Happy Reading!
•
•
•
•Detik demi detik, menit ke menit, jam demi jam, hari ke hari hingga sudah berbulan-bulan lamanya terlewati.
Dan esok hari, merupakan tepat hari kelulusan Raga, Jesa, Janu, Rangga dan Josep. Beserta teman-teman seangkatannya di SMA Gardapati.
Di kamarnya, Raga saat ini sedang mempersiapkan segala keperluannya untuk wisuda besok, dimulai dari celana bahan berwarna hitam, kemeja putih, jam hitam, sepatu pantofel dan dasi berwarna senada dengan jas yang nanti akan dikenakannya.
Kenapa tidak minta disiapkan bi Munasih saja? Tidak perlu, bi Munasih jam segini sudah pulang kembali ke rumahnya, lagipula Raga bisa sendiri, jadi mengapa harus merepotkan orang lain?
Selesai dengan keperluannya, Raga memilih untuk berjalan kearah balkon kamarnya yang kebetulan belum Raga kunci pintunya, ia menduduki kursi kosong disana.
"Huh, gue udah mau lulus sekolah aja," gumamnya disertai hembusan napas yang terasa lega.
"Perasaan, baru kemarin deh gue ikut MOS terus ketemu sama si Jesa."
"Baru kemarin juga gue kemusuhan sama si Janu."
Berbicara mengenai sahabat, Raga merasa senang sekali sebab selalu bersama dengan mereka. Janu dan Rangga yang sudah semakin akrab dengan dirinya, Jesa, Josep, Kenzo dan Jean. Dibandingkan menyebutnya sahabat Raga bahkan sudah menganggap mereka sudah seperti saudara untuknya yang selalu merasakan kesepian. Kebersamaan yang mereka ciptakan membuat Raga selalu merasa senang, walaupun hanya saat bersama sahabat dan abangnya saja ia senang.
Untuk abangnya, Jovan. Hingga saat ini abangnya belum pernah bertemu dengan ayahnya secara langsung. Saat Raga bertanya pun Jovan selalu menjawab belum siap. Bukti yang dia punya belum banyak. Padahal kan Raga sudah yakin jika ayahnya pasti akan menerima Jovan dengan sukarela.
Raga berdiri dari posisi duduknya, ia menumpukan kedua tangannya pada teralis balkon. Kepalanya mendongak keatas, kedua netranya menatap indahnya bulan yang malam ini nampak ditemani ribuan bintang.
Seutas senyum kecil tersungging dari bibir Raga saat mendapati salah satu bintang yang terlihat paling bersinar diantara bintang lainnya yang redup.
"Ibu," ucapnya pelan. "Raga tiba-tiba kangen Ibu," tambahnya masih dengan senyuman kecil yang terpatri.
"Bu, besok Raga udah wisuda. Raga lulus Bu, dan nanti bisa kuliah di universitas impian Raga."
"Ibu, bagaimana cara supaya Ayah seperti dulu lagi sama Raga? Seperti saat Ibu masih bersama Raga."
"Karena jujur, Raga rindu pelukan Ayah. Raga ingin diusap kepalanya oleh Ayah, Raga juga rindu sikap hangat Ayah."
Raga semakin mendongakkan kepalanya, berusaha menghalau air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya, yang sedetik saja dirinya berkedip pasti akan langsung terjun bebas dari kedua nayanikanya itu.
Sejak hari terakhir dimana dirinya ketahuan pernah berpacaran, dan obrolan keduanya yang penuh keseriusan itu. Ia dan Ayahnya menjadi jarang berbicara, saat berbicara pun hanya seperlunya.
"Ibu, kalau Raga susul Ibu. Ibu senang gak?" lanjutnya sarat akan sesuatu yang entah mengapa membuat Raga merasakan sakit.
Tak mau terlalu berlarut-larut dalam kesedihan tak berujung itu, Raga memutuskan untuk kembali memasuki kamarnya, bersiap untuk tidur.
Raga merebahkan tubuh ke kasur, kedua tangannya ia letakkan dibelakang kepalanya, sedangkan pandangannya tertuju kearah plafon kamarnya. Lama-lama ia mulai memejamkan matanya, mencoba memasuki alam mimpi.
Karena, besok menjadi salah satu hari terpenting bagi Raga. Hari dimana dirinya akan keluar dari lingkaran masa remajanya dan memulai mempersiapkan diri untuk lingkungan pendidikan yang baru, mungkin juga tekanan yang baru? Entahlah, Raga tak mau memikirkan terlalu jauh.
Baru beberapa menit memejamkan mata, Raga kembali membuka matanya. Ia menghela napas saat tak kunjung tertidur. Matanya melirik salah satu laci disebelahnya, laci yang isinya obat tidur yang sering ia minum beberapa bulan yang lalu.
Ingin meminumnya, namun dirinya sudah di wanti-wanti oleh Trista supaya tidak keseringan mengonsumsi obat tidur itu. Lagipula, ia sudah berjanji. Karena bagaimanapun, Raga juga tidak mau menjadi ketergantungan dengan obat tidur.
Jadi, alih-alih mengambil obat di laci tersebut, Raga lebih memilih kembali memejamkan matanya.
•
•Baru saja Raga memasuki area sekolah, ia harus dibuat terkejut dengan seseorang yang datang dari arah belakangnya, lalu tiba-tiba saja merangkul dirinya.
Raga menoleh, ternyata sahabatnya.
"Ganteng banget lo Ga!" ucap Jesa dengan setelan yang sama dengan Raga. Sebuah jas hitam, celana bahan hitam juga sepatu pantofel.
"Iya dong, Raga gituloh!" balas Raga seraya menepuk dadanya beberapa kali. Lihat semalam saja, raut itu murung. Sekarang, di dekat sahabatnya raut itu hilang, disembunyikan lebih tepatnya.
"Om Julian datang kan ke wisuda lo?" tanya Jesa memastikan.
Raga mengedikkan bahunya dengan santai. "Gak tahu, tadi sih sebelum berangkat gue sempet bilang ke Ayah. Kalau datang syukur, gak juga gak papa."
Jesa menatap sahabatnya dengan pandangan sedih, setelah mengetahui kehidupan menyedihkan yang dijalani Raga, baik Jesa maupun sahabatnya yang lain tak pernah absen menanyakan perihal yang berkaitan dengan dirinya maupun ayahnya. Seperti, gimana hari ini? Hari kemarin? Apakah berjalan dengan baik?
Dulu sih Raga sempat merasa tak nyaman, karena bagaimanapun itu merupakan kehidupannya yang tak mau dirinya perlihatkan. Namun, lama-kelamaan Raga sadar, mereka itu peduli padanya, makanya terus seperti itu.
Dan mengetahui hal tersebut, Raga dibuat terharu. Dibalik kisah keluarganya yang suram, percintaannya yang gagal, ternyata ada kisah persahabatannya yang berjalan mulus.
Setidaknya, Raga mempunyai alasan untuk dirinya bertahan dan mencoba kuat.
•
•"Rame banget ya," celetuk Jean pada abang beserta sahabatnya saat melihat banyaknya keluarga dari murid-murid kelas 12 SMA Gardapati yang menghadiri acara kelulusan hari ini.
Jesa yang terduduk di samping kirinya, sedang Raga di samping kanannya, Kenzo yang berada di samping Raga, Janu di samping Kenzo, Rangga disamping Jesa, lalu Josep di samping Rangga.
"Iyalah, pasti rame. Namanya juga acara kelulusan Je," sahut Raga yang diangguki oleh Jean.
"Bener juga," gumamnya.
Mereka beserta murid-murid lainnya sedang mendengarkan bapak kepala sekolah yang sedang menyampaikan pidato singkatnya tentang hari kelulusan ini di depan sana.
_______________________________________________
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Piala untuk Ayah ✓
Fanfiction[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanyalah Ayah? __________________________________________ "Maaf, belum bisa membuatmu bangga. Namun, bole...