26 : Semuanya Tahu

901 79 0
                                    

Happy Reading!




"Kenapa lo?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Jesa saat melihat Raga yang berjalan kearahnya dengan wajah yang dipenuhi plester di wajah tampannya. Akibat pertanyaan itu, semua temannya yang lain pun ikut menoleh, memandangnya dengan penasaran.

"Jatoh di kamar mandi," jawab Raga mencoba sesantai mungkin. Membuat teman-teman sekelasnya yang tadi memandangnya penasaran langsung kembali ke aktivitas masing-masing.

Raga meletakkan tasnya di laci meja, menduduki kursinya dan meletakkan kepalanya diantara kedua lipatan tangannya yang bertumpu di atas meja.

"Gue tahu, lo bohong," ucap Jesa pelan seraya memperhatikan Raga dengan pandangan tak terbaca. "Semoga, apa yang gue pikirin itu gak bener ya Ga," gumamnya yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Tanpa Jesa sadari. Dari meja di belakangnya, ada Janu yang sedang menatap Raga khawatir. Satu hal yang dia yakini, luka itu bukan karena terjatuh dari kamar mandi.

"Kenapa lo? Natap si Raga pakai tatapan khawatir kayak gitu?" tanya Rangga menatap sahabatnya dengan sebuah lipatan kecil di keningnya, merasa heran dan penasaran. "Ada yang lo tahu ya tentang luka-luka yang ada di muka si Raga?"

"Gue curiga, itu bukan luka karena jatoh dari kamar mandi. Tapi, luka karena kena pukulan. Coba deh lo pikir, masa jatoh dari kamar mandi, plesternya bisa sebanyak itu?" tambahnya menyampaikan opini yang melintas di kepalanya.

Janu menatap Rangga. "Sebenarnya ..."

Bukan maksud Janu menceritakan tentang kejadian kekerasan yang dilakukan Julian pada Raga,  yang pernah dirinya lihat di rumah keduanya. Namun, mulut dan hatinya seolah memerintahkan ia untuk menceritakannya pada sang sahabat.

Mata Rangga terbelalak mendengar cerita dari Janu. "Lo gak bohong kan?"

"Enggak, mana berani gue bohong ke lo Rang," jawab Janu.

"Heran gue, kok ada ya, orang tua yang setega itu sama anaknya sendiri," ucap Rangga pelan seraya menatap Raga prihatin. Ternyata sosok Raga yang dirinya lihat saat ini itu menyimpan banyak sekali cerita sedih.

"Nah, gue juga heran pas pertama lihat. Tapi, setelah di pikir-pikir itu bisa aja terjadi. Seperti yang lo tahu kemarin, kalau Raga itu pernah kecelakaan bareng Ibu dan Abangnya dulu. Dan asal lo tahu, sampai sekarang Ayahnya masih terus nyalahin si Raga. Lagipula, sepengetahuan gue, Ayah Raga dari dulu itu selalu ngedoktrin Raga agar jadi anak yang sempurna, katanya sih biar gak malu-maluin."

"Gila," gumam Rangga. "Padahal kan, kesempurnaan hanya milik Allah."

"Nah itu, gue setuju." Janu menjentikkan jarinya saat mendengar ucapan Rangga.

"Tapi, entah kenapa gue ngerasa, sikap Ayah Raga kayak gitu karena ada kaitannya dengan masa kecil Ayahnya Raga deh. Makanya dia sampai segitunya ke anaknya sendiri. Maksud gue, kayak ada sesuatu yang disembunyikan sama Ayah Raga."

Rangga terlihat mencoba berpikir, begitupun dengan Janu. Kira-kira apa yang membuat Ayah Raga menjadi seperti itu, selain karena kematian istri dan anak pertamanya? (Sepengetahuan Ayah Raga, Jovandra kan sudah meninggal)


"Sa!"

Di pertengahan pelajaran kedua yang tengah berlangsung. Jesa harus dibuat panik saat melihat wajah Raga yang berubah pucat, dapat Jesa lihat juga satu tangan Raga yang meremat bagian dadanya kencang. Napas Raga juga terlihat tersendat-sendat.

"Ga! Lo kenapa?" tanya Jesa panik, membuat guru yang sedang menjelaskan di depan langsung berangsur mendekati.

Tiba-tiba saja kepala Raga jatuh terkulai di atas meja. Ia jatuh pingsan.

"Bu, Raga pingsan," ucap Jesa semakin panik seraya mencoba membangunkan Raga.

Mendengar itu, bukan hanya guru didepannya yang panik, seisi kelas pun ikutan panik. Dalam kepala mereka terlintas sebuah tanya, kenapa?

"Jesa! Kamu bawa Raga ke UKS biar dapat penanganan lebih lanjut, dibantu dengan Janu."

"Iya, Bu!"


"Sahabat saya kenapa Dok?" tanya Jesa setelah dokter UKS yang menangani Raga membuka gorden pembatas antara bangsal satu dengan bangsal lainnya.

"Dugaan saya, teman kalian ini mengidap penyakit palpitasi jantung," jelas dokter tersebut seraya memasukkan stetoskop di tangannya pada saku snelli yang dikenakannya.

Baik Jesa maupun Janu, keduanya tertegun. Raut mereka berubah khawatir.

"Kalian gak perlu khawatir, kondisi ini umumnya tidak terlalu berbahaya." Dokter tersebut kembali bersuara, membuat raut Janu dan Jesa kembali seperti semula, sedikit tenang. "Namun, ada satu hal yang membuat saya bingung."

"Bingung kenapa Dok?" tanya Jesa mengerutkan keningnya dalam.

"Di tubuhnya terdapat luka lebam, ada yang sudah mengering, bahkan ada juga yang masih basah. Juga, di wajahnya banyak sekali lebam biru yang tertutupi plester."

"Setelah teman kalian sadar, bisa kalian tanyakan kenapa luka-luka tersebut bisa ada di tubuhnya?" Jesa dan Janu mengangguk.

"Kalau begitu, saya ke ruangan di paling ujung itu ya. Kalau ada apa-apa kalian bisa panggil saya."

"Baik Dok, terima kasih!"

Selepas kepergian sang dokter, hanya keheningan yang menyelimuti ruangan UKS tersebut. Jesa sedang berpikir darimana luka-luka yang bersemayam di tubuh Raga, sedangkan Janu terlihat menghela napas sesekali, mempertimbangkan sesuatu.

"Sa!" panggil Janu pelan, membuat Jesa langsung menoleh pada Janu. "Ada sesuatu yang mau gue kasih tahu ke lo."


"Kata Dokter, Bang Raga kenapa?" tanya Kenzo yang baru saja memasuki UKS bersama Jean, Josep dan Rangga.

Janu bersuara untuk menjelaskan apa yang terjadi pada Raga. Penjelasan tersebut lagi-lagi membuat Jean, Kenzo dan Josep terdiam, sama seperti respon dari Jesa dan Rangga saat mendengar cerita dari Janu perihal luka di tubuh Raga.

"Ssh," ringisan itu membuat Jesa, Janu, Rangga, Jean, Kenzo dan Josep langsung mendekati Raga yang sedang mengerjapkan matanya perlahan.

"Ga!" panggil Jesa seraya membatu Raga terbangun dari posisi berbaringnya.

"Minum," ucap Raga pelan membuat Josep yang paling dekat dengan meja langsung mengambil segelas air yang tersedia disana.

"Ini!"

Raga mengambil gelas tersebut, meminum isi di dalamnya hingga tersisa setengah. Dan memberikan gelasnya kembali pada Josep. "Thanks!"

"Iya."

"Bang, lo oke kan sekarang?" tanya Jean memastikan. "Maksudnya, udah agak mendingan?" lanjutnya meralat pertanyaan pertamanya.

Raga mengangguk. "Kalian ngapain disini? Emangnya udah jam istirahat ya?"

"Udah dari lima menit yang lalu," jawab Rangga mewakili yang lainnya.

Lagi, Raga mengangguk.

"Ga!" panggil Jesa membuat Raga menoleh pada sahabatnya itu.

"Apa?"

"Kenapa lo gak pernah cerita ke gue soal penyakit lo, juga luka lebam yang ada di tubuh lo? Kenapa lo malah bohong sama gue?"

Raga terdiam, ia terkekeh pelan. "Kalian, kecuali Janu. Udah tahu ya?" tanyanya lirih.

_______________________________________________
To Be Continue

Terima kasih!

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang