08 : Nongkrong

1K 72 4
                                    

Happy Reading!



Raga yang baru saja menutup pintu rumahnya, dikagetkan dengan sebuah tepukan pelan di bahunya. Saat Raga berbalik, ternyata bi Munasih yang sedang memegang kemoceng, sembari menatapnya heran.

Kirain Ayah, batinnya merasa lega.

“Aden teh habis darimana pagi-pagi gini?” tanya bi Munasih.

Raga sempat berpikir sebentar untuk menjawab, “Raga habis olahraga pagi Bi.” Tidak mungkinkan dirinya berterus terang jika dirinya habis dari club, yang ada nanti bi Munasih malah mengadu lagi ke ayahnya.

Dahi bi Munasih mengerut heran. Saat mendengar jawaban dan melihat penampilan Raga. “Masa olahraga pagi pakai celana jeans sih Deh? Memangnya olahraga pakai celana jeans nyaman?” tanyanya, biasanya kan kalau orang olahraga itu pakai celana trenning atau celana yang sekiranya nyaman.

Raga menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya bergulir ke kanan dan kiri, tanda orang yang sedang gugup. Lalu dirinya cengengesan tak jelas. “Hehe, nyaman kok Bi. Bibi gak tahu ya olahraga pakai celana jeans itu kan style baru Bi?”

“Oh ya? Bibi baru tahu Den. Berarti memang Bibi yang sudah ketinggalan banyak ya tentang tren anak muda zaman sekarang.”

“Nah itu.” Raga menjentikkan jarinya. “Kalau begitu karena ini masih pagi, Raga mau tidur lagi ya Bi sebentar. Bibi nanti bangunin Raga jam delapan ya Bi.”

“Oke Den.” Bi Munasih pergi, meninggalkan Raga yang sedang mengelus dada disertai helaan napas pelan.

Aman gue, batinnya.

Raga kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar, sesekali tangannya memijat pelan keningnya yang masih merasa pening, sebab alkohol yang dia minum tadi malam. Tidak mau-mau lagi dirinya pergi kesana, mana tadi ia juga bertemu dengan musuhnya lagi. Bagaimana kalau Janu menceritakannya pada bu Meta? Bisa gagal dia untuk ikut olimpiade Fisika, dan berakhir dirinya yang dimarahi sang ayah nantinya.

Ah sudahlah, daripada memikirkan itu, lebih baik Raga tidur saja, guna menghilangkan rasa peningnya.






Sesuai dengan permintaannya tadi, bi Munasih benar-benar membangunkan Raga tepat pukul delapan. Saat ini dirinya sedang melangsungkan sarapan ditemani dengan bi Munasih yang sedang mencuci peralatan bekas memasak di dapur. Raga sudah menawari bi Munasih agar makan bersama, namun bi Munasih menolak dengan halus karena dirinya sudah makan. Jadi mau tak mau Raga sarapan sendiri.

“Ayah kapan pulangnya Bi?” tanya Raga saat akan mencuci piring bekas dirinya makan. Pada bi Munasih yang saat ini sedang mengepel lantai dapur.

“Kata Tuan saat di telepon, nanti Den, hari Senin.” Raga mengangguk.

“Sini Den piringnya, biar Bibi yang cuci.” Bi Munasih mencoba mengambil piring kotor dalam genggaman tangan Raga.

“Gak usah Bi, biar Raga aja yang cuci. Cuma satu ini doang kok,” balas Raga, tangannya meraih spon dan sabun cuci piring. “Bibi lanjutin aja ngepel lantainya.”

“Yasudah, Aden kalau butuh apa-apa panggil Bibi ya. Bibi mau mengepel lantai depan dahulu.”

“Iya Bi.”

Raga mengelap tangannya dengan tisu, tangannya mengambil ponselnya yang berdering. Ternyata sahabat bobroknya, Jesa. Raga lantas menerima panggilan tersebut.

“Kenapa?”

“Lo dimana?”

“Di rumah lah, dimana lagi? Mau ngapain lo telepon gue?”

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang