04 : Belajar Bersama

1.3K 85 0
                                    

Marhaban ya Ramadhan!
Alhamdulillah, gak kerasa ramadhan udah tiba. Besok puasa hari pertama. Semangat untuk kalian semua yang menjalankan ibadah puasa, termasuk aku!

Aku sengaja up malam ini, soalnya besok gak bakal update.

Udah itu saja, terima kasih!

Happy Reading!



Perpustakaan.

Itu tempat yang Raga dan Jesa pijaki sekarang. Sebenarnya hanya Raga yang harus ke perpustakaan, sebelumnya ia mendapatkan pemberitahuan dari guru Fisika-nya jika hari ini mereka akan melakukan evaluasi mengenai materi-materi yang kemungkinan akan muncul di olimpiade, pastinya ada Janu juga disana.

Hari ini, seluruh siswa dipulangkan dengan lebih cepat dari biasanya. Sebab para guru akan melakukan rapat di luar sekolah.

“Gue mau ke pojok sana!” Jesa menunjuk pojok ruangan perpustakaan yang terlihat sepi.

“Hm,” balas Raga.

Mereka berjalan ke tujuan masing-masing.

“Lama banget sih lo,” protes Janu saat Raga baru menduduki kursi dihadapannya.

“Bacot lo, lagian Bu Meta nya belum dateng kan?” balas Raga santai.

“Kalau bukan tantangan dari Papa, udah dari kemarin gue nolak pas lolos seleksi setelah tahu yang jadi partner gue itu elo.”

“Ya tinggal batalin aja, bilang ke Bu Meta apa susahnya?”

“Diem lo anjing!”

“Kan lo duluan yang mulai.”

“itu yang duduk berdua di sebelah kanan. Tolong jangan berisik, ini perpustakaan!” Suara bariton dari penjaga perpus membuat mereka terdiam.

Sembari menunggu bu Meta, Raga memilih membaca-baca materi yang sudah dipersiapkan guru Fisika-nya itu. Tidak dengan Janu yang malah bermain ponsel.

Tak lama seseorang menarik kursi diantara meja keduanya. “Mohon maaf saya telat. Habis berdiskusi terlebih dahulu dengan beberapa guru yang tidak mengikuti rapat.” Itu bu Meta yang sejak tadi ditunggu-tunggu.

“Gak papa Bu,” balas Raga sedangkan Janu hanya mengangguk.

“Baik, tanpa membuang waktu. Lebih baik kita mulai evaluasi, materinya dimulai dari yang termudah dahulu.”

Disisi lain, Jesa yang baru saja terlelap tidak menyadari jika ada seseorang yang datang dengan sebuah pulpen ditangannya.

“Gue kerjain lo,” gumam orang itu tersenyum licik.

Orang itu mulai mencoret wajah putih Jesa dengan pulpen yang dibawanya. Tidak ada satu bagian pun yang terlewat, semuanya penuh dengan coretan hitam. Sebagai sentuhan terakhir, orang itu menggambar buaya di bagian kening Jesa.

“Gambaran gue bagus juga,” gumamnya bangga saat melihat hasilnya yang tidak terlalu buruk menurutnya.

Not bad.”






Selama dua jam itu mereka habiskan waktu untuk mempelajari materi-materi yang sebenarnya sudah pernah mereka pelajari.

“Pertemuan kali ini cukup sampai disini. Dan saya sarankan kalian harus sering belajar bersama seperti ini tanpa saya. Jangan kebanyakan diam saja jika sedang berdua. Dan saya harap, kalian berdua kesampingkan dulu sikap dan ego kalian yang sama-sama keras. Kali ini kalian harus bekerjasama jika ingin memenangkan olimpiade!”

“Saya pamit!”

“Hari Senin, kita belajar bareng lagi, dimana?” tanya Raga selepas bu Meta menghilang dari balik pintu perpustakaan.

“Rumah lo aja,” jawab Janu malas.

“JANGAN!” secara spontan Raga berteriak.

“Ckk, di cafe seberang sekolah aja.”

“Oke.”

Janu pergi meninggalkan Raga yang sedang membereskan buku-bukunya. Setelah dirasa tidak ada barang yang tertinggal, Raga berjalan kearah tempat Jesa menunggu. Suasana perpustakaan sudah sepi, sebab beberapa siswa yang tadi masih disana sudah pulang, tidak dengan penjaga perpus.

“Sa, bangun!” Raga mengambil buku yang menghalangi wajah Jesa. “HAHAHA,” lanjutnya tertawa keras saat melihat wajah Jesa.

Jesa terusik dengan suara tawa itu, terbukti dengan dirinya yang langsung membuka mata. “Kenapa sih lo?” tanyanya linglung.

“Bentar.” Raga mengambil ponsel disaku bajunya. “Nih, lo berkaca deh!”

Meski bingung, Jesa menuruti perkataan Raga. Setelah melihat pantulan wajahnya, matanya langsung melotot saat melihat wajahnya yang putih itu kini berubah menjadi hitam penuh coretan.

“MUKA GANTENG GUE KOK JADI GINI?!”

“Lo habis ngapain sih Sa? Kok bisa gitu?”

“Gue tadi cuma baca buku doang, karena suasananya yang enak adem. Gue jadi ketiduran.” Jesa terdiam sejenak. “Sial, pasti ada yang jahilin gue tadi.”

Tanpa basa-basi Jesa menarik tangan sahabatnya itu menuju ruangan CCTV. Siapa orang yang berani-beraninya menjahili dia. Kalau ketahuan akan dia ajak adu jotos itu orang.

“Pak Supri!” ucap Jesa saat melihat pak Supri yang akan memasuki ruangan CCTV.

“Nak Jesa dan nak Raga mau ngapain panggil saya?”

“Saya mau lihat CCTV yang memantau perpustakaan dong Pak.”

“Loh, untuk apa?”

“Saya penasaran siapa yang udah ngisengin saya Pak.” Jesa menunjuk wajah cemongnya.

Pak Supri mengangguk, sedikitnya dia tertawa saat melihat wajah Jesa. Mereka bertiga memasuki ruangan itu.






“Bener-bener minta dihajar ya itu orang,” gerutu Jesa saat mengetahui siapa dalang dibalik wajah cemongnya itu. Tangannya berusaha membersihkan coretan itu.

Jesa mendekatkan wajahnya pada kaca besar toilet. Memastikan apakah masih ada sisa-sisa pulpen di wajahnya atau tidak. “Untung ini pulpen, bukan spidol.”

Raga yang sedang bersandar pada dinding toilet memberikan tisu yang dipegangnya. Dirinya berdecak, “Buruan elah! Gue mau ke suatu tempat dulu habis ini.”

“Bentar,” balas Jesa membuang tisu bekasnya pada tempat sampah. Sekali lagi dia becermin.

“Yuk balik!”

_______________________________________________
To Be Continue

Kira-kira siapa yang udah ngerjain Jesa?

See you in the next chapter.

Terima kasih.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang