17 : Hari Terakhir Belajar Bersama

824 68 0
                                    

Hai semuanya! Apa kabar?

Maaf banget baru bisa up lagi cerita ini setelah sekian lama.

Happy Reading!



Empat Minggu berlalu, ini merupakan hari terakhir Raga dan Janu belajar bersama untuk persiapan olimpiade. Kali ini keduanya memilih untuk belajar di rumah Janu.

Selama empat Minggu ini Raga dan Janu jadi semakin dekat, walaupun kadang mereka sering adu mulut. Begitupun dengan sahabat mereka masing-masing.

Sepertinya olimpiade kali ini membuat keempatnya menjadi teman walaupun masih canggung, karena bagaimanapun mereka, Raga dan Janu dulunya adalah musuh bebuyutan.

Entah mengapa, setelah melihat perlakuan kasar yang diterima Raga dari ayahnya sendiri membuat Janu merasa iba juga bersalah terhadap Raga karena sudah mengibarkan bendera permusuhan pada teman sekelasnya itu.

Jadi dirinya memutuskan untuk berbaikan dengan Raga di Minggu kedua mereka belajar bersama, yang tentu saja disetujui Raga. Menurutnya itikad baik tidak boleh ditolak, lagipula bermusuhan dengan teman sekelas itu tidak ada enaknya sama sekali.

"Masuk!" ajak Janu saat mereka sudah sampai di teras depan rumah Janu. Ia membuka pintunya lebar-lebar, mempersilahkan partner olimpiade-nya untuk masuk.

Saat sampai di ruang tamu, mata keduanya langsung tertuju pada seseorang yang sedang fokus menonton siaran berita di televisi.

"Lho, Papa tumben udah pulang?" tanya Janu heran saat melihat papanya yang sudah berada di rumah.

Papa Janu yang mendengar pertanyaan putra bungsunya menoleh pada sumber suara. "Kerjaan Papa hari ini gak terlalu banyak."

Janu mendekati sang papa, menyalami tangan super hero-nya itu, begitupun dengan Raga yang mengekori.

"Kamu siapa? Temen baru Janu ya? Perasaan saya baru lihat kamu." tanya papa Janu penasaran dengan pemuda yang dibawa Janu.

"Perkenalkan Om, saya Raga," jawab Raga memperkenalkan diri disertai senyuman sopan yang terpatri di wajah tampannya.

"Dia partner aku di olimpiade kali ini Pa," beritahu Janu yang diangguki papa Janu.

"Lo duduk aja dulu di sofa, gue mau ganti baju dulu." Mendengar itu Raga langsung menduduki sofa single yang letaknya tepat disebelah papa Janu.

Papa Janu memperhatikan Raga dengan intens, membuat Raga merasa risih sekaligus takut.

Ini papanya si Janu lihatin guenya gitu banget, jangan-jangan dia mau jual gue lagi, batin Raga seratus persen ngawur. Ia bergidik dengan pikirannya sendiri.

Raga mencoba mengabaikan tatapan intens itu, dirinya menatap lurus pada televisi. Seolah tidak ada yang mengganggu.

Lima menit kemudian Janu sudah kembali ke ruang keluarga, dia hanya mengganti baju seragamnya saja, tidak dengan celana abu-abunya.

Dahi Janu mengerut saat melihat papanya yang masih menatap Raga dengan intens. "Papa kenapa lihatin temen aku gitu banget sih? Kayak pedofil tahu gak."

Ucapan sang anak membuat papa Janu mengalihkan pandangannya. "Enak saja, Papanya sendiri dikatai pedofil." Papa Janu memutarkan bola matanya malas.

"Terus kenapa lihatin Raga gitu banget?" tanya kembali Janu.

"Gak tahu kenapa lihat wajah Raga, Papa jadi keinget sama sahabat SMA Papa yang udah lama Papa gak lihat. Dan Papa lihatin Raga tadi itu lagi coba mengingat-ngingat," jelas papa Janu.

Janu mengangguk paham.

"Nama orang tua kamu siapa Raga?" tanya papa Janu penasaran.

"Julian Kalandra dan Farasya Pertiwi," jawab Raga menyebutkan nama panjang kedua orang tuanya.

"APA?" mata papa Janu melotot saking kagetnya. "Kamu anaknya si Julian?" tanyanya memastikan.

Raga mengangguk membenarkan, saat melihat pemuda dihadapannya mengangguk, dirinya langsung melangkah mendekati Raga. Dan tanpa disangka dirinya membawa Raga pada pelukannya.

Raga yang merasakan dekapan itu terdiam mematung, rasanya hangat sekali, seperti pelukan ayahnya. Pikirannya menerawang, kapan terakhir kali dirinya dipeluk oleh sang ayah? Ah, terakhir dirinya dipeluk itu saat pemakaman ibu dan abangnya.

Setelah itu, dirinya tidak pernah lagi mendapat pelukan hangat sang ayah hingga sekarang dirinya beranjak remaja.

Dengan ragu-ragu Raga membalas pelukan erat dari papa Janu. Matanya memejam, merasakan kehangatan yang dirinya rindukan dari ayahnya.

Janu membiarkan keduanya saling berpelukan, dirinya memilih mengambil minum juga beberapa camilan untuk Raga.

"Udah kali ya pelukannya, kasihan itu temen aku. Sesek napas dipeluk sama Papa erat-erat," ucap Janu yang sudah kembali.

Papa Janu melepaskan pelukan eratnya, dirinya tersenyum hangat pada Raga.

"Perlu kamu tahu ya Ja, Raga itu Akhdan, temen kecil kamu, kamu gak inget?" tanya papa Janu pada sang putra.

Janu mengernyitkan dahi. Memang dia punya teman ya saat kecil? Seingatnya tidak deh! Bukan apa-apa, saat kecil Janu itu orangnya jarang bergaul hingga membuat dirinya tidak punya teman dan dianggap sombong oleh teman sebayanya saat itu. Namun ada satu orang yang menjadi sahabatnya. Mata Janu membola. "Lo si Akhdan bocah dekil itu ya? Lo beneran sahabat kecil gue?" tanyanya pada Raga.

Mendengar pertanyaan yang tersirat ejekan didalamnya itu membuat Raga mendengus. "Gue udah gak dekil ya sekarang," bantah Raga tak terima dikatai dekil. "Lo Ari ya? Bocah pendiem yang sering menyendiri di deket danau?" lanjutnya memastikan.

Janu mengangguk membenarkan. Dirinya memeluk Raga erat. "Anjing ya lo, kalau tahu lo sahabat kecil gue yang tiba-tiba menghilang dulu, gak bakalan gue musuhin lo selama di sekolah."

Raga mencoba melepaskan pelukan itu, dirinya tidak biasa. Bagaimanapun mereka sempat bermusuhan selama dua tahun terakhir. Mau tak mau Janu melepaskan pelukan persahabatan itu.

"Gue bukan menghilang, tapi ikut Ayah yang saat itu kerjanya dipindahkan ke pusat. Jadi mau gak mau, ya gue ikut keluarga gue," jelas Raga.

"Ayah, Ibu dan Abang kamu apa kabar?" tanya papa Janu.

Janu yang mendengar pertanyaan itu refleks memelototi sang papa. Seolah bertanya, kenapa nanyanya itu sih? Namun, papa Janu tidak menyadari tatapan itu.

"Ayah baik kok Om, kalau Ibu dan Abang." Ada jeda di ucapan Raga. "Keduanya udah lama meninggal Om, gak lama setelah kepindahan keluarga kita ke kota Jakarta. Ibu, Abang dan Raga saat itu mengalami kecelakaan. Namun yang selamat hanya Raga, tidak dengan Ibu dan Abang Raga," jelas Raga memberi tahu.

Papa Janu menutup mulutnya yang terbuka, merasa syok dengan penjelasan yang baru saja dilontarkan putra dari sahabat SMA-nya ini.

"Maaf Raga, Om tidak tahu. Om tidak bermaksud, Om hanya berniat menanyakan kabar mereka saja tanpa tahu kenyataannya."

Raga tersenyum mencoba menenangkan papa Janu yang terlihat merasa bersalah karena sudah bertanya. "Gak papa kok Om, itukan pertanyaan yang wajar, lagipula ini sudah berlalu sejak lama."

"Udah deh, ngobrolnya nanti aja. Aku sama Raga mau belajar dulu Pa." Janu yang merasakan atmosfer yang berubah menjadi mellow langsung bersuara.

Janu berjalan dengan membawa dua gelas minuman dan camilan yang tadi dirinya ambil. Raga mengikuti langkah Janu, setelah sebelumnya berpamitan pada papa Janu yang masih terdiam.

"Jadi, istri dan putra pertama Julian sudah meninggal?" gumam papa Janu, dirinya mengusap wajahnya kasar. Merasa bersalah juga syok.

--------------------------------------------------------------------------
To Be Continue

Jangan lupa voment!

Terima kasih.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang