27 : Kembali Berkunjung

836 73 0
                                    

Happy Reading!




"Gue boleh minta tolong gak sama kalian?" tanya Raga setelah menyelesaikan cerita tentang apa yang terjadi pada hidupnya selama ini.

"Minta tolong apa Bang?" tanya Kenzo setelah tersadar dari keterdiamannya.

"Gue mohon banget, kalian jangan ceritain ini ke siapa-siapa, apalagi ke Bang Jovan," pinta Raga seraya menatap sahabat-sahabatnya penuh permohonan.

"Tap---"

"Tolong banget," ucap Raga memotong ucapan Janu masih dengan nada yang sama, terdengar lemah.

Mau tak mau, Janu, Jesa, Rangga, Josep, Kenzo dan Jean menganggukkan kepala masing-masing, menyetujui permohonan Raga.

"Makasih," ucap Raga pelan.

"Karena Bang Raga udah bangun, mendingan kita ke kantin yuk?" ajak Jean mencoba menghilangkan suasana sedih dan hening yang terjadi. "Gue laper," lanjutnya.

"Iya nih, gue juga laper. Anak gue udah nendang-nendang ini dari tadi, minta makan," timpal Kenzo bermaksud memberikan jokes sembari menepuk-nepuk perutnya yang rata.

Ucapan dari Kenzo membuat semua yang disana mengerutkan kening, merasa jijik dengan jokes itu.

"Anak setan," cibir Rangga sarkas.


"Gaes, gue punya pertanyaan buat kalian," ucap Kenzo yang sedang menunggu pesanan mereka jadi.

"Pertanyaan apa?" tanya Raga penasaran. "Awas kalau gak masuk akal, gue geplak kepala lo!"

"Kue, kue apa yang selalu kangen?" tanyanya seraya menatap wajah-wajah tampan dihadapannya dengan mata menyipit.

"Kue bolu," jawab Jean.

"Salah," balas Kenzo.

"Kue nastar," ucap Jesa mencoba ikut menjawab.

"Salah, ayo terus pikirin lagi!"

"Kue ulang tahun?" Josep menaikkan alisnya saat menjawab demikian.

"Salah," balas Kenzo disertai senyuman kecil, dirinya yakin, tidak akan ada yang bisa menebak.

"Kita nyerah, jadi, lo langsung aja kasih tahu." Rangga ikut bersuara.

"Jawabannya, kue tiramisu," ucap Kenzo seraya menaik turunkan kedua alisnya.

"Kok tiramisu?" Dahi Janu mengernyitkan bingung.

"Iya, tira miss you." Usai mengucapkannya, Kenzo tertawa terbahak-bahak sendirian, membuat meja mereka menjadi pusat perhatian.

Puk

"Aws," ringis Kenzo merasakan pukulan di belakang kepalanya, ia menoleh ke sampingnya. "Kok lo mukul gue sih Bang?" tanyanya menatap kesal pelaku pemukulan, Ragga

"Lo bikin gue kesel soalnya," jawab Rangga santai.


"Pipi lo kenapa Dek?" tanya Jovan pada Raga yang sedang makan bersamanya di salah satu cafe, setelah pulang sekolah.

Raga meletakkan sendok di genggamannya, ia memegangi bagian kanan dan kiri wajahnya. "Gue jatoh dari kamar mandi Bang, makanya jadi penuh luka gini, hehe," jawab Raga penuh kebohongan disertai dengan cengiran, agar tak membuat abangnya curiga. Apalagi sampai melontarkan tanya berkepanjangan.

Dan benar saja, tanpa merasa curiga Jovan mengangguk. "Lain kali hati-hati!" ucapnya memperingati.

"Siap!"

Keduanya kembali fokus dengan makanan masing-masing.

"Lo, beneran mau ikut gue sama Yuka ke makam Papa sama Mama?" tanya Jovan setelah menyelesaikan makannya. Mama dan papa yang dimaksud adalah, kedua orang tua angkatnya, alias orang tua Yuka.

"Iya, setelah nyekar ke makam Mama sama Papa angkat lo, kita juga mampir nyekar ke makam Ibu ya Bang?"

"Iya."


"Hai Bang!" sapa Raga seraya tersenyum kecil pada Yuka. "Gue boleh ikut kan?"

"Boleh dong, masa ada yang mau ikut nge doa'in orang tua gue, gue larang sih," jawab Yuka dengan bibir melengkung indah, membalas senyuman dari Raga.

"Yuk!" ajak Jovan setelah sedikit berbincang dengan penjaga makam.

Ketiganya berjalan beriringan menuju makam kedua orang tua Yuka.

Sesampainya di sana. Raga berjongkok, mencabuti rumput liar yang tumbuh diatas pusara makam orang tua angkat abangnya itu. Jovan yang menaburkan bunga yang sempat dirinya beli, sedangkan Yuka mengusap nisan kedua orang tuanya bergantian. Dirasa sudah selesai, ketiganya langsung berdoa.

"Om, Tante!" sapa Raga setelah selesai berdoa. "Kenalkan, saya Raga, Adik kandungnya Bang Jovan. Raga gak akan banyak bicara, yang pasti terima kasih sudah menolong dan menjaga Abang Raga dengan baik selama ini."

"Berkat kalian, Raga bukan cuma punya Ayah, tapi juga masih punya Abang."

Jovan dan Yuka hanya terdiam seraya tersenyum sendu mendengar apa yang disampaikan Raga.

"Gue juga mau bilang makasih sama lo Bang!" Netra hitam Raga berpindah pada Yuka. "Karena, sudah jadi saudara sekaligus sahabat yang baik dan selalu ada buat Bang Jovan."

Yuka menepuk kepala Raga pelan. "Gak perlu bilang makasih, sebagai saudara memang harus selalu ada kan? Sekalipun bukan saudara kandung."

Raga mengangguk.

"Sana, kalian duluan aja. Mau ke makam Ibu kalian kan?" tanya Yuka yang diangguki Jovan dan Raga. "Gue mau ngobrol sebentar sama Mama, Papa."

Sebelum beranjak pergi. Jovan menyempatkan diri untuk berpamitan pada pusara kedua orang tua angkatnya.

"Jovan pamit ya Ma, Pa. Terima kasih!"


"Ibu!"

Sekiranya, kata itu yang pertama kali Raga ucapkan setelah berjongkok dihadapan pusara sang ibu.

"Hari ini, Raga bawa Abang. Raga seneng banget pas tahu Abang masih hidup. Ibu disana ikut seneng kan?"

Jovan mengusap bahu Raga yang terlihat bergetar. Raga yang biasanya tak menangis setiap berkunjung ke makam sang ibu, entah kenapa hari ini tiba-tiba saja malah menangis.

"Ibu, ini Jovan!" ucap Jovan pelan, seraya menatap pusara di depannya sendu. "Ibu baik-baik aja kan disana?"

"Ibu, sekarang kenapa jarang banget datang ke mimpi Raga? Padahal Raga kangen banget tahu sama Ibu."

"Bu, Raga minta maaf ya. Kalau aja dulu Raga gak keras kepala, pasti sekarang Ibu masih ada disini. Kumpul bareng Ayah, Abang terus Raga."

"Bukan salah lo Dek, itu udah takdir dari Allah." Jovan menyahuti ucapan Raga. "Berhenti nyalahin diri sendiri, Ibu pasti gak suka dan sedih disana kalau lihat lo kayak gini."

_______________________________________________
To Be Continue

Di beberapa chapter, Raga manggil ibunya Bunda, padahal aslinya manggilnya Ibu. Sorry, itu murni kesalahan aku yang gak cek dulu di chapter-chapter sebelumnya.

Sekarang sudah di revisi kok.

Terima kasih

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang