03 : Seleksi

1.5K 83 2
                                    

Happy Reading!



Tepat pukul tujuh pagi, Raga sudah sampai di depan kelasnya. Saat akan masuk, seseorang dari belakangnya berteriak.

“Woy!”

Raga menoleh, ternyata sahabatnya, Kajesa Argawinata atau orang biasa memanggilnya Jesa.

“Baru sampai lo? Tumben? Biasanya lo paling pagi kalau datang?” tanya Raga beruntun.

Plak

“Aws.” Sebuah geplakan Raga terima.

“Satu-satu nanyanya ege, lagian gue udah sampai sekolah dari tadi. Tapi habis ngapel bentar ke kelas sebelah.”

Raga mendengus. “Masih aja lo ngejar dia, disaat lo tahu kalau dia udah punya pacar.”

“Ya gak papa dong. Selama janur kuning belum melengkung, dia masih bisa gue tikung.” Jesa menaik turunkan alisnya.

“Dasar sinting.”

“Hari ini ada seleksi buat ikut olimpiade kan?” tanya Jesa saat mereka sudah terduduk di tempat mereka.

Raga mengangguk.

“Olimpiade apa?”

“Fisika.”

“Lo mau ikut?”

“Pastinya, gue gak mau kepintaran gue sia-sia,” balas Raga sombong yang padahal dalam hati dia sedang tidak ingin ikut ajang kejuaraan apa-apa.

“Halah, belagu lo setan.”






“Lo beneran mau nungguin gue?” tanya Raga kesekian kalinya pada Jesa.

“Iya, lagian gue juga bosen di rumah.”

“Yaudah, lo tunggu disini. Gue masuk!”

“Semangat lo!”

Mereka saat ini sedang berada di depan pintu masuk ruang khusus seleksi olimpiade. Alasan mereka sedikit berargumen karena Jesa yang ngotot ingin menunggu Raga.

Raga sebenarnya sudah menyuruh sahabatnya itu pulang saja daripada harus bosan menunggu sendirian. Namun Jesa menolak dengan alasan jika langsung pulang pasti di rumahnya sepi, karena kedua orang tuanya yang sibuk bekerja.

“Eh ada si cupu disini.” Celetukan itu membuat Jesa yang sedang memainkan ponsel mendongak.

Didepannya berdiri dua orang pemuda sepantaranya. Januari Jefriansyah dan Rangga Sebastian, orang yang tadi berceletuk itu Janu.

Mereka berdua adalah orang-orang yang selalu mencari masalah dengannya dan Raga. Entahlah apa kesalahannya hingga membuat kedua orang didepannya ini selalu bersikap sinis setiap kali bertemu.

“Cih, hama,” balas Jesa pelan.

“Apa lo bilang?!” Janu yang terbawa emosi kelepasan berteriak.

“Apa?” tantang balik Jesa.

“Udah lo sana masuk! Dia biar gue yang urus.” Rangga mendorong Janu memasuki ruangan seleksi. “Good luck!”

Selepas kepergian Janu, Rangga duduk di kursi disebelah Jesa.

“Apa lo?” tanya Rangga sewot saat mendapat lirikan dari Jesa. Yang Jesa balas dengan gedikkan di bahunya.

Satu setengah jam berlalu, semua yang murid yang mengikuti seleksi keluar, termasuk Raga dan Janu yang saling bertatapan tajam.

Jesa menghampiri Raga. “Gimana hasilnya? Lo kepilih gak?” tanyanya.

“Kepilih,” balas Raga singkat.

Partner lo di olimpiade ini siapa? si Olivia lagi?”

“Bukan.”

“Terus siapa?”

“Janu,” jawab Raga kesal.

What?!”

Disisi lain, Rangga juga menanyakan hal yang hampir sama pada Janu dan jawaban dari Janu tentang siapa partnernya membuat Rangga berteriak.

“KOK BISA?!”

Rangga kaget, pikirannya membayangkan bagaimana sahabatnya itu harus menjadi partner dari musuhnya sendiri. Pasti nanti kebanyakan berselisih, daripada bekerjasama.

Sebenarnya alasan utama Raga dan Janu bermusuhan itu karena mereka berdua selalu memperebutkan poisi paling pertama di kelasnya, ya mereka memang sekelas. Mereka memperebutkan hal apapun, baik di akademik maupun non akademik.

Bahkan nilai ulangan sekalipun akan mereka perdebatkan siapa yang paling besar. Terdengar kekanak-kanakan memang, namun itulah kenyataannya. Dan itu terjadi sejak mereka kelas sepuluh, hingga sekarang mereka sudah kelas dua belas.

Sebagai sahabat yang baik. Jesa dan Rangga hanya mendukung kubu masing-masing, hingga akhirnya mereka pun menjadi bermusuhan.

Dan warga sekolah pun sudah tahu dan sudah biasa. Setiap Raga, Jesa, Rangga dan Janu bertemu pasti akan terjadi keributan. Yang nantinya akan membuat mereka mendapatkan ultimatum gratis dari guru.

Dan dimulai dari hari ini, hingga hari dimana olimpiade itu di selenggarakan. Mereka harus terus belajar bersama hingga benar-benar siap untuk kejuaran kali ini. Yang artinya mereka harus buang jauh-jauh dahulu sikap kemusuhan mereka.

“Udahlah, yuk balik!” ajak Raga yang merasa lelah.

Jesa menyusul Raga yang sudah berjalan jauh didepanya. Setelah langkahnya sejajar dirinya bertanya, “Sumpah, gue speechles banget pas denger siapa partner lo kali ini. lo beneran gak bohong?”

“Beneran elah, ngapain gue bohong. Jangan dibahas lagi, gue jadi badmood!”

“Kayak cewek aja lo,” cibir Jesa.

“Diem lo!”






Jesa menghentikan motornya di depan pagar rumah Raga.

Thank bro!” ucap Raga saat turun dari motor.

“Yoi,” balas Jesa.

Suara decitan pagar yang terbuka mengalihkan keduanya. Ternyata ayah Raga.

“Eh Om, apa kabar Om?” tanya Jesa menyapa disertai dengan senyuman sopan.

“Baik,” balas ayah Raga singkat.

“Ga, gue pamit,” pamitnya pada sahabat. “Om, saya pamit pulang ya!” lanjutnya.

“Hm.”

“Gimana seleksinya? Kamu lolos?” tanya ayah Raga selepas kepergian Jesa.

“Lolos Yah,” jawab Raga singkat, kepalanya menunduk.

“Bagus! Saya gak mau tahu, kamu harus menang dan bawa piala. Mulai hari ini, Jangan kebanyakan main, belajar yang rajin!”

Raga mengangguk.

Selalu seperti itu.

Lagi-lagi yang dirinya dapatkan hanya,

Tuntutan

Dan

Tekanan.

 
_______________________________________________
To Be Continue

See you in the next chapter

Terima kasih

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang