22 : Tak Bertahan Lama

1K 87 2
                                    

Happy Reading!




"Tunggu!"

Baru saja Raga akan beranjak dari halte, suara seseorang menginterupsi dirinya. Saat Raga menoleh, ia dibuat mengernyit sebab tak mengenal seorang lelaki yang usianya Raga perkirakan berkisar 24-25 tahun. Saat ini dengan entengnya memegang pergelangan tangannya.

"Lo Raga?" tanya seorang lelaki didepannya sembari menatap Raga dengan lekat, membuat Raga merasa risih juga takut.

"Iya," jawab Raga pelan. "Ada apa ya Mas?" lanjutnya berusaha menghilangkan perasaan risih dan takut yang masih melingkupinya.

Lelaki dihadapannya terlihat menghela napas lega, sebelum menjawab, "Enggak papa, cuma mastiin sesuatu aja."

"Mastiin sesuatu?" tanya Raga semakin dibuat kebingungan.

Lelaki tersebut tersenyum kecil. Mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin! Gue Jovandra Adiguna!"

"Kayaknya umur gue lebih tua dari lo, jadi lo bisa panggil gue Bang Jovan!"

Raga sempat tertegun saat mendengar nama depan dari pria di depannya, persis seperti nama abangnya yang telah tiada. "Abang," gumamnya yang terdengar samar di telinga lelaki yang ternyata bernama Jovandra tersebut.

"Sorry, lo bilang apa barusan?" tanya Jovan penasaran.

Raga tersadar, dirinya menggelengkan kepalanya pelan, tanda tidak bilang apa-apa, seraya membalas uluran tangan yang masih tersodor. "Seperti yang lo tahu, gue Raga."

Jovan menganggukkan kepalanya. "Salam kenal Raga, sebenarnya gue nyamperin lo, karena kemarin gue lihat lo di Olimpiade Fisika, lo yang jadi perwakilan sekolah SMA Gardapati kan?"

Raga mengangguk membenarkan.

"Gue alumni SMA Gardapati." Mendengar hal tersebut membuat Raga langsung berusaha mengingat-ngingat, setahunya tidak ada yang namanya Jovandra Adiguna deh.

"Gue udah lulus lima tahun yang lalu, jadi pasti lo gak bakalan tahu gue," ucap Jovan seraya terkekeh pelan saat melihat Raga yang tampak berpikir keras.

"Oh, pantesan gue gak pernah lihat lo sebelumnya Bang," balas Raga.

"Btw, lo kok belum pulang? Setahu gue sekolah udah bubar dari dua jam yang lalu? Kenapa? Nunggu jemputan?" tanya Jovan beruntun.

Raga terdiam sejenak sebelum menjawab, "Enggak nunggu jemputan kok Bang, tadi abis ke kafe seberang, terus sekarang mau pulang," jelasnya penuh kebohongan.

"Kebetulan sekarang gue juga mau pulang, sama gue? Lo pulangnya ke arah mana?" Raga lantas langsung menyebutkan tempat dimana dirinya tinggal. "Nah, kebetulan kita se arah, yuk bareng gue aja?"

Raga langsung menatap Jovan, merasa tidak enak. Pasalnya keduanya baru bertemu hari ini, sudah mau diantar pulang saja. "Gak papa kalau gue nebeng pulang?"

"Gak papa, kita kan se arah!" Jovan menepuk bahu Raga satu kali. "Gak usah merasa gak enak gitu."

"Karena, kedepannya kita bakalan terus ketemu," tambahnya bergumam sepelan mungkin, agar tidak di dengar oleh Raga.

Pada akhirnya, Raga mengangguk. Hari sudah semakin sore, angkutan umum sudah tidak ada yang berlalu lalang, ingin memesan ojek online pun Raga pikir-pikir kembali. Dan sekarang saat ada yang memberikan tumpangan, lebih baik Raga terima kan?


"Beneran sampai sini?" tanya Jovan saat Raga memintanya menghentikan mobil yang dikendarainya. Jovan memperhatikan rumah Raga yang tertutupi pagar.

"Iya, Abang mau mampir dulu gak?" tanya Raga berbasa-basi.

"Enggak deh, bentar lagi mau masuk waktu Maghrib, gue mau langsung pulang aja."

Raga mengangguk. "Kalau gitu, gue turun ya Bang, makasih tumpangannya." Raga menyalami punggung tangan lelaki disebelahnya.

"No problem," balas Jovan memperhatikan Raga yang sedang membenarkan tas dibahunya.

"Hati-hati, Bang!" ucap Raga setelah berdiri dekat pagar rumahnya, yang dibalas Jovan dengan klakson mobil sebelum mobil melaju meninggalkan area komplek perumahan tempat Raga tinggal.

Raga bersenandung kecil seraya membuka pagar rumah, dan menutupnya kembali setelah dirinya masuk. Ia dibuat terdiam saat melihat mobil ayahnya yang sudah terparkir di garasi. Itu artinya, ayahnya sudah pulang. Namun, mengapa tidak menjemputnya?

Tak mau terlalu di pikirkan, mungkin saja ayahnya lupa dengan janjinya yang akan pulang bersama. Raga memilih melanjutkan langkahnya.

"Assalamu'alaikum!" ucapnya pelan seraya membuka pintu utama.

"Wa'alaikumsalam!" balas seseorang dari dalam, ternyata bi Munasih.

Raga menyalami tangan bi Munasih. Bi Munasih balas dengan usapan pelan di pundaknya. "Ayah, pulang dari kapan Bi?" tanyanya.

"Dari tadi siang Den, kenapa?" bi Munasih bertanya balik diakhir jawabannya.

"Enggak, cuma nanya aja Bi," jawab Raga. "Kalau gitu, Raga masuk ke kamar Raga dulu ya!" pamitnya.

"Silahkan Den!"


Malamnya, Raga hanya bisa dibuat pasrah dengan ayahnya yang kembali bersikap dingin dengannya. Sikap hangatnya tak bertahan lama. Padahal ia berharap, ayahnya berubah. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Salahnya sendiri terlalu berharap.

"Pulang jam berapa kamu?" tanya Julian dingin setelah selesai dengan sesi makan malam mereka.

"Jam setengah enam Yah," jawab Raga menundukkan kepalanya.

"Habis darimana dulu? Sudah mulai berani keluyuran kamu?" tanya Julian menatap Raga penuh intimidasi.

"Tadi, Raga nungguin Ayah," cicit Raga menjawab pelan.

"Ngapain nungguin saya?"

"Ayah yang bilang sama Raga sebelumnya, kalau kita bakalan pulang bareng. Makanya Raga nunggu Ayah! Raga juga sudah chat Ayah, tapi gak Ayah balas chatnya."

Julian yang mendengar penjelasan dari putranya tertegun. Seingatnya, seharian ini ia tak membuka aplikasi chatting dalam ponselnya, sebab dirinya dibuat pusing dengan ulah salah satu karyawannya yang ternyata melakukan kecurangan di perusahaannya. Dengan menjual database perusahaan kepunyaannya pada pesaingnya.

Hal tersebut, membuatnya harus disibukkan dengan pekerjaannya yang menjadi berlipat ganda, akibat kecurangan karyawan tersebut yang sekarang sudah dirinya pecat dari perusahaan

Untungnya kecurangan tersebut tak berselang lama, sebab langsung diketahui oleh sekretarisnya, sehingga bisa cepat diatasi. Jika tidak, bisa-bisa perusahaan yang ia bangun dari nol itu akan mengalami kerugian, bisa saja perusahaannya mengalami gulung tikar.

"Saya minta maaf," ucapnya pelan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun dalam nada yang diucapkannya.

_______________________________________________
To Be Continue

Terima kasih!

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang