadir di acara kelulusannya.
Ia menghela napas pasrah saat tak menemukan sosok yang dicarinya, namun tak lama sebuah senyuman simpul dirinya keluarkan saat melihat Jovan yang sedang tersenyum bangga kearahnya dibagian kursi tamu.
Tidak apa-apa ayahnya tidak datang, setidaknya ada abangnya yang mewakili.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu!" ucapan salam Raga terdengar disahuti oleh para tamu yang hadir.
"Ah, sebenarnya saya merasa gugup saat ini. Dan saya juga sedikit bingung ingin mengucapkan apa. Yang pasti beribu-ribu syukur saya panjatkan kepada yang kuasa."
"Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih pada kepala sekolah, guru-guru yang telah mengajarkan saya berbagai banyak hal baru, serta ilmu yang bermanfaat selama tiga tahun saya mengenyam pendidikan di bangku SMA. Karena, tanpa kalian saya merasa tidak akan bisa mencapai titik ini."
"Kedua, terima kasih pada semua tamu yang hadir. Terima kasih juga kepada Abang saya yang menyempatkan diri untuk hadir di tengah kesibukannya."
Raga menatap sang abang penuh rasa terima kasih, yang dapat Raga lihat dibalas Jovan dengan senyuman kecil. Juga sebuah kata-kata yang terlontar tanpa suara. Seperti kata 'sama-sama', 'selamat' dan 'semangat'. Tiga kata itu yang Raga tangkap dari pergerakan bibir sang abang.
"Saya juga ingin mengucapkan terima kasih pada Ayah saya, yang walaupun saya tahu mungkin Ayah tidak bisa hadir di sini."
"Terima kasih juga pada sahabat saya yang selalu setia mendukung saya, serta teman-teman angkatan saya di SMA Gardapati, tak lupa saya ucapkan terima kasih pada adik-adik kelas saya."
Raga menatap sahabat-sahabatnya yang sedang fokus mendengarkan kata-katanya, juga Janu yang berdiri tepat disebelahnya.
"Pesan saya untuk adik-adik kelas. Jika sedang dihadapkan dengan suatu masalah atau sedang melakukan sesuatu. Jangan mudah putus asa, jika gagal teruslah mencoba sampai bisa."
"Juga, bersyukurlah dengan apa yang kalian punya hari ini. Bersyukur bukan hanya soal materi, bisa saja sebuah keluarga yang lengkap, kasih sayang kedua orang tua, kakak atau adik yang sayang dengan kalian, itu juga merupakan sebuah anugerah yang harus kalian syukuri."
"Satu lagi, tetap semangat dalam mencari ilmu, dan teruslah berjuang dalam meningkatkan ilmu yang kalian punya. Karena, semakin banyak ilmu yang kalian miliki, semakin banyak pula peluang-peluang yang akan kalian peroleh kedepannya."
"Mungkin, itu saja yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf jika ada salah-salah kata. Dan terima kasih saya kembali ucapkan!"
A/N : untuk speech Raga sorry kalau berbelit-belit atau bahkan kurang bagus jika dibaca.
•
•"Lo, mau langsung pulang Ga?" tanya Janu setelah acara kelulusan selesai. Baik mereka - Raga, Janu, Jesa, Rangga, Josep, Kenzo dan Jean. Maupun teman-teman seangkatannya sudah mengambil foto banyak hari ini, untuk dijadikan kenangan di masa depan.
"Iya." Raga mengangguk.
"Bang Jovan kemana?" tanya Rangga saat tak melihat keberadaan abang dari sahabatnya itu.
"Tadi Bang Jovan chat gue, kalau dia balik duluan, soalnya ada meeting mendadak." Raga menyampirkan tas yang dirinya bawa di bahunya. "Dia juga bilang, maaf buat kalian karena pulang tanpa pamit, soalnya tadi kita kelihatan hectic banget foto sana-sini." Yang lainnya mengangguk mendengar ucapan Raga.
•
•Kita ke sisi Jovan, sebenarnya dia berpamitan pada Raga bukan karena ada meeting, melainkan ingin mengunjungi kantor Julian, ayahnya.
Jovan rasa, sudah saatnya dirinya bertemu secara langsung dengan sosok ayah kandung yang dirinya rindukan itu.
Sebenarnya selain itu, dirinya juga ingin bertanya tentang sesuatu kepada ayahnya.
Tentang, mengapa ayahnya tidak hadir di hari kelulusan Raga? Dan lebih memilih bekerja daripada menghadiri acara cukup penting adiknya?
"Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya bantu?" pertanyaan itu terlontar dari perempuan berpakaian khas pegawai kantor yang berada dibagian resepsionis.
"Siang!" Jovan membalas senyuman sopan yang ia dapatkan dari perempuan di depannya. "Boleh saya bertemu dengan pimpinan kalian? Bapak Julian Kalandra?" tanyanya tanpa berbasa-basi.
"Sebelumnya, apakah Bapak sudah membuat janji?"
Jovan menganggukkan kepalanya satu kali, ia terpaksa berbohong untuk ini. Karena, bagaimana membuat janji jika bertemu saja tidak pernah.
"Baik, kalau begitu mari saya antarkan!"
"Saya tidak perlu di antar Mbak, Mbak cukup kasih tahu saja kemana arahnya, biar saya sendiri yang kesana."
"Baik, ruangan Pak Julian berada di lantai sepuluh, Bapak tinggal jalan lurus saja, nah dibagian kanan ada sebuah lift yang menghubungkan ke lantai atas. Setelah Bapak sampai di lantai sepuluh, Bapak tinggal langsung berjalan ke arah kanan, disana ruangan Pak Julian."
"Baik, terima kasih Mbak!"
Selepas mendapatkan balasan, Jovan langsung berjalan kearah sesuai yang ditunjukkan perempuan resepsionis tadi.
Tak berselang lama, dirinya sudah sampai di lantai sepuluh, berdiri tepat di depan pintu yang dirinya yakini merupakan ruangan yang di tempati sang ayah. Jovan mengangkat satu tangannya, berniat mengetuk pintu dihadapannya.
Tok!
Tok!
"Masuk!"
Mendengar sahutan dari dalam membuat Jovan secara perlahan memegang gagang pintu dan membukanya. Saat Jovan sudah berada di dalam, dapat dirinya lihat sang ayah yang sedang sibuk berkutat dengan berkas-berkas di tangannya.
"Ayah!"
_______________________________________________
To Be ContinueTerima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Piala untuk Ayah ✓
Fiksi Penggemar[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanyalah Ayah? __________________________________________ "Maaf, belum bisa membuatmu bangga. Namun, bole...