05 : Berkunjung

1.1K 83 8
                                    

Happy Reading!



“Lo beneran mau diturunin disini?” tanya Jesa memastikan saat Raga meminta diturunkan di sebuah pertigaan jalan raya.

“Beneran elah, udah sana lo balik. Makasih tumpangannya.”

“Lo gak mau gue temenin aja?”

“Gak usah Jesa.”

Raga melihat-lihat sekitar. Matanya memeriksa jam di ponselnya, pukul setengah dua siang. Raga berjalan ke sebuah toko bunga yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Toko bunga ‘Flowersta’ itu yang Raga kunjungi.

“Kak, saya pesen bunga seperti biasanya ya,” ucap Raga pada pegawai di toko bunga itu.

“Oke Raga, tunggu sebentar ya,” jawab orang itu ramah.

Raga memang langganan dari ‘Flowersta’. Jadi tak ayal jika mereka terlihat dekat, sebab setiap sebulan sekali Raga sering ke toko ini. dan mereka juga tahu bunga apa yang sering di beli Raga disini.

Krisan, Lily dan Tulip.

Sembari menunggu bunganya selesai dibuat buket, Raga melihat-lihat bunga yang berjajar rapi di pot. Hingga matanya terpaku pada bunga Anyelir Merah.

Bunga yang seingat dia melambangkan cara untuk mengekspresikan perasaan dan kerinduan yang mendalam.

“Kak, saya juga mau bunga anyelir merah, dibuat buket juga ya Kak.”

“Oke Raga.”

Tak lama, pegawai itu memberikan sebuket bunga lily, krisan, tulip dan anyelir merah. Raga menerimanya, lalu memberikan dua lembar uang berwarna merah.

“Kembaliannya sumbangin aja ya Kak.”

Orang itu tersenyum hangat. “Oke.”






Tibalah Raga di tempat utama yang menjadi tujuannya. Salah satu TPU di kota Jakarta, ya, tujuan utama dirinya kesini adalah sebuah tempat pemakaman umum.

Raga mendudukan dirinya pada tanah tanpa perduli jika nanti celana sekolahnya akan kotor. Ia terduduk diantara dua makam dengan nisan bertuliskan.

Farasya Pertiwi

Binti

Hadinata

Dan

Jovandra

Bin

Julian Kalandra

Makam ibu dan abangnya.

Raga mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh diatas pusara makam sang ibu dan abangnya, lalu meletakkan buket bunga kesukaan keduanya yang dibawanya. Ia menghela napas panjang sebelum membuka suara.

“Ibu, Abang, apa kabar? Pasti baik dong ya?”

“Maafin Raga ya, baru bisa kesini lagi. Soalnya Raga sibuk.”

“Ibu dan Abang tahu gak? Raga lolos seleksi olimpiade Fisika. Kalian seneng kan?”

“Semoga Raga menang, dan bisa bawa pulang piala untuk Ayah.”

“Tapi ada yang bikin Raga kesel, soalnya partner-nya musuh bebuyutan Raga. Namanya Janu, orangnya songong, bebal tapi dia pinter. Lebih pinteran Raga sih.”

“Tadinya Raga pengen batalin aja ikut olimpiadenya. Tapi Raga takut ... takut Ayah marah dan kecewa sama Raga.”

“Jadi, mau gak mau ya Raga harus mau satu partner sama dia.”

“Oh iya, hari ini Raga juga bawa bunga baru. Bunga anyelir merah. Setahu Raga artinya melambangkan kerinduan. Dan sengaja Raga beli karena Raga rindu kalian berdua. Sangat.”

Hampir setengah jam Raga habiskan waktunya untuk bercerita dengan pusara ibu dan abangnya. Tak ada satu tetes pun air mata yang mengalir di wajah Raga. Sebab Raga merasa menangis pun tak akan bisa mengembalikan semuanya. Lagipula ini sudah berlalu bertahun-tahun lamanya.

Selesai berdoa Raga berdiri. Tangannya Menepuk-nepuk belakang celananya, menghalau sisa-sisa tanah yang menempel.  “Raga pulang dulu. Takut dicariin Ayah. Raga janji nanti bakal kesini lagi.”

“Raga harap kalian bahagia disana, aamiin!”

Raga pergi meninggalkan makam kedua orang tersayangnya. Hatinya merasa lega sekarang, setelah ia sudah menumpahkan segala keluh kesahnya.

Satu hal yang Raga tidak ketahui, jika sedari tadi ada yang memperhatikannya diam-diam dari balik pohon besar, menatapnya dengan tatapan sendu.

“Maaf,” gumam orang itu.






Selepas dari TPU, Raga tak memutuskan untuk langsung pulang. Dirinya akan berjalan-jalan sebentar mengelilingi taman yang selalu menjadi persinggahannya jika ia habis dari pemakaman.

Sebelum ke taman, ia menyempatkan diri melimpir ke minimarket sekedar membeli roti dan air mineral, guna menghalau rasa lapar dan haus.

Raga mendudukan pantatnya di kursi taman. Tangannya membuka botol mineral yang di pegangnya, meminumnya hingga tersisa setengah. Kemudian membuka roti rasa keju yang dibelinya, memakannya secara perlahan.

Netranya memandang lurus ke depan, pandangannya terlihat kosong. Saking asiknya Raga melamun, ia sampai tidak menyadari jika ada seorang bocah laki-laki yang sudah duduk disebelahnya, memandangnya dengan raut wajah polos. Diperkirakan usianya baru tujuh tahun.

Merasa kesal sebab Raga tak kunjung sadar dari lamunannya, bocah itu menarik-nari ujung hoodie yang dikenakan Raga. Dan berhasil, Raga tersadar. Dirinya menoleh ke arah bocah tersebut.

“Loh, lo siapa?” tanya Raga bingung.

Bocah itu mengulurkan tangan. “Aku Arkan.”

Raga membalas uluran tangan kecil itu. “Raga.”

“Kakak aku perhatiin dari tadi, ngelamun terus. Kakak lagi ada masalah ya?”

Raga mendengus mendengar pertanyaan Arkan. “Kepo lo.”

“Aku bukan kepo, tapi penasaran aja,” sangkal Arkan.

“Sama aja bocah,” balas Raga. “Lo ngapain disini sendirian?” lanjutnya bertanya.

“Nungguin Mama belanja bulanan,” jawab Arkan.

Raga mengangguk. Tangannya memberikan satu roti yang belum dirinya makan. “Nih, lo mau gak?”

Arkan menerimanya dengan senang hati, kebetulan dia suka roti. “Makasih Kak.”

Tak lama seorang wanita paruh baya memanggil nama Arkan.

Arkan berdiri. Mulutnya masih penuh dengan roti yang dimakannya. “Aku pulang, Kakak jangan kebanyakan ngelamun. Kemasukkan setan baru tahu rasa!” setelahnya berlari menghampiri sang mama.

“Sok nasehatin gue itu bocah tengil,” cibir Raga.

 
_______________________________________________
To Be Continue

Menurut kalian, siapa orang yang merhatiin Raga pas di pemakaman? Bisa komen gak?

Terima kasih

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang