15 : Interogasi

860 64 0
                                    

Happy Reading!



Di koridor sekolah, Jesa yang baru saja datang bersama adeknya, Jean. Sedang melancarkan aksinya, yaitu menggoda beberapa siswi yang tengah mengobrol atau sekedar membaca buku sembari menunggu bel masuk.

"Pagi Fara, makin hari makin cantik aja."

"Hai Dara, gue udah lama banget gak lihat lo, lo makin imut ya."

"Sarah, lo apa kabar? Makin anggun aja lo."

"Halo Bertha, lo semakin feminim aja ya."

Kira-kira begitulah celetukan yang terlontar dari belah bibir Jesa, Jean yang berjalan disebelah sang kakak hanya mampu menundukkan kepala malu, sembari beberapa kali berdecak, "Dasar perayu ulung."

"Gue duluan Bang!" pamit Jean saat sudah dekat dengan kelasnya.

"Hm," balas Jesa yang masih fokus dengan menggoda beberapa siswi SMA Gardapati.

Ketika semakin dekat dengan kelasnya, Jesa menghentikan langkah kakinya. Saat di depannya dia melihat Sherly, sosok cinta pertamanya yang sedang asik mengobrol dengan Ethan, kekasih Sherly sendiri. Mereka berdua terlihat begitu fokus mengobrol, hingga tak menyadari jika ada yang memperhatikan.

Jesa mengelus dadanya dramatis. "Pagi-pagi, udah dibikin sakit hati aja," gumamnya.

"Karma is real," sahut orang di belakang Jesa, itu Rangga, yang baru saja tiba. Dengan sengaja saat melewati Jesa dirinya menabrak bahu Jesa sedikit kencang.

"Kirmi si riil," cibir Jesa saat mendengar ucapan Rangga. "Sok tahu banget itu orang," dumelnya kesal. Lalu berjalan memasuki kelas dengan sedikit kasar.

Saat sudah sampai dibangkunya, Jesa langsung duduk. Keningnya mengernyit heran saat melihat sahabatnya yang sepertinya sedang tertidur. Yang membuat dirinya heran adalah penampilan Raga yang begitu tertutup.

Jesa menoel bahu temannya yang kebetulan duduk di depan bangkunya. Teman yang tadi sempat mengobrol dengan Raga saat piket kelas. "Dia dari tadi datangnya?" tanya Jesa berbisik.

"Iya, dia dari tadi pagi," balas teman sekelasnya berbisik juga.

"Tumben," gumam Jesa. Dirinya melirik pada jam dinding di dekat jendela, sebentar lagi bel masuk berbunyi, ia mencoba membangunkan Raga dengan cara menarik tudung hoodie yang dikenakan Raga, lalu mengguncangkan tubuh sohibnya. "Bangun Ga! Bentar lagi bel masuk."

Raga yang terganggu langsung terbangun, ia membuka tudung hoodinya, namun tidak dengan maskernya.

"Tumben lo pagi-pagi tidur? Lo lagi sakit?" tanya Jesa yang Raga balas dengan gelengan kepala. Kemudian Raga membuka maskernya, yang membuat wajah Jesa melotot saat melihat beberapa plester luka di wajah Raga. "Muka lo kenapa?" lanjutnya bertanya.

"Jatuh di kamar mandi," balas Raga yang tentu saja sebuah kebohongan.

"Lo bohong ya?" Mata Jesa memicing menatap penuh selidik pada Raga.

"Ngapain gue bohong Kajesanjing?" balas Raga santai.

"Lo ya yang anjing," balas Jesa sengit. "Buruan deh lo jelasin sejujur-jujurnya kenapa muka lo bisa penuh luka kayak gitu? Kalau cuma jatuh dari kamar mandi gak mungkin sampai banyak gitu lukanya."

"Sebenernya gu---"

Kring-kring

"Nah tuh bel udah bunyi, Bu Nasya juga udah masuk tuh." Raga menunjuk pada pintu kelas yang baru saja dimasuki oleh seorang guru wanita paruh baya. Tanpa sepengetahuan sahabatnya, Raga bernapas lega saat mendengar suara bel, juga saat bu Nasya masuk. Itu artinya dia tidak perlu menjelaskan apapun pada Jesa.

"Ckk, bel sialan," umpat Jesa. "Lo hutang penjelasan sama gue, bakalan gue tagih penjelasan lo nanti pas jam istirahat. Lo jangan coba-coba menghindar!"

"Iya," balas Raga berdecak sebal sembari memutarkan bola matanya malas.






"Ckk, wajah ganteng gue bonyok," gumam Raga saat melihat pantulan wajahnya di cermin toilet sekolahnya. Tadi, tepat saat bel istirahat berbunyi dirinya langsung berlari ke toilet sebab tak bisa lagi menahan kencing.

Kedua tangannya bertumpu pada westafel, matanya menatap dengan tatapan menerawang. "Gue ke warung belakang aja ah, males banget harus ngejelasin kejadian semalam ke si Jesanjing," monolognya seraya menyalakan kran air di hadapannya, ia mulai membasuh wajahnya yang terlihat kusam dan penuh luka dengan hati-hati.

Sebelum keluar dari toilet, Raga terlebih dahulu menyebulkan kepalanya, memeriksa. Apakah di luar ada Jesa atau tidak. Siapa tahu kan sahabatnya itu menyusulnya kemari. Saat melihat tidak ada tanda-tanda adanya Jesa, secara perlahan Raga membuka pintu toilet lebar-lebar. Saat kakinya baru lima kali melangkah, kerah bajunya tiba-tiba ditarik seseorang.

"Lo mau kemana? Kantin sekolah bukan kesana arahnya. Lo mau ngehindarin gue kan?" tanya orang itu beruntun yang tak lain ialah Jesa, sembari menyeret Raga dengan masih memegang kerah baju seragamnya.

"Woy! Gue kecekek ini, lepasin!" pekik Raga memberontak mencoba melepaskan tangan Jesa di kerahnya.

"Bang lepasin! Itu Bang Raga kasian gak bisa napas," celetuk Jean yang sedari tadi mengikuti Jesa bersama dengan Kenzo.

Jesa lantas melepaskan cengkramannya. "Lo sih Ga, bikin gue kesel aja." Dirinya berganti menarik tangan Raga yang sedang meraup napas sebanyak-banyaknya.

"Abang lo kenapa sih dari kemarin perasaan emosinya naik mulu, lagi pms?" tanya Kenzo berbisik pada Jean.

"Ngaur lo kalau ngomong!" Jean menjitak kening Kenzo.

"Ya sia---"

"Kenzo!" panggil Jesa penuh penekanan. "Diem lo! Jangan kira gue gak denger bisikan lo ke si Jean."

Kenzo yang akan kembali bersuara kembali mengatupkan bibirnya, apalagi saat melihat tatapan tajam Jesa yang dilayangkan padanya.

Sesampainya mereka di kantin, Jesa langsung mendudukan Raga di kursi, sedangkan dirinya memilih berdiri dengan tangan bersedekap. "Sekarang jelasin! Kenapa muka lo bisa luka-luka begitu!"

"Gak papa elah," balas Raga masih santai, tangannya mengambil ponsel disaku bajunya. Ia mulai menyalakan game favoritnya, tak menghiraukan Jesa yang masih menatapnya meminta penjelasan dengan posisi yang masih sama.

"Lo kayak polisi yang dapet bagian ngeinterogasi penjahat aja Bang, duduk elah. Gak pegel apa berdiri terus? Lagian kalau Bang Raga gak mau ngasih tahu emang kenapa?" Jean membuka suara, tangannya menarik tangan sang abang agar terduduk di kursi sebelahnya.

"Tuh dengerin apa kata Adek lo," sahut Raga mematikan ponselnya. Kemudian berdiri untuk memesan makanan diikuti Jean.

"Ya kan gue sahabat lo," balas Jesa bergumam yang ternyata masih terdengar oleh Kenzo.

"Bang!" panggil Kenzo yang membuat Jesa langsung menatapnya. "Gak semua masalah bisa diceritain dengan gampang, lagian sahabat juga ada batasan, gak perlu harus tahu semuanya. Dan mungkin masalah yang lagi dihadapi Bang Raga kali ini itu privasi Bang Raga, makanya dia gak mau ngejelasin. Dan tugas lo sebagai sahabat sekarang adalah cukup dengan memberinya semangat dan nguatin Bang Raga," jelas Kenzo panjang lebar.

Jesa terdiam, benar juga apa yang dikatakan Kenzo. Tidak semua masalah dapat diceritakan dan diselesaikan dengan gampang. Intinya cukup dengan selalu ada dan menguatkan itu sudah cukup membantu. "Tumben otak lo encer, ngomongnya jadi sok bijak lagi." Tanpa aba-aba Jesa langsung memukul bahu Kenzo dengan kencang hingga terdengar ringisan kencang.

"Anjir lo Bang, sakit nih bahu gue."

_______________________________________________
To Be Continue

Jangan lupa voment!

Terima kasih.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang