Assalamu'alaikum! Halo semuanya!
Kalau dihitung dari tanggal up terakhir, aku udah gak up selama 21 hari, mohon maaf semuanya. Ada beberapa kendala yang membuat aku gak bisa up ini cerita.
Oh iya, sebelumnya mau ngucapin Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Minal Aidzin Walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin ya!
Oke, sekarang aku update kembali cerita ini. Kalau lupa sama jalan ceritanya, bisa dibaca ulang, hehe.
Happy Reading!
•
•
•
•Raga terbangun dari pingsannya, dirinya mengerjapkan matanya pelan mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk pada rentina matanya. Ia meringis pelan saat merasakan pusing di kepalanya, juga sakit dibagian perut kanannya.
Telapak tangannya meraba-raba wajahnya yang terdapat beberapa plester luka disana. Raga mencoba terbangun dari posisi berbaringnya, matanya melirik pada meja nakas, saat melihat segelas teh, dirinya langsung mengambilnya, lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Bertepatan dengan itu bi Munasih datang dengan membawa nampan berisi sepiring nasi beserta lauk-pauknya, tak lupa segelas air putih.
“Eh, Den Raga sudah bangun?” Raga menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban.
“Sekarang jam berapa Bi?” tanya Raga.
“Jam tujuh malam Den,” jawab bi Munasih.
“Raga ketinggalan waktu sholat magrib dong,” sesal Raga.
Bi Munasih yang mendengar itu tersenyum kecil. “Aden kan bisa menggantinya di lain waktu,” ucapnya memberikan solusi. “Sekarang Aden makan dulu ya.” Bi Munasih meletakkan nampan tersebut di pangkuan Raga.
Raga yang memang perutnya sudah keroncongan langsung melahap makanannya. Saat sudah menelan suapan pertamanya, dirinya bertanya dengan penasaran pada bi Munasih. “Yang bawa Raga kesini siapa Bi?” tanyanya.
“Temen Aden,” balas bi Munasih. Dahi Raga mengerut, teman yang mana? Pikirnya, lalu kembali memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. “Namanya Den Janu.”
Mendengar nama yang disebutkan, Raga langsung terbatuk kencang. Sontak saja bi Munasih langsung memberikan segelas air putih pada Raga.
“Pelan-pelan Den,” ucapnya mengusap lembut punggung Raga.
“Makasih Bi.” Raga memberikan gelas yang dipegangnya. Kalau Janu yang membawanya ke kamar, jangan-jangan Janu juga melihat kejadian penamparan yang ayahnya lakukan pada dirinya? Yang jadi pertanyaan, mengapa harus musuhnya yang melihat? Mengapa bukan orang lain saja? Ah sudahlah, Raga terlalu pusing untuk memikirkannya.
“Aden lanjutin makannya ya, Bibi mau kembali ke dapur!” pamit bi Munasih seraya menutup pintu kamar Raga pelan.
•
•
•
•
•
•Di sebelah kamar Raga, lebih tepatnya kamar ayahnya, Julian Kalandra. Terasa begitu hening, pemilik kamar yang sedang duduk di sisi ranjangnya itu hanya terdiam memandangi kedua tangannya.
Julian menatap kedua tangannya lamat-lamat, tangan yang ia gunakan untuk memukul dan menampar putranya sendiri. Ada sedikit raut sesal dari wajah lelaki paruh baya itu, yang ia coba sembunyikan. Namun, sekeras apapun ia menyembunyikannya, raut sesal itu nampak terlihat jelas.
Dalam hatinya yang terdalam, Julian merasa bersalah dan menyesal telah berlaku kasar pada putra kandungnya sendiri. Namun, Julian seolah buta dan tak merasakan kedua rasa itu, kejadian yang menimpa istri dan putra sulungnya di masa lalu selalu menghantuinya, layaknya sebuah kaset rusak yang terus berputar di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piala untuk Ayah ✓
Fanfiction[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanyalah Ayah? __________________________________________ "Maaf, belum bisa membuatmu bangga. Namun, bole...