09 : Hari Minggu Kelabu

977 63 1
                                    

Happy Reading!



Raga sudah sampai di rumah, bahkan sekarang dirinya sedang berbaring di kasur empuknya. Matanya menatap plafon kamarnya, pikirannya menerawang pada kejadian tak senonoh tadi. ceweknya benar-benar tidak punya otak atau bagaimana sih? Sudah tahu punya pacar, tapi malah berselingkuh dengan cowok lain. Ditambah tadi berciuman, hell. Bahkan selama berjalan dengan dirinya, mereka tidak pernah skinsip sampai sejauh itu, paling mentok hanya pegangan tangan saja.

Seharusnya Raga sadar, jika sedari awal Tania menerima dirinya bukan karena cinta, melainkan keterpaksaan atau hanya sebuah pelampiasan sebab saat itu Tania baru putus dari cowoknya.

Sepertinya besok, Raga harus bertemu dengan Tania. Menyelesaikan hubungan yang sudah tidak bisa dijalani lagi.

“Goblok banget gue,” gumam Raga mencemooh dirinya sendiri, disertai dengan kekehan ringan,  sembari memejamkan mata, mencoba terlelap.

10 : 00 AM.

Usai berbalas pesan dengan Tania, perihal mereka yang akan ketemuan di sebuah taman dekat rumahnya. Raga mengambil hoodie biru kesukaanya, tak lupa dengan topi. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, Raga keluar rumah setelah meminta izin untuk pergi sebentar pada bi Munasih yang sedang menjemur pakaian.

Raga berjalan santai, sesekali kakinya melangkahi genangan air hujan yang masih menyisakan genangan. Tadi saat Subuh, hujan kembali mengguyur kota Jakarta, dan untungnya hujan itu berhenti pada pukul tujuh pagi.

Saat sudah sampai di tempat tujuannya, ternyata Tania sudah terlebih dahulu berada di sana. Raga menghampiri.

“Kamu dari tadi?” tanya Raga, wajahnya mencoba memberikan senyuman terbaiknya, seolah tidak terjadi apa-apa.

Tania membalas senyuman itu. “Enggak kok, aku baru sampai. Sini duduk!” ia menepuk sisi sebelahnya yang kosong, yang langsung Raga turuti.

Setelah itu keheningan melanda. Raga dan Tania sama-sama menatap ke depan. Raga yang sedang menyiapkan hatinya, sedangkan Tania sedang menunggu pemuda disebelahnya untuk bersuara.

“Tan!” panggil Raga.

Tania menoleh pada Raga yang masih memandang lurus ke depan. “Apa?”

“Ayo putus!”

“Kenapa minta putus?”

Masih nanya lagi, dasar cewek bego, batin Raga kesal. Maafkan Raga! Kalau sedang kesal setengah mati, dia memang seperti itu.

“Gak papa, gue ngerasanya hubungan yang kita jalanin selama ini penuh dengan keterpaksaan dan kebohongan.”

“Maaf kalau gue dulu sering ngedeketin lo, ngebuat lo risih dan terpaksa nerima pernyataan cinta gue. Dan makasih udah pernah memberi warna di hidup gue walaupun hanya warna hitam dan putih, gue seneng.” Setelah mengatakan itu, Raga pergi tanpa sedikitpun menoleh pada Tania yang sedang menatapnya dengan pandangan dalam dan sulit diartikan.






Setelah pergi dari hadapan Tania, Raga bernapas pelan. Dirinya merasa lega sekarang, sebab sudah memutuskan Tania. Kakinya sesekali menendang batu-batu kerikil kecil dibawah kakinya.

"Gue kira, kisah percintaan gue akan berjalan lancar, ternyata malah sebaliknya," gumam Raga.

"Bener-bener hari Minggu kelabu," lanjutnya nelangsa.

Berbicara mengenai tempat, saat ini Raga sedang berada disebuah bukit yang tak jauh dari rumah bi Munasih. Dulu saat berkunjung ke rumah bi Munasih dengan ayahnya, untuk menjenguk suaminya yang sedang sakit. Dirinya yang penasaran langsung berjalan kesini, sebuah bukit indah yang masih dikelilingi pepohonan hijau. Mulai saat itu hingga sekarang, Raga menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk dirinya sekedar menenangkan pikirannya.

“Kak Raga!” panggilan itu membuat Raga membuka mata, dirinya menoleh pada sumber suara. Itu Laras, putri semata wayang bi Munasih.

Laras berjalan cepat kearah Raga. “Kakak apa kabar?” tanya remaja berusia dua belas tahun itu antusias

Raga tersenyum kecil, bibrnya menjawab, “Alhamdulillah baik, kalau kamu apa kabar?”

“Laras baik Kak.”

“Syukur kalau gitu.”

“Kakak ngapain kesini? Pasti lagi galau ya? Kakak habis putus cinta ya?” Laras menunjuk-nunjuk wajah Raga.

“Masih bocil, tapi udah tahu cinta-cintaan,” balas Raga heran. “Laras tahu dari siapa?”

“Dari temen-temenku yang udah punya pacar,” balas Laras polos.

“Hah?” wajah Raga melongo. “Temen-temen SD kamu sudah pada punya pacar?”

Laras mengangguk heboh. “Iya, Laras juga sekarang lagi deket sama temen cowok Laras,” jelasnya polos.

Raga menepuk dahinya pelan. “Laras gak boleh pacaran dulu, masih kecil. Gak baik!”

“Loh kenapa tidak boleh? Tapi temen-temen Laras kok boleh pacaran?”

Raga menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal. Aduh, ini gimana cara ngejelasinnya, batinnya bingung.

“Ya pokoknya, Laras gak boleh pacaran dulu.”

“Laras mau es krim gak?” lanjutnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

Mendengar kata es krim, mata Laras langsung berbinar. “Mau-mau,” jawabnya gembira.

“Yaudah, yuk turun dari sini! Kita beli es krim di supermarket.”

Keduanya turun dari bukit tersebut, Laras berlari kearah ayahnya yang sedang menyapu halaman. “Ayah, Laras mau pergi membeli es krim dengan Kak Raga boleh?”

Ayah Laras mendongak, dirinya tersenyum pada anak majikannya, sedangkan Raga langsung menyalami tangan ayah Laras.

“Raga, bawa Laras sebentar ya Pak, gak papa kan?” tanyanya meminta izin.

“Tidak papa Den Raga, bawa saja. Dia juga sedari tadi merengek pada saya ingin ke Ibunya,” balas ayah Laras memberikan izin.

“YEAY.” Laras memekik senang saat mendengar jawaban ayahnya. Bocah perempuan itu dengan semangat yang membara menarik tangan Raga, mengajaknya untuk berlari. Raga sempat mengangguk sebentar pada ayah Laras, yang pastinya dibalas juga oleh lelaki paruh baya itu.

Ayah Laras yang melihat kelakuan putri semata wayangnya hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. “Anak itu, tak sabaran sekali.”

_______________________________________________
To Be Continue

Raga single sekarang, ada yang mau sama dia? Hehe, aku promosiin dia supaya gak sendiri menikmati pahitnya hidup, anjay!

Jangan lupa voment, juseyo!

See you.

Terima kasih.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang